Sunday 13 September 2015

Makalah Daulah Bani Fatimiyah


BAB I
PENDAHULUAN

Melemahnya keemimpinan para khalifah Daulat Abasiyah merupakan titik awal kehancurannya. Hal tersebut disebabkan karena gaya hidup mewah, dan hidu foya-foya penguasa Dinasti Abbasiyah. Oleh karena itu, pada periode-periode berikutnya, muncullah penguasa-penguasa daerah yang memiliki tentara sendiri, serta memiliki kebebasan dalam menyelenggarakan pemerintahannya.
Kelompok yang memiliki kebebasan menyelenggarakan pemerintahan dibagi menjadi tiga, yaitu kelompok yang merdeka berdiri sendiri, kelompok yang mengakui kekuasaan Dinasti Abbasiyah dan mendapat gelar amir, dan kelompok yang mengakui kekuasaan Dinasti Abbasiyah dengan mengirim upeti.
Dari kelompok-kelompok yang memiliki kebebasan menyelenggarakan pemerintahan tersebut, salah satunya adalah daulat Fathimiyyah, yaitu kelompok yang merdeka beridir sendiri. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas tentang semua yang bersangkutan dengan Daulat Fathimiyyah, bagaimana asal usulnya, siapa saja penguasanya, kemajuan-kemajuannya dan tentang runtuhnya. Hal ini dimaksudkan supaya kita dapat mengetahui lebih jauh tentang Daulat Fathimiyyah dan dapat mengambil manfaatnya.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Asal-usul dan Pembentukan Daulat Fathimiyyah
Dinasti ini mengklaim sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali Ibn Abu Thalib dan Fathimah binti Rasulillah. Menurut mereka Abdullah al-Mahdi sebagai pendiri dinasti ini merupakan cucu Ismail Ibn Ja’far al-Shadiq. Sedang Ismail merupakan Imam Syi’ah yang ketujuh.
Setelah kematian Imam Ja’far al-Shadiq, Syi’ah terpecah menjadi dua buah cabang. Cabang pertama meyakini Musa al-Kazim sebagai imam ketujuh pengganti Imam Ja’far, sedang sebuah cabang lainnya mempercayai Isma’il Ibn Muhammad al-Maktum sebagai Imam Syi’ah ketujuh. Cabang Syi’ah kedua ini dinamakan Syi’ah Isma’iliyyah. Syi’ah Ismailiyyah tidak menampakkan gerakannya secara jelas hingga muncullah Abdullah Ibn Maymun yang membentuk Syi’ah Ismailiyyah sebagai sebuah sistem gerakan politik keagamaan. Ia berjuang mengorganisir propaganda Syi’ah Ismailiyyah dengan tujuan menegakkan kekuasaan Fathimiyyah. Secara rahasia ia mengirimkan misionari ke segala penjuru wilayah muslim untuk menyebarkan ajaran Syi’ah Ismailiyyah. Kegiatan ini menjadi latar belakang berdirinya dinasti Fathimiyah di Afrika dan kemudian berpindah ke Mesir.
Sebelum kematian Abdullah Ibn Maymun pada tahun 874 M, ia menunjuk pengikutnya yang paling bersemangat yakni Abu Abdullah al-Husayn sebagai pimpinan gerakan Syi’ah Ismailiyyah. Ia adalah orang Yaman asli, dan sampai dengan wakil al-Mahdi. Ia menyeberang ke Afrika Utara, dan berkat propagandanya yang bersemangat ia berhasil menarik smpatisan suku Berber, khususnya dari kalangan suku Kithamah menjadi pengikut setia gerakan ahli bait ini.
Setelah berhasil menegakkan pengaruhnya di Afrika Utara, Abu Abdullah al-Husayn menulis surat kepada Imam Ismailiyyah yakni Sa’id Ibn Husayn al-Salamiyah agar segera berangkat ke Afrika Utara untuk menggantikan kedudukannya sebagai pimpinan tertinggi gerakan Ismailiyyah. Selanjutnya gerakan ini berhasil menduduki Tunis, pusat pemerintahan dinasti Aghlabi, pada tahun 909 M, dan sekaligus mengusir penguasa Aghlabi yang terakhir, yakni Zidayatullah. Said kemudian memplokamirkan diri sebagai imam dengan gelar “Ubaydullah al-Mahdi”. Dengan demikian terbentuklah pemerintahan dinasti Fathimiyyah di Afrika Utara dengan al-mahdi sebagai khalifah pertamanya.[1]

