BAB
I
PENDAHULUAN
Melemahnya keemimpinan para khalifah Daulat Abasiyah merupakan titik awal
kehancurannya. Hal tersebut disebabkan karena gaya hidup mewah, dan hidu
foya-foya penguasa Dinasti Abbasiyah. Oleh karena itu, pada periode-periode
berikutnya, muncullah penguasa-penguasa daerah yang memiliki tentara sendiri,
serta memiliki kebebasan dalam menyelenggarakan pemerintahannya.
Kelompok yang memiliki kebebasan menyelenggarakan pemerintahan dibagi
menjadi tiga, yaitu kelompok yang merdeka berdiri sendiri, kelompok yang
mengakui kekuasaan Dinasti Abbasiyah dan mendapat gelar amir, dan kelompok yang
mengakui kekuasaan Dinasti Abbasiyah dengan mengirim upeti.
Dari kelompok-kelompok yang memiliki kebebasan menyelenggarakan
pemerintahan tersebut, salah satunya adalah daulat Fathimiyyah, yaitu kelompok
yang merdeka beridir sendiri. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas
tentang semua yang bersangkutan dengan Daulat Fathimiyyah, bagaimana asal
usulnya, siapa saja penguasanya, kemajuan-kemajuannya dan tentang runtuhnya.
Hal ini dimaksudkan supaya kita dapat mengetahui lebih jauh tentang Daulat
Fathimiyyah dan dapat mengambil manfaatnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Asal-usul
dan Pembentukan Daulat Fathimiyyah
Dinasti ini
mengklaim sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali Ibn Abu Thalib dan
Fathimah binti Rasulillah. Menurut mereka Abdullah al-Mahdi sebagai pendiri
dinasti ini merupakan cucu Ismail Ibn Ja’far al-Shadiq. Sedang Ismail merupakan
Imam Syi’ah yang ketujuh.
Setelah kematian
Imam Ja’far al-Shadiq, Syi’ah terpecah menjadi dua buah cabang. Cabang pertama
meyakini Musa al-Kazim sebagai imam ketujuh pengganti Imam Ja’far, sedang
sebuah cabang lainnya mempercayai Isma’il Ibn Muhammad al-Maktum sebagai Imam
Syi’ah ketujuh. Cabang Syi’ah kedua ini dinamakan Syi’ah Isma’iliyyah. Syi’ah
Ismailiyyah tidak menampakkan gerakannya secara jelas hingga muncullah Abdullah
Ibn Maymun yang membentuk Syi’ah Ismailiyyah sebagai sebuah sistem gerakan
politik keagamaan. Ia berjuang mengorganisir propaganda Syi’ah Ismailiyyah
dengan tujuan menegakkan kekuasaan Fathimiyyah. Secara rahasia ia mengirimkan
misionari ke segala penjuru wilayah muslim untuk menyebarkan ajaran Syi’ah
Ismailiyyah. Kegiatan ini menjadi latar belakang berdirinya dinasti Fathimiyah
di Afrika dan kemudian berpindah ke Mesir.
Sebelum kematian Abdullah
Ibn Maymun pada tahun 874 M, ia menunjuk pengikutnya yang paling bersemangat
yakni Abu Abdullah al-Husayn sebagai pimpinan gerakan Syi’ah Ismailiyyah. Ia
adalah orang Yaman asli, dan sampai dengan wakil al-Mahdi. Ia menyeberang ke
Afrika Utara, dan berkat propagandanya yang bersemangat ia berhasil menarik
smpatisan suku Berber, khususnya dari kalangan suku Kithamah menjadi pengikut
setia gerakan ahli bait ini.
Setelah berhasil
menegakkan pengaruhnya di Afrika Utara, Abu Abdullah al-Husayn menulis surat
kepada Imam Ismailiyyah yakni Sa’id Ibn Husayn al-Salamiyah agar segera
berangkat ke Afrika Utara untuk menggantikan kedudukannya sebagai pimpinan
tertinggi gerakan Ismailiyyah. Selanjutnya gerakan ini berhasil menduduki Tunis,
pusat pemerintahan dinasti Aghlabi, pada tahun 909 M, dan sekaligus mengusir
penguasa Aghlabi yang terakhir, yakni Zidayatullah. Said kemudian memplokamirkan
diri sebagai imam dengan gelar “Ubaydullah al-Mahdi”. Dengan demikian
terbentuklah pemerintahan dinasti Fathimiyyah di Afrika Utara dengan al-mahdi
sebagai khalifah pertamanya.[1]
B.