B.     Kondisi Mesir Sebelum Pendudukan Daulat Fathimiyyah
Mesir menghadapi 3 musuh akibat propaganda, yaitu:
1.      Orang-orang Qaramithah dengan madzab, revolusi dan kekacauan yang mereka timbulkan.
2.      Kondisi Mesir yang kacau akibat perselisihan antara tentara krisis ekonomi yang semakin memburuk dan kezaliman terhadap rakyat.
3.      Orang yang sedang menunggu kesempatan untuk menyerang Mesir dari arah Maroko, yaitu pasukan Fathimiyyah yang telah melakukan persiapan dengan baik.
Penduduk Mesir harus memilih salah satu dari ketiga musuh tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa mereka tidak akan memilih Qaramithah. Ketakutan mereka terhadap Qaramithah lebih besar daripada ketakutan terhadap dua musuh yang lainnya.
Musuh di dalam pun sangat menyiksa mereka. Mereka sedang ada dalam kondisi kacau dan krisis di mana-mana. Adapun musuh yang ada di Maroko, mereka tidak akan melihat kejelekan sedikitpun. Bahkan, mereka mendengar bahwa musuh tersebut hidup secara sederhana, adil, dan lurus. Meskipun demikian, ia tetap musuh yang memiliki madzab berbeda dengan penduduk Mesir. Musuh bermadzhab Syi’ah, sedangkan mereka bermadzab Maliki dan Syafi’I kolot.
Pada awalnya orang-orang Fathimiyyah di Maroko tidak bermadzhab Syi’ah secara berlebihan. Bisa jadi, mereka bermadzhab Alawi. Mereka tidak banyak yang bermadzab  Syi’ah Imamiyyah kecuali mereka berpendapat tentang tujuh imam. Kemudian, merekapun mengetahui watak dan kecenderungan madzhab orang Mesir. Dengan demikian, mereka menyebarkan propaganda di sana dengan cara lembut dan halus.

C.    Berdirinya Daulat Fathimiyyah
Demikianlah, Ubaidilah memndapatkan dirinya sebagai pemimpin negara. Sedangkan komandan tentara yang juga pemimpin negara adalah Abu Abdillah Asy-Syi’i. Dia menyebut dirinya dengan Al-Mahdi dan menggunakan gelar Amirul Mukminin. Dia menganggap dirinya sebagai khalifah. Kemudian, dia juga menggunakan cara yang dipakai orang-orang Abasyiah. Dia membangun kota untuk dirinya dan tentaranya yang di sebut Al-Mahdiyah. Hal tersebut terjadi pada tahun 308 hijriyah. Dalam hal ini, dia melekukan hal yang telah dilakukan Abu Ja’far Al-Manshur ketika membangun baghdad.
Disini, kita harus menyebutkan bahwa ada kemiripan antara orang-orang Abasyiah tarhadap pemerintahan Bani Umayyah dan revolusi orang-orang Fathimiyah terhadap pemerintahan Bani Abbasyih. Cara yang digunakanpun persis sama. Bahkan, kejadian-kejadian pun serupa, taitu hubungan Abu abdillah Asy-Syi’I, komandan orang-orang Fathimiyah, dan Al-Mahdi Abidullah-Amirul Mukminin orang-orang Fathimiyah.
Abu Abdillah Asy- Syi’I ingin memiliki kekuasaan. Dia yang membuka Maroko untuk orang-orang Fathimiyah. Al-Mahdi Abidullah pun ingin memiliki kekuasaan. Abu Abidllah memberontak kepadanya tetapi pemberontakannya gagal. Al-Mahdi pun membunuhnya, sebagaimana Abu Ja’far Al-Manshur membunuh Abu Muslim Al –Khurasani.

Perluasan kebarat dan menyatukan marakisi
Setelah peristiwa tersebut, yang ada di benak orang-orang fathimiyah adalah menenangakan suasana di Maroko dan menguatkan kekuasaan mereka. Namun, mereka menjumpai dua kesulitan; yang pertama adalah keberadaan orang-orang Idris di Maraskisy, dan kedua adalah keberadaan orang-orang khawarij di antara orang-orang Barbar. Mereka pun melakukan hal yang seharusnya mereka lakukan, yaitu memerangi dan melenyapkan orang-orang Idris,[2] membawa tentara mereka ke Maroko sampai Maraskisy. Namun, Amdurrahman Ats- Tsalits (Abdurrahman Ketiga) menghentikan mereka dari arah Sabtah. Namun, mereka telah mengusai sebagian besar daerah Maroko.
Adapun dengan khawarij, mereka terpaksa melakukan peperangan yang sengit dan meluas. Salah seorang khawarij yang bernama Abu Yazid memberontak kepada mereka sehingga menimbulkan kesengsaraan. Akhirnya, setelah pertempuran panjang pada tahun 336 hijriah, mereka pun berhasi melenyapkan dia.

Melirik Negara-Negara Timur dan Berpikir Untuk Menyatukan Mesir
Tujuan asasi orang-orang Fathimiyah adalah mendirikan khilafan universal sebagai ganti khilafah Abbasyiah. Dengan demikian, untuk memperluas wilayahnya, mereka harus bergerak ke Mesir dan dari Mesir ke Irak. Pada kenyataannya, mereka tidak cukup untuk memikirkan hal tersebut, bahkan pada waktu-waktu hitam sejarah mereka di Maroko. Dari Al-Mahdiyyat, mereka bergarak ke Mesir dengan beberapa kali serangan  pada tahun 203, 307, 321, 323 dan 322 hijriyah. Namun, semua serangan tersebut kalah, meskipun mereka telah menguasai Alexandria.dengan demikin, mereka terpaksa menarik diri.
Penyebab kekalahan mereka adalah ketika itu Mesir dalam keadaan kuat, terutama di masa terakhir Al-Ikhsyid. Al-Ikhsyid merupakan orang yang pandai berpolitik dan memerintah. Dia memerintah mesir dengan menggandeng khilafah Abbasyiah. Dia diberi gelar Al-Ikhsyid yang berarti raja diantara raja-raja. Gelar tersebut telah dikenal di negeri aslinya, Turki. Namun, kekalahan tersebut tidak memalingkan keinginan orang-orang fathimiyyah untuk menguasai Mesir. Tidak lama kemudian, Al-Ikhsyid pun meninggal dunia. Kondisipun menjadi kacau dan Kafur memimpin Mesir setelah Al-Ikhsyid.
Kafur adalah seorang budak hitam. Masyarakat menerima pemerintahannya dengan terpaksa. Kafur memerintah tidak sampai dua tahun. Kemudian, Ja’far bin Al-Furat yang menjadi memimpin. Namun, dimasanya keadaan semakin memburuk. Rakyat pun menderita atas kezaliman tentara dan kehidupan mewah para pemimpin yang sulalu memuaskan hawa nafsunya. Lalu, timbulah krisis ekonomi dan kelaparan. Rakyat pun dizalimi. Ketika itu, orang-orang Qaramithah masih ada di Syiria melakukan serangan yang bertubi-tubi. Untuk kali ini, sasaran mereka adalah Mesir. Ketika itu penduduk Mesir merasakan hal tersebut, tetapi mereka tidak bisa melakukan apa-apa dihadapan bahaya yang tiba-tiba tersebut. Dalam situasi seperti inilah, Al-Mu’izz menyiapkan pasukan untuk menguasai Mesir. Sebelum itu, dia telah menyebarkan propaganda kepada masyarakat.

D.    Penguasa-penguasa Daulat Fathimiyyah
Daulat Fathimiyyah (297-567 H/909-1171 M), dibangun oleh Emir Ubaidullah Al-Mahdi, menguasai Afrika Utara dan Mesir, bermula berkedudukan di Kairwan (Tunisia) dan kemudian di Al-Qahirah (Kairo)[3]