Kondisi
Mesir Sebelum Pendudukan Daulat Fathimiyyah
Mesir menghadapi 3 musuh akibat
propaganda, yaitu:
1. Orang-orang
Qaramithah dengan madzab, revolusi dan kekacauan yang mereka timbulkan.
2. Kondisi
Mesir yang kacau akibat perselisihan antara tentara krisis ekonomi yang semakin
memburuk dan kezaliman terhadap rakyat.
3. Orang
yang sedang menunggu kesempatan untuk menyerang Mesir dari arah Maroko, yaitu
pasukan Fathimiyyah yang telah melakukan persiapan dengan baik.
Penduduk Mesir
harus memilih salah satu dari ketiga musuh tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa
mereka tidak akan memilih Qaramithah. Ketakutan mereka terhadap Qaramithah
lebih besar daripada ketakutan terhadap dua musuh yang lainnya.
Musuh di dalam pun
sangat menyiksa mereka. Mereka sedang ada dalam kondisi kacau dan krisis di
mana-mana. Adapun musuh yang ada di Maroko, mereka tidak akan melihat kejelekan
sedikitpun. Bahkan, mereka mendengar bahwa musuh tersebut hidup secara
sederhana, adil, dan lurus. Meskipun demikian, ia tetap musuh yang memiliki
madzab berbeda dengan penduduk Mesir. Musuh bermadzhab Syi’ah, sedangkan mereka
bermadzab Maliki dan Syafi’I kolot.
Pada awalnya
orang-orang Fathimiyyah di Maroko tidak bermadzhab Syi’ah secara berlebihan.
Bisa jadi, mereka bermadzhab Alawi. Mereka tidak banyak yang bermadzab Syi’ah Imamiyyah kecuali mereka berpendapat
tentang tujuh imam. Kemudian, merekapun mengetahui watak dan kecenderungan
madzhab orang Mesir. Dengan demikian, mereka menyebarkan propaganda di sana
dengan cara lembut dan halus.
C.
Berdirinya
Daulat Fathimiyyah
Demikianlah,
Ubaidilah memndapatkan dirinya sebagai pemimpin negara. Sedangkan komandan
tentara yang juga pemimpin negara adalah Abu Abdillah Asy-Syi’i. Dia menyebut
dirinya dengan Al-Mahdi dan menggunakan gelar Amirul Mukminin. Dia menganggap
dirinya sebagai khalifah. Kemudian, dia juga menggunakan cara yang dipakai
orang-orang Abasyiah. Dia membangun kota untuk dirinya dan tentaranya yang di
sebut Al-Mahdiyah. Hal tersebut terjadi pada tahun 308 hijriyah. Dalam hal ini,
dia melekukan hal yang telah dilakukan Abu Ja’far Al-Manshur ketika membangun
baghdad.
Disini, kita
harus menyebutkan bahwa ada kemiripan antara orang-orang Abasyiah tarhadap
pemerintahan Bani Umayyah dan revolusi orang-orang Fathimiyah terhadap
pemerintahan Bani Abbasyih. Cara yang digunakanpun persis sama. Bahkan,
kejadian-kejadian pun serupa, taitu hubungan Abu abdillah Asy-Syi’I, komandan
orang-orang Fathimiyah, dan Al-Mahdi Abidullah-Amirul Mukminin orang-orang
Fathimiyah.
Abu Abdillah Asy-
Syi’I ingin memiliki kekuasaan. Dia yang membuka Maroko untuk orang-orang
Fathimiyah. Al-Mahdi Abidullah pun ingin memiliki kekuasaan. Abu Abidllah
memberontak kepadanya tetapi pemberontakannya gagal. Al-Mahdi pun membunuhnya,
sebagaimana Abu Ja’far Al-Manshur membunuh Abu Muslim Al –Khurasani.
Perluasan
kebarat dan menyatukan marakisi
Setelah peristiwa
tersebut, yang ada di benak orang-orang fathimiyah adalah menenangakan suasana
di Maroko dan menguatkan kekuasaan mereka. Namun, mereka menjumpai dua
kesulitan; yang pertama adalah keberadaan orang-orang Idris di Maraskisy, dan
kedua adalah keberadaan orang-orang khawarij di antara orang-orang Barbar. Mereka
pun melakukan hal yang seharusnya mereka lakukan, yaitu memerangi dan
melenyapkan orang-orang Idris,[2]
membawa tentara mereka ke Maroko sampai Maraskisy. Namun, Amdurrahman Ats-
Tsalits (Abdurrahman Ketiga) menghentikan mereka dari arah Sabtah. Namun,
mereka telah mengusai sebagian besar daerah Maroko.
Adapun dengan
khawarij, mereka terpaksa melakukan peperangan yang sengit dan meluas. Salah
seorang khawarij yang bernama Abu Yazid memberontak kepada mereka sehingga
menimbulkan kesengsaraan. Akhirnya, setelah pertempuran panjang pada tahun 336
hijriah, mereka pun berhasi melenyapkan dia.
Melirik
Negara-Negara Timur dan Berpikir Untuk Menyatukan Mesir
Tujuan asasi
orang-orang Fathimiyah adalah mendirikan khilafan universal sebagai ganti
khilafah Abbasyiah. Dengan demikian, untuk memperluas wilayahnya, mereka harus
bergerak ke Mesir dan dari Mesir ke Irak. Pada kenyataannya, mereka tidak cukup
untuk memikirkan hal tersebut, bahkan pada waktu-waktu hitam sejarah mereka di
Maroko. Dari Al-Mahdiyyat, mereka bergarak ke Mesir dengan beberapa kali
serangan pada tahun 203, 307, 321, 323
dan 322 hijriyah. Namun, semua serangan tersebut kalah, meskipun mereka telah
menguasai Alexandria.dengan demikin, mereka terpaksa menarik diri.
Penyebab
kekalahan mereka adalah ketika itu Mesir dalam keadaan kuat, terutama di masa
terakhir Al-Ikhsyid. Al-Ikhsyid merupakan orang yang pandai berpolitik dan
memerintah. Dia memerintah mesir dengan menggandeng khilafah Abbasyiah. Dia
diberi gelar Al-Ikhsyid yang berarti raja diantara raja-raja. Gelar tersebut
telah dikenal di negeri aslinya, Turki. Namun, kekalahan tersebut tidak
memalingkan keinginan orang-orang fathimiyyah untuk menguasai Mesir. Tidak lama
kemudian, Al-Ikhsyid pun meninggal dunia. Kondisipun menjadi kacau dan Kafur
memimpin Mesir setelah Al-Ikhsyid.
Kafur adalah
seorang budak hitam. Masyarakat menerima pemerintahannya dengan terpaksa. Kafur
memerintah tidak sampai dua tahun. Kemudian, Ja’far bin Al-Furat yang menjadi
memimpin. Namun, dimasanya keadaan semakin memburuk. Rakyat pun menderita atas
kezaliman tentara dan kehidupan mewah para pemimpin yang sulalu memuaskan hawa
nafsunya. Lalu, timbulah krisis ekonomi dan kelaparan. Rakyat pun dizalimi. Ketika
itu, orang-orang Qaramithah masih ada di Syiria melakukan serangan yang
bertubi-tubi. Untuk kali ini, sasaran mereka adalah Mesir. Ketika itu penduduk
Mesir merasakan hal tersebut, tetapi mereka tidak bisa melakukan apa-apa
dihadapan bahaya yang tiba-tiba tersebut. Dalam situasi seperti inilah,
Al-Mu’izz menyiapkan pasukan untuk menguasai Mesir. Sebelum itu, dia telah
menyebarkan propaganda kepada masyarakat.
D.
Penguasa-penguasa
Daulat Fathimiyyah
Daulat Fathimiyyah
(297-567 H/909-1171 M), dibangun oleh Emir Ubaidullah Al-Mahdi, menguasai
Afrika Utara dan Mesir, bermula berkedudukan di Kairwan (Tunisia) dan kemudian
di Al-Qahirah (Kairo)[3]
KHALIFAH-KHALIFAH DAULAT
FATHIMIYYAH
1. Al-Mahdi
(297-323 H/909-934M)
Al-Mahdi merupakan
penguasa Fathimiyyah yang cakap. Dua tahun semenjak penobatannya, ia menghukum mati pimpinan propagandanya
yakni Abu Abdullah al-Husayn karena terbukti bersekongkol dengan saudaranya
untuk melancarkan perebutan jabatan khalifah. Kemudian al-Mahdi melancarkan gerakan
ke Afrika. Pada tahun 920 khalifah dl-Mahdi mendirikan kota baru di pantai
Tunisia dan menjadikannya sebagai ibukota Fathimiyyah. Kota ini dinamakan kota
Mahdiniyah.