KHALIFAH-KHALIFAH DAULAT FATHIMIYYAH
 































1.      Al-Mahdi (297-323 H/909-934M)
Al-Mahdi merupakan penguasa Fathimiyyah yang cakap. Dua tahun semenjak penobatannya,  ia menghukum mati pimpinan propagandanya yakni Abu Abdullah al-Husayn karena terbukti bersekongkol dengan saudaranya untuk melancarkan perebutan jabatan khalifah. Kemudian al-Mahdi melancarkan gerakan ke Afrika. Pada tahun 920 khalifah dl-Mahdi mendirikan kota baru di pantai Tunisia dan menjadikannya sebagai ibukota Fathimiyyah. Kota ini dinamakan kota Mahdiniyah.
Al-Mahdi ingin menakulkkan Spanyol dari kekuasaan Umayyan, namun ambisinya ini belum tercapai sampai ia meningggal pada tahun 934.
2.      Al-Qa’im (323-335H/934-949M)
Al-Mahdi digantikan oleh putranya yang tertua, Abul Qasim. Pada tahun 934 M. ia telah mengerahkan pasukan dalam jumlah besar ke daerah selatan pantai Perancis. Pasukan ini berhasil menduduki Genoa dan wilayah sepanjang pantai Calabria. Mereka melancarkan pembunuhan, penyiksaan, pembakaran kapal dan merampas budak. Pada sat yang sama juga mengerahkan pasukannya ke Mesir, namun dikalahkan oleh dinasti Ihsidiyah, sehingga merk aterusir dari Alexandria.
Al-Qa’im merupakan prajurit pemberani. Hampir setiap ekspedisi militer dipimpinnya secara langsung. Ia merupakan Khalifah Fahimiyyah pertama yang menguasailautan tengah. Ia meninggal pada tahun 946 M. Al-Qa’im digantikan oleh putranya al-Manshur.
Al-Manshur adalah pemuda yang sangat lincah. Ie mambangun sebuah kota yang sangat megah di wilayah perbatasan Susa’ yang dinamakan kota al-Manshuriyah.
3.      Mu’izz (341-352 H/965-975 M)
Ketika Al-Manshur meninggal, putranya yang bernama Abu Tamim Ma’ad menggantikannya sebagai khalifah dengen bergelar Mu’izz. Penobatan Mu’izz sebagai khalifah keempat menandai era baru dinasti Fathimiyyah. Banyak keberhasilan yang dicapainya. Pertama, ia menetapkan untuk mengadakan peninjauan ke seluruh penjuru wilayah kekuasannya. Selanjutnya ia menghadapi gerakan bersedia tunduk ke dalam kekuasaan Mu’izz.
“penaklukkan Mesir merupakan cita-cita terbesar gerakan ekspedisi Mu’izz”, kata Lane Poole. Mu’izz telah lama menanti datangnya kesempatan untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Maka ketika Mesir dilanda kerusuhan serius di tahun 968 M, Mu’izz segera memerintahkan jauhar untuk mengerahkan pasukan penakluk Mesir. Pada tahun 969 M, jauhar berhasil menduduki Fusthat tanpa suatu perlawanan. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekkuasaan dinasti Ihsidiyah di Mesir dan Mesir memasuki era baru di bawah pemerintahan fathimiyyah. Jauhar segera membangun kota Fusthat menjadi kota baru dengan nama Qahiron (kairo). Semenjak tahun 973 kota ini dijadikan sebagai ibukota pemerintahan fathimiyyah.
Khalifah Mu’izz meninggal tahun 975 M., setelah memerintah selama 23 tahun. Ia merupakan khalifah Fathimiyyah terbesar. Ia adalah pendiri dinasti Fathimiyyah.
4.      Al-Aziz (365-386 H/975-966 M)
Al-Aziz menggantikan kedudukan ayahnya, Mu’izz. Ia dicatat sebagai khalifah Fathimiyyah yang paling bijaksana dan pemurah. Kemajuan Imperium fathimiyyah mencapai puncaknya pada masa ini. Luas kekuasaan imperium membentang dai wilayah Euprat sampai dengan Atlantik.
Bangunan megah banyak didirikan di kota kairo seperti The golden Plalace, the Pearl Pavilion, dan Mesjid Karafa. Ia adalah seorang penyair dan tokoh pendidikan. Masjid al-Azhar diresmikan olehnya sebagai sebuah akademi.
Khalifah al-Azizi terkenal sangat pemurah, bahkan terhadap musuhnya sekalipun.