Al-Mahdi ingin
menakulkkan Spanyol dari kekuasaan Umayyan, namun ambisinya ini belum tercapai
sampai ia meningggal pada tahun 934.
2. Al-Qa’im
(323-335H/934-949M)
Al-Mahdi
digantikan oleh putranya yang tertua, Abul Qasim. Pada tahun 934 M. ia telah
mengerahkan pasukan dalam jumlah besar ke daerah selatan pantai Perancis.
Pasukan ini berhasil menduduki Genoa dan wilayah sepanjang pantai Calabria.
Mereka melancarkan pembunuhan, penyiksaan, pembakaran kapal dan merampas budak.
Pada sat yang sama juga mengerahkan pasukannya ke Mesir, namun dikalahkan oleh
dinasti Ihsidiyah, sehingga merk aterusir dari Alexandria.
Al-Qa’im merupakan
prajurit pemberani. Hampir setiap ekspedisi militer dipimpinnya secara
langsung. Ia merupakan Khalifah Fahimiyyah pertama yang menguasailautan tengah.
Ia meninggal pada tahun 946 M. Al-Qa’im digantikan oleh putranya al-Manshur.
Al-Manshur adalah
pemuda yang sangat lincah. Ie mambangun sebuah kota yang sangat megah di
wilayah perbatasan Susa’ yang dinamakan kota al-Manshuriyah.
3. Mu’izz
(341-352 H/965-975 M)
Ketika Al-Manshur
meninggal, putranya yang bernama Abu Tamim Ma’ad menggantikannya sebagai
khalifah dengen bergelar Mu’izz. Penobatan Mu’izz sebagai khalifah keempat
menandai era baru dinasti Fathimiyyah. Banyak keberhasilan yang dicapainya.
Pertama, ia menetapkan untuk mengadakan peninjauan ke seluruh penjuru wilayah kekuasannya.
Selanjutnya ia menghadapi gerakan bersedia tunduk ke dalam kekuasaan Mu’izz.
“penaklukkan Mesir
merupakan cita-cita terbesar gerakan ekspedisi Mu’izz”, kata Lane Poole. Mu’izz
telah lama menanti datangnya kesempatan untuk mewujudkan cita-cita tersebut.
Maka ketika Mesir dilanda kerusuhan serius di tahun 968 M, Mu’izz segera
memerintahkan jauhar untuk mengerahkan pasukan penakluk Mesir. Pada tahun 969
M, jauhar berhasil menduduki Fusthat tanpa suatu perlawanan. Peristiwa ini
menandai berakhirnya kekkuasaan dinasti Ihsidiyah di Mesir dan Mesir memasuki
era baru di bawah pemerintahan fathimiyyah. Jauhar segera membangun kota
Fusthat menjadi kota baru dengan nama Qahiron (kairo). Semenjak tahun 973 kota
ini dijadikan sebagai ibukota pemerintahan fathimiyyah.
Khalifah Mu’izz meninggal tahun 975
M., setelah memerintah selama 23 tahun. Ia merupakan khalifah Fathimiyyah
terbesar. Ia adalah pendiri dinasti Fathimiyyah.
4. Al-Aziz
(365-386 H/975-966 M)
Al-Aziz
menggantikan kedudukan ayahnya, Mu’izz. Ia dicatat sebagai khalifah Fathimiyyah
yang paling bijaksana dan pemurah. Kemajuan Imperium fathimiyyah mencapai
puncaknya pada masa ini. Luas kekuasaan imperium membentang dai wilayah Euprat
sampai dengan Atlantik.
Bangunan megah
banyak didirikan di kota kairo seperti The golden Plalace, the Pearl Pavilion,
dan Mesjid Karafa. Ia adalah seorang penyair dan tokoh pendidikan. Masjid
al-Azhar diresmikan olehnya sebagai sebuah akademi.
Khalifah al-Azizi terkenal sangat
pemurah, bahkan terhadap musuhnya sekalipun.
Al-Azizi meninggal pada tahun 386
H/996 M. dan bersamaan dengan ini berakhirlah kejayaan dinasti Fathimiyyah.
5. Al-Hakim
(386-412 H/996-1021 M)
Sepeninggal
al-Aziz, kahlifah Fathimiyyah dijabat oleh anaknya yang bernama Abu al-Manshur
al-hakim. Ketika naik tahta ia baru berusia sebelas tahun. Selama tahun-tahun
pertama Al-hakim berada di bawah pengaruh seorang gubernurnya yang bernama
Barjawan.
Al-Hakim merupakan
pribadi muslim yang taat. Ia adalah pendiri sebuah tempat pemujaan suku aliran
Druz di Libanon. Aliran ini menganggapnya sebagai ingkarnasi Tuhan. Ia
mendirikan sejumlah masjid, perguruan, dan pusat observasi di Syria.
6. AL-Zahir
(412-426 H/1021-1036 M)
Al-Hakim
digantikan oleh putranya yang bernama Abu Hasyim Ali dengan gelar al-Zahir. Ia
naik tahta pada usia enam belas tahun, sehingga pusat kekuasaan dipegang oleh
bibinya yang bernama Aitt al-Mulk. Sepeninggal sang bibi, al-Zahir menjadi raja
boneka di tangan menteri-menterinya. Sang khalifah terjerat pola kehidupan
santai dan banyak menikah. Ia meninggal pada bulan Juni 1036 M, setelah
memerintah selama 16 tahun.
7. Al-Mustansir
(427-487 H/1036-1095 M)
Al-Zahir
digantikan oleh anaknya yang bernama Abu Tamim Ma’ad yang bergelar
al-Mustansir, pemerintahannya selama 61 tahun merupakan masa pemerintahan
terpanjang dalam sejarah Islam. Masa awal pemerintahannya berada sepenuhnya di
tangan ibunya, lantaran ketika dinobatkan sebagai khalifah ia baru berusia 7
tahun. Pada masa ini kekkuasaan Fathimiyyah mengalami kemunduran secara
drastis.
Sepeninggal
al-Mustansir pada tahun 487 H/1095 M, Imperium Fathimiyyah dilanda konflik dan
permusuhan. Tidak seorangpun khalifah sesudahnya mampu mengendalikan
kemerosotan imperium ini.
8. Al-Musta’li
(487-495 H/1095-1101 M)
Putra termuda
al-Mustansri yang bergelar al-Musta’li menduduki tahta khalifah sepeninggal
sang ayah. Nizar, putra al-Mustansir yang tertua, menentang penobatan adiknya.
Al-Musta’li,
setelah meninggal, anaknya yang masih hijau yang bernama al-Amir Manshur dengan
gelar al-Amir dinobatkan sebagai khalifah oleh al-Afzal. Afzal merupakan
perdana menteri yang berkukasa secara absolut selama 20 tahun masa pemerintahan
al-Amir. Ia merupakan raja Mesir yang sesungguhnya selama hampir 50 tahun.
Setelah al-Amir
menjadi korban pembunuhan politik, kemenakannya yang bernama al-Hafiz
memplokamirkan diri sebagai khalifah. Pemerintahan al-Hafiz ini diwarnai dengan
perpecahan antar unsur kemiliteran. Anaknya, Abul Manshur Ismail dengan gelar
al-Zafir menggantikan kedudukannya setelah kematian al-Hafiz. Ia adalah pemuda
17 tahun yang tampan dan semborno yang lebih memikirkan urusan perempuan dan
musik daripada urusan politik dan pertahanan. Segala urusan negara dijalankan
oleh perdana menteri yang bernama Abul
Hassan Ibn al-Salar, sehingga sang khalifah sekedar sebagai simbol belaka. Al-Zafir
meninggal pada tahun 1154 M, terbunuh oleh Nasir Ibn Abbas.
Anak al-Zafir yang
masih balita menggantikan ayahnya dengan bergelar al-Faiz. Ia meningal dunia
sebelum dewasa dan digantikan oleh kemenakannya al-Azid. Sewaktu naik tahta
sang khalifah berusia sembilan tahun. Ia merupakan khalifah fathimiyyah yang ke
14 dan mengakhiri masa pemerintahan selama kurang lebih 2,5 abad. Dalam kondisi
yang sempoyongan, datangSultan Salahuddin pejuang dalam perang Salib. Sultan
Salahuddin menurunkan khalifah Fathimiyyah terakhir ini yakni yang didirikan
oleh Ubaudullah Al-mahdi ini berakhir.
E.
Kemajuan-kemajuan
Daulat Fathimiyyah
1.
Faktor
yang mendorong kemajuan Dinasti Fathimiyyah
a. Militer
yang kuat
b. Administrasi
pemerintah yang baik
c. Ilmu
pengetahuan yang berkembang
d. Perekonomian
yang stabil[4]
2.
Bidang
Administrasi
Periode dinasti
Fathimiyyah menandai era baru srjarah bangsa Mesir. Sebagian khalifah dinasti
ini adalah pejuang-pejuang dan penguasa besar yang berhasil menciptakan
kesejahteraan dan kemakmuran di Mesir.