Al-Azizi meninggal pada tahun 386 H/996 M. dan bersamaan dengan ini berakhirlah kejayaan dinasti Fathimiyyah.
5.      Al-Hakim (386-412 H/996-1021 M)
Sepeninggal al-Aziz, kahlifah Fathimiyyah dijabat oleh anaknya yang bernama Abu al-Manshur al-hakim. Ketika naik tahta ia baru berusia sebelas tahun. Selama tahun-tahun pertama Al-hakim berada di bawah pengaruh seorang gubernurnya yang bernama Barjawan.
Al-Hakim merupakan pribadi muslim yang taat. Ia adalah pendiri sebuah tempat pemujaan suku aliran Druz di Libanon. Aliran ini menganggapnya sebagai ingkarnasi Tuhan. Ia mendirikan sejumlah masjid, perguruan, dan pusat observasi di Syria.
6.      AL-Zahir (412-426 H/1021-1036 M)
Al-Hakim digantikan oleh putranya yang bernama Abu Hasyim Ali dengan gelar al-Zahir. Ia naik tahta pada usia enam belas tahun, sehingga pusat kekuasaan dipegang oleh bibinya yang bernama Aitt al-Mulk. Sepeninggal sang bibi, al-Zahir menjadi raja boneka di tangan menteri-menterinya. Sang khalifah terjerat pola kehidupan santai dan banyak menikah. Ia meninggal pada bulan Juni 1036 M, setelah memerintah selama 16 tahun.
7.      Al-Mustansir (427-487 H/1036-1095 M)
Al-Zahir digantikan oleh anaknya yang bernama Abu Tamim Ma’ad yang bergelar al-Mustansir, pemerintahannya selama 61 tahun merupakan masa pemerintahan terpanjang dalam sejarah Islam. Masa awal pemerintahannya berada sepenuhnya di tangan ibunya, lantaran ketika dinobatkan sebagai khalifah ia baru berusia 7 tahun. Pada masa ini kekkuasaan Fathimiyyah mengalami kemunduran secara drastis.
Sepeninggal al-Mustansir pada tahun 487 H/1095 M, Imperium Fathimiyyah dilanda konflik dan permusuhan. Tidak seorangpun khalifah sesudahnya mampu mengendalikan kemerosotan imperium ini.
8.      Al-Musta’li (487-495 H/1095-1101 M)
Putra termuda al-Mustansri yang bergelar al-Musta’li menduduki tahta khalifah sepeninggal sang ayah. Nizar, putra al-Mustansir yang tertua, menentang penobatan adiknya.
Al-Musta’li, setelah meninggal, anaknya yang masih hijau yang bernama al-Amir Manshur dengan gelar al-Amir dinobatkan sebagai khalifah oleh al-Afzal. Afzal merupakan perdana menteri yang berkukasa secara absolut selama 20 tahun masa pemerintahan al-Amir. Ia merupakan raja Mesir yang sesungguhnya selama hampir 50 tahun.
Setelah al-Amir menjadi korban pembunuhan politik, kemenakannya yang bernama al-Hafiz memplokamirkan diri sebagai khalifah. Pemerintahan al-Hafiz ini diwarnai dengan perpecahan antar unsur kemiliteran. Anaknya, Abul Manshur Ismail dengan gelar al-Zafir menggantikan kedudukannya setelah kematian al-Hafiz. Ia adalah pemuda 17 tahun yang tampan dan semborno yang lebih memikirkan urusan perempuan dan musik daripada urusan politik dan pertahanan. Segala urusan negara dijalankan oleh perdana menteri yang  bernama Abul Hassan Ibn al-Salar, sehingga sang khalifah sekedar sebagai simbol belaka. Al-Zafir meninggal pada tahun 1154 M, terbunuh oleh Nasir Ibn Abbas.
Anak al-Zafir yang masih balita menggantikan ayahnya dengan bergelar al-Faiz. Ia meningal dunia sebelum dewasa dan digantikan oleh kemenakannya al-Azid. Sewaktu naik tahta sang khalifah berusia sembilan tahun. Ia merupakan khalifah fathimiyyah yang ke 14 dan mengakhiri masa pemerintahan selama kurang lebih 2,5 abad. Dalam kondisi yang sempoyongan, datangSultan Salahuddin pejuang dalam perang Salib. Sultan Salahuddin menurunkan khalifah Fathimiyyah terakhir ini yakni yang didirikan oleh Ubaudullah Al-mahdi ini berakhir.

E.     Kemajuan-kemajuan Daulat Fathimiyyah
1.      Faktor yang mendorong kemajuan Dinasti Fathimiyyah
a.       Militer yang kuat
b.      Administrasi pemerintah yang baik
c.       Ilmu pengetahuan yang berkembang
d.      Perekonomian yang stabil[4]


2.      Bidang Administrasi
Periode dinasti Fathimiyyah menandai era baru srjarah bangsa Mesir. Sebagian khalifah dinasti ini adalah pejuang-pejuang dan penguasa besar yang berhasil menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran di Mesir.
Administrasi kepemerintahan dinasti Fathimiyyah secara gratis besarnya tadak berbeda dengan administrasi dinasti Abbasyiah, sekalipun pada masa ini muncul babarapa jabatan berbeda. Khalifah menjabat sebagai kepala negara baik dalam urusan keduniaan maupun urusan spiritual. Ia berwenang mengangkat dan sekaligus menghentikan jabatan-jabatan dibawahnya.[5] Kementrian negara (Wasir) terbagi menjadi dua kelompok: pertama adalah “orang-orang ahli pedang”, dan kedua adalah “orang-orang ahli pena”. Kelompok pertama menduduki urusan militer dan keamanan istana serta pengawal pribadi khalifah. Sedangkan kkelompok kedua menduduki beberapa jabatan kementrian sebagai berikut:
a.       Hakim.
b.      Pejabat pendidikan sekaligus sebagai pengelola lembaga ilmu pengetahuan atau Darr al-Hikmah.
c.       Inspektor pasar yang bertugas menertibkan pasar dan jalan.
d.      Pejabat keuangan yang menangani segala urusan keuangan negara.
e.       Regu pembantu istana.
f.       Petugas pembaca Al- Quran.
Tingkat terendah kelompok “ahli pena”adalah petugas penjaga dan juru tulis.
Diluar jabatan Istana diatas, terdapat jabatan-jabatan tingkat daerah yang meliputi tiga daerah: Mesir, Syiria, dan daerah-daerah di Asia kecil. Khusus daerah Mesir terdiri dari empat provinsi: Provinsi Mesir bagian atas, Timur, Barat, dan wilayah Alexandria.


3.      Kondisi sosial
Mayoritas khalifah Fathimiyyah bersikap moderat dan penuh perhatian kepada urusan agama non Islam. Selama masa ini pemeluk Kristen Mesir diperlakukan secara bijaksana, hanya Al- Hakim yang bersifat agak keras terhadap mereka. Pada mmasa Al-Aziz, mereka diuntungkan dari pada umat Islam, dimana mereka ditunjuk menduduki jabatan-jabatan tinggi di istana. Demikian pula pada masa al-Mustansir dan seterusnya, mereka hidup penuh kedamaian dan kemakmuran. Demikianlah, semua ini menunjukkan kebijaksanaan penguasa Fathimiyyah terhadap umat Kristen.
Salah seorang propaganda Isma’iliyyah berkebangsaan Persia, Nashir al- Khursaw, yang mengunjungi Mesir pada tahun 1046-1049 M, meninggalkan catatan tentang Kairo. Pada saat itu ia mendapatkan kota Kairo sebagai kota makmur dan sentosa. Rakyat menaruh kepercayaan penuh terhadap pemerintah karena tegaknya hukum.
Nasir al-Khursaw, sangat takjub atas kesejahteraan dan kemakmuran negeri ini, sehingga dengan sangat menarik dia menyatakan: ‘saya tidak sanggup menaksir kesejahteraan dan kemakmuran negeri ini, dan saya belum pernah melihat kemakmuran sebagaimana yang terdapat di negeri ini”.[6]
4.      Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Kesusastraan
Pada masa Sinasti Fathimiyyah ini banyak diantara khalifah dan para wazir menaruh perhatian dan penghormatan kepada para ilmuwan dan pujangga. Ibn Killis merupakan salah seorang Wazir Fathimiyyah yang sangat memperdulikan bidang pengajaran. Ia mendirikan sebuah akdemi dan memberinya subsidi besar setiap bulan. Pada masa Ibn Killis ini di dalam istana al-Aziz terdapat seorang fisikawan besar yang bernama Muhammad al-Tamimi. Al-Kindi, sejarawan dan topografer terbesar hidup di Fusthat dan meninggal pada tahun 961 M. Pakar terbesarnya adlah Qazdi al-Nu’aim dan beberapa keturunan yang menduduki jabatan Qazi dan keagamaan tertinggi. Para Qazi ini tidak ahnya pendai dalam bidang hukum, melainkan juga cakap dalam berbagai disiplin pendidikan tinggi.
Beberapa diantara khalifah Fathimiyyah adalah tokoh pendidikan dan orang berperadaban tinggi. Al-Aziz termasuk diantara khalifah yang mahir dalam bidang syair dan mencintai kegiatan pengajaran. Ia telah mengubah masjid agung Al-Azhar menjadi sebuah akademi.
Perkembangan ilmu pengetahuan ditandai juga dengan kemajuan Al_Azhar. Tiga thun setelah masjid al-Azhar didirikan pada tahun 359 H (970 M) barulah kegiatan ilmiah sederhana seperti kuliah-kuliah yang diberikan pada masjid ‘Amr, masjid al-‘Askar dan masjid Ibn Tulun. Seri kuliah yang terkenal adalah yang dijalankan oleh Ibn Kilas dan seri itu disebut Ibn Kilas. Yang berjalan di bawah pemerintahan al-Aziz Billah Abu Manshur Nazzar (365-386 H/975-996 M). Peristiwa ini mempunyai signifikan dalam perkembangan Al-Azhar sebagai lembaga pendidikan. Rencana Ibn Kilas ini sebagai usaha untuk menghimpun ahli-ahli fiqih yang berkewajiban menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah yang diadakan oleh Ibn Kilas di Al-Azhar.[7]
Pengajian di bawah Ibn Kilas berjalan menurut garis Syi’ah. Bidang-bidang yag menjadi pusat perbincangan dalam seri kuliah itu adalah kajian agama, kajian bahasa, dan kajian sastra.
Ada juga peristiwa penting bersamaan dengan munculnya Al-Azhar sebagai lembaga pendidikan, yaitu didirikannya Dar al-Hikmah. Setelah Dar al-Hikmah didirikan penekanan kajian syi’ah di al-Azhar dikendorkan, tugasnya diambil alih oleh Dar al-Hikmah yang bertujuan mengeluarkan pemimpin Syi’ah dalam beragai bidang ilmiah.
Ahli sejarah Mesir dengan kagum memuji tindakan khalifah al-Aziz sebagai respon terhadap rencana Ibn Kilas, sebab semenjak itu al-Azhar menemukan ciri-ciri ilmiahnya di mana pelajar-pelajar diangkat untuk mendalami ilmu-ilmu tertentu tanpa harus mencari rizki, karena semuanya telah dijamin oleh pemerintah al-Azhar menjadi lembaga pendidikan yang teratur, yang kemudian diikuti oleh penguasa-penguasa yang datang kemudian.
Khalifah Fathimiyyah juga mencintai berbagai seni bangunan (arsitektur). Mereka mempercantik ibukota dan kota-kota lainnya dengan berbagai bangunan megah. Masjid agung al-Azhar dan masjid agung al-Hakim menandai kemajuan arsitektur zaman Fathimiyyah.