Administrasi
kepemerintahan dinasti Fathimiyyah secara gratis besarnya tadak berbeda dengan
administrasi dinasti Abbasyiah, sekalipun pada masa ini muncul babarapa jabatan
berbeda. Khalifah menjabat sebagai kepala negara baik dalam urusan keduniaan
maupun urusan spiritual. Ia berwenang mengangkat dan sekaligus menghentikan
jabatan-jabatan dibawahnya.[5]
Kementrian negara (Wasir) terbagi menjadi dua kelompok: pertama adalah
“orang-orang ahli pedang”, dan kedua adalah “orang-orang ahli pena”. Kelompok
pertama menduduki urusan militer dan keamanan istana serta pengawal pribadi
khalifah. Sedangkan kkelompok kedua menduduki beberapa jabatan kementrian
sebagai berikut:
a. Hakim.
b. Pejabat
pendidikan sekaligus sebagai pengelola lembaga ilmu pengetahuan atau Darr
al-Hikmah.
c. Inspektor
pasar yang bertugas menertibkan pasar dan jalan.
d. Pejabat
keuangan yang menangani segala urusan keuangan negara.
e. Regu
pembantu istana.
f. Petugas
pembaca Al- Quran.
Tingkat terendah
kelompok “ahli pena”adalah petugas penjaga dan juru tulis.
Diluar jabatan
Istana diatas, terdapat jabatan-jabatan tingkat daerah yang meliputi tiga
daerah: Mesir, Syiria, dan daerah-daerah di Asia kecil. Khusus daerah Mesir
terdiri dari empat provinsi: Provinsi Mesir bagian atas, Timur, Barat, dan
wilayah Alexandria.
3.
Kondisi
sosial
Mayoritas khalifah
Fathimiyyah bersikap moderat dan penuh perhatian kepada urusan agama non Islam.
Selama masa ini pemeluk Kristen Mesir diperlakukan secara bijaksana, hanya Al-
Hakim yang bersifat agak keras terhadap mereka. Pada mmasa Al-Aziz, mereka
diuntungkan dari pada umat Islam, dimana mereka ditunjuk menduduki
jabatan-jabatan tinggi di istana. Demikian pula pada masa al-Mustansir dan
seterusnya, mereka hidup penuh kedamaian dan kemakmuran. Demikianlah, semua ini
menunjukkan kebijaksanaan penguasa Fathimiyyah terhadap umat Kristen.
Salah seorang
propaganda Isma’iliyyah berkebangsaan Persia, Nashir al- Khursaw, yang
mengunjungi Mesir pada tahun 1046-1049 M, meninggalkan catatan tentang Kairo.
Pada saat itu ia mendapatkan kota Kairo sebagai kota makmur dan sentosa. Rakyat
menaruh kepercayaan penuh terhadap pemerintah karena tegaknya hukum.
Nasir al-Khursaw,
sangat takjub atas kesejahteraan dan kemakmuran negeri ini, sehingga dengan
sangat menarik dia menyatakan: ‘saya tidak sanggup menaksir kesejahteraan dan kemakmuran negeri ini, dan saya belum
pernah melihat kemakmuran sebagaimana yang terdapat di negeri ini”.[6]
4.
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan
Kesusastraan
Pada masa Sinasti Fathimiyyah ini
banyak diantara khalifah dan para wazir menaruh perhatian dan penghormatan
kepada para ilmuwan dan pujangga. Ibn Killis merupakan salah seorang Wazir
Fathimiyyah yang sangat memperdulikan bidang pengajaran. Ia mendirikan sebuah
akdemi dan memberinya subsidi besar setiap bulan. Pada masa Ibn Killis ini di
dalam istana al-Aziz terdapat seorang fisikawan besar yang bernama Muhammad
al-Tamimi. Al-Kindi, sejarawan dan topografer terbesar hidup di Fusthat dan
meninggal pada tahun 961 M. Pakar terbesarnya adlah Qazdi al-Nu’aim dan
beberapa keturunan yang menduduki jabatan Qazi dan keagamaan tertinggi. Para
Qazi ini tidak ahnya pendai dalam bidang hukum, melainkan juga cakap dalam
berbagai disiplin pendidikan tinggi.
Beberapa diantara
khalifah Fathimiyyah adalah tokoh pendidikan dan orang berperadaban tinggi.
Al-Aziz termasuk diantara khalifah yang mahir dalam bidang syair dan mencintai
kegiatan pengajaran. Ia telah mengubah masjid agung Al-Azhar menjadi sebuah
akademi.
Perkembangan ilmu
pengetahuan ditandai juga dengan kemajuan Al_Azhar. Tiga thun setelah masjid
al-Azhar didirikan pada tahun 359 H (970 M) barulah kegiatan ilmiah sederhana
seperti kuliah-kuliah yang diberikan pada masjid ‘Amr, masjid al-‘Askar dan
masjid Ibn Tulun. Seri kuliah yang terkenal adalah yang dijalankan oleh
Ibn Kilas dan seri itu disebut Ibn Kilas. Yang berjalan di bawah pemerintahan
al-Aziz Billah Abu Manshur Nazzar (365-386 H/975-996 M). Peristiwa ini
mempunyai signifikan dalam perkembangan Al-Azhar sebagai lembaga pendidikan.
Rencana Ibn Kilas ini sebagai usaha untuk menghimpun ahli-ahli fiqih yang
berkewajiban menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah yang diadakan oleh Ibn Kilas
di Al-Azhar.[7]
Pengajian di bawah Ibn
Kilas berjalan menurut garis Syi’ah. Bidang-bidang yag menjadi pusat
perbincangan dalam seri kuliah itu adalah kajian agama, kajian bahasa, dan
kajian sastra.
Ada juga peristiwa
penting bersamaan dengan munculnya Al-Azhar sebagai lembaga pendidikan, yaitu
didirikannya Dar al-Hikmah. Setelah Dar al-Hikmah didirikan penekanan kajian
syi’ah di al-Azhar dikendorkan, tugasnya diambil alih oleh Dar al-Hikmah yang
bertujuan mengeluarkan pemimpin Syi’ah dalam beragai bidang ilmiah.
Ahli sejarah Mesir
dengan kagum memuji tindakan khalifah al-Aziz sebagai respon terhadap rencana
Ibn Kilas, sebab semenjak itu al-Azhar menemukan ciri-ciri ilmiahnya di mana
pelajar-pelajar diangkat untuk mendalami ilmu-ilmu tertentu tanpa harus mencari
rizki, karena semuanya telah dijamin oleh pemerintah al-Azhar menjadi lembaga
pendidikan yang teratur, yang kemudian diikuti oleh penguasa-penguasa yang
datang kemudian.
Khalifah Fathimiyyah
juga mencintai berbagai seni bangunan (arsitektur). Mereka mempercantik ibukota
dan kota-kota lainnya dengan berbagai bangunan megah. Masjid agung al-Azhar dan
masjid agung al-Hakim menandai kemajuan arsitektur zaman Fathimiyyah.
F.
Runtuhnya
Daulat Fathimiyyah
Daulat Fathimiyyah
(909-1171 M) di Mesir memuncak pada
tahun 556 H/116 M sampai tumbang pada tahun 576 H/ 1171 M. Keadaan itu diwarisi
oleh Khalifah-khalifah selama 65 tahun lamanya, sampai kepada masa khalifah
Al-Adhid Liidnillah (1159-1171 M).
Bermula dari khalifah
Al-Mustanshir yang mendaat tekanan dariunsur-unsur Berber. Untuk membebaskan
dari pengaruh itu, Al-Mustanshir meminta bantuan kepada pemerintahan Tutush
dari keluarga Seljuk di Baghdad, dan akhirnya Berberpun tersingkir.
Setelah khalifah
Al-Mustanshir meninggal, ia digantikan oleh putranya yaitu Nizar, tetapi
akhirnya ia dibunuh. Khalifah Nizar digantikan oleh adiknya, yaitu Al-Musta’li
Billah, tetapi ia hanya memegang pemerintahan selama 7 tahun, dan kemudian
mendadak mati.
Untuk menggantikannya,
ditunjuk Amir iamrillah yang merupakan
keponakan al-Musta’li. Usianya masih kecil, karena itu, pemerintahan dijalankan
oleh para pembesar militer, dan semenjak itu, tidak ada hantinya terjadi perebutan
kekuasaan, hingga pada pemerintahan Al-Adhid Liidnillah, yang diangkat menjadi
khalifah pada usia 11 tahun.