F.     Runtuhnya Daulat Fathimiyyah
Daulat Fathimiyyah (909-1171  M) di Mesir memuncak pada tahun 556 H/116 M sampai tumbang pada tahun 576 H/ 1171 M. Keadaan itu diwarisi oleh Khalifah-khalifah selama 65 tahun lamanya, sampai kepada masa khalifah Al-Adhid Liidnillah (1159-1171 M).
Bermula dari khalifah Al-Mustanshir yang mendaat tekanan dariunsur-unsur Berber. Untuk membebaskan dari pengaruh itu, Al-Mustanshir meminta bantuan kepada pemerintahan Tutush dari keluarga Seljuk di Baghdad, dan akhirnya Berberpun tersingkir.
Setelah khalifah Al-Mustanshir meninggal, ia digantikan oleh putranya yaitu Nizar, tetapi akhirnya ia dibunuh. Khalifah Nizar digantikan oleh adiknya, yaitu Al-Musta’li Billah, tetapi ia hanya memegang pemerintahan selama 7 tahun, dan kemudian mendadak mati.
Untuk menggantikannya, ditunjuk Amir  iamrillah yang merupakan keponakan al-Musta’li. Usianya masih kecil, karena itu, pemerintahan dijalankan oleh para pembesar militer, dan semenjak itu, tidak ada hantinya terjadi perebutan kekuasaan, hingga pada pemerintahan Al-Adhid Liidnillah, yang diangkat menjadi khalifah pada usia 11 tahun.
Runtuhnya Daulat Fathimiyyah bermula dari adanya serangan kaum Salit, sehingga memaksa Daulat Fathimiyyah untuk meminta bantuan kepada Nuruddin Zanki, penguasa Daulat Abbasiyyah di Suriah.[8] Kemudian, Shilahuddin (tokoh dari Abbasiyah) didesak oleh Nuruddin Zanki supaya bertindak menangkap khalifah Al-Adhiddan mengakhiri kekuasaan Daulat Fathimiyyah dan mengumumkan kekuasaan Daulat Abbasiyah dai tanah Mesir dan Afrika Utara serta di Afrika Barat.
Akan tetapi Shilahuddin bersikap hati-hati dan tidak berintak buru-buru. Ia memperhitungkan lawan-lawan yang tersembunyi sampai lawan-lawan tersebut benar-benar lumpuh. Barulah ia bertindak pada tahun 567 H/1171 M. Diumumkanlah pengakhiran kekuasaan Daulat Fathimiyyah kembalinya Daulat Abbasiyah sebagai penguasa. Khalifah Al-Adhid telah digantikan oleh khalifah Daulat Abbasiyah, yaitu khalifah Al-Mustadhi (1170-1179 M ).
Al-Adhid, sejak beberapa waktu lamanya ditimpa sakit keras dan sehari-hari sesudah pengumuman ia wafat. Ia tidak sempat mengetahui perubahan dan pergantian kekuasaan itu. Ia dikebumikan dengan upacara yang  sesuai dengan kedudukannya sebelumnya. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan Daulat Fathimiyyah di Mesir.


BAB III
PENUTUP

Dari materi yang telah dipaparkan, dapat diambil kesimpulan bahwa :
1.      Daulat Fathimiyyah berasal dari keturunan Fathimah binti Rasulullah yang beraliran syi’ah
2.      Daulat Fathimiyyah merupakan kekhalifahan yang berkuasa di Afrika Utara dan Mesir, dengan khalifah pertama yaitual-Mahdi.
3.      Daulat Fathimiyyah terdapat 14 khalifah dan memerintah selama kurang lebih dari 262 tahun
4.      Pada masa pemerintahannya, Daulat Fathimiyyah mencapai puncak kejayaannya, terutama pada masa pemerintahan Al-Mu’izz, Al-Aziz dan Al-Haim.
5.      Kemajuna-kemajuan Daulat Fathimiyyah didorong oleh beberapa faktor, antara lain militer yang kuat, administrasi pemerintahan yang baik, ilmu pengetahuan yang berkembang dan perekonomian yang stabil.
6.      Kemajuan-kemajuan yang diraih Daulat Fathimiyyah antara lain dalam bidang administrasi, kondisi sosial dan ilmu pengetahuan.
7.      Runtuhnya Daulat Fathimiyyah  bermula dari serangan kaum salib, kemudian Daulat Fathimiyyah meminta bantuan kepada tokoh Abbasiyah dan akhirnya kekuasaan diambil alih oleh Bani Abbasiyah
8.      Runtuhnya Daulat Fathimiyyah lebih disebabkan karena perebutan kekuasaan antara para penguasa tersebut yang terlalu mewah
9.      Daulat Fathimiyyah benar-benar berakhir pada masa pemerintahan Khalifah Al-Adhid Liidnillah, pada tahun 1171 M.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, K. Sejarah Islam (Tarikh Pra Modern). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2003
Al-Isy, Yusuf. Dinasti Abasiyyah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2007.
Khawadjib Muchtar dan Tim Penulis. Sejarah Kebudayaan Islam. Solo: CV. Al-Fath. 2007.
Langgung, Hasan. Pendidikan Islam dalam Abad ke 21. Jakarta: PT. Al-Husna Zukra. 2001.
Syou’b, Joesoef. Sejarah Daulat Abbasiyah III. Jakarta: Bulan Bintang. 1978.





[1] K. Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pra Modern (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 489-491.
[2] Kita tidak mempunyai bukti bahwa mereka dilenyapkan. Hal itu karena pemerintahan orang-orang loris berlangsung hingga akhir abad keempat hijriyah. Namun, mereka membagi diri mereka dan diganti oleh keluarga yang memerintah di Maroko. Maroko jauh tetap terpisah dari pemerintahan Fathimiyyah.
[3] Joesoef Syou’b, Sejarah daulat Abbasiyah III. Jakarta: Bulan Bintang, 1978. h. 189.
[4] Khawadjib Muchtar dan Tim Penulis. Sejarah Kebudayaan Islam. Solo: CV. Al-Fath. 2007. H. 38.
[5] K. Ali. Sejarah Islam (Tarikh Pra Modern). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada: 2003. H. 509-510.
[6] K. Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pra Modern). (Jakarta: pT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 510-513.
[7] Prof. Dr. Hasan Langgung. Pendidikan Islam dalam Abad Ke- 21. Jakarta: PT. Al-Husna, Cet. Ke 2 2001. H. 41-42.
[8] Khawadjib Muchtar dan Tim Penulis, Sejarah Kebudayaan islam, Solo: CV. Al-Fath. 2007. H. 38.