Runtuhnya Daulat
Fathimiyyah bermula dari adanya serangan kaum Salit, sehingga memaksa Daulat
Fathimiyyah untuk meminta bantuan kepada Nuruddin Zanki, penguasa Daulat Abbasiyyah
di Suriah.[8]
Kemudian, Shilahuddin (tokoh dari Abbasiyah) didesak oleh Nuruddin Zanki supaya
bertindak menangkap khalifah Al-Adhiddan mengakhiri kekuasaan Daulat
Fathimiyyah dan mengumumkan kekuasaan Daulat Abbasiyah dai tanah Mesir dan
Afrika Utara serta di Afrika Barat.
Akan tetapi Shilahuddin
bersikap hati-hati dan tidak berintak buru-buru. Ia memperhitungkan lawan-lawan
yang tersembunyi sampai lawan-lawan tersebut benar-benar lumpuh. Barulah ia
bertindak pada tahun 567 H/1171 M. Diumumkanlah pengakhiran kekuasaan Daulat
Fathimiyyah kembalinya Daulat Abbasiyah sebagai penguasa. Khalifah Al-Adhid
telah digantikan oleh khalifah Daulat Abbasiyah, yaitu khalifah Al-Mustadhi
(1170-1179 M ).
Al-Adhid, sejak beberapa
waktu lamanya ditimpa sakit keras dan sehari-hari sesudah pengumuman ia wafat.
Ia tidak sempat mengetahui perubahan dan pergantian kekuasaan itu. Ia
dikebumikan dengan upacara yang sesuai
dengan kedudukannya sebelumnya. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan Daulat
Fathimiyyah di Mesir.
BAB
III
PENUTUP
Dari materi yang
telah dipaparkan, dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. Daulat
Fathimiyyah berasal dari keturunan Fathimah binti Rasulullah yang beraliran
syi’ah
2. Daulat
Fathimiyyah merupakan kekhalifahan yang berkuasa di Afrika Utara dan Mesir,
dengan khalifah pertama yaitual-Mahdi.
3. Daulat
Fathimiyyah terdapat 14 khalifah dan memerintah selama kurang lebih dari 262
tahun
4. Pada
masa pemerintahannya, Daulat Fathimiyyah mencapai puncak kejayaannya, terutama
pada masa pemerintahan Al-Mu’izz, Al-Aziz dan Al-Haim.
5. Kemajuna-kemajuan
Daulat Fathimiyyah didorong oleh beberapa faktor, antara lain militer yang
kuat, administrasi pemerintahan yang baik, ilmu pengetahuan yang berkembang dan
perekonomian yang stabil.
6. Kemajuan-kemajuan
yang diraih Daulat Fathimiyyah antara lain dalam bidang administrasi, kondisi
sosial dan ilmu pengetahuan.
7. Runtuhnya
Daulat Fathimiyyah bermula dari serangan
kaum salib, kemudian Daulat Fathimiyyah meminta bantuan kepada tokoh Abbasiyah
dan akhirnya kekuasaan diambil alih oleh Bani Abbasiyah
8. Runtuhnya
Daulat Fathimiyyah lebih disebabkan karena perebutan kekuasaan antara para
penguasa tersebut yang terlalu mewah
9. Daulat
Fathimiyyah benar-benar berakhir pada masa pemerintahan Khalifah Al-Adhid Liidnillah, pada tahun 1171 M.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, K. Sejarah Islam (Tarikh Pra
Modern). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2003
Al-Isy, Yusuf. Dinasti Abasiyyah. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar. 2007.
Khawadjib Muchtar dan Tim Penulis. Sejarah
Kebudayaan Islam. Solo: CV. Al-Fath. 2007.
Langgung, Hasan. Pendidikan Islam dalam
Abad ke 21. Jakarta: PT. Al-Husna Zukra. 2001.
Syou’b, Joesoef. Sejarah Daulat
Abbasiyah III. Jakarta: Bulan Bintang. 1978.
[1] K.
Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pra Modern (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 489-491.
[2]
Kita tidak mempunyai bukti bahwa mereka dilenyapkan. Hal itu karena
pemerintahan orang-orang loris berlangsung hingga akhir abad keempat hijriyah.
Namun, mereka membagi diri mereka dan diganti oleh keluarga yang memerintah di
Maroko. Maroko jauh tetap terpisah dari pemerintahan Fathimiyyah.
[3] Joesoef Syou’b, Sejarah daulat
Abbasiyah III. Jakarta: Bulan Bintang, 1978. h. 189.
[4]
Khawadjib Muchtar dan Tim Penulis. Sejarah
Kebudayaan Islam. Solo: CV. Al-Fath. 2007. H. 38.
[5] K.
Ali. Sejarah Islam (Tarikh Pra Modern). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada:
2003. H. 509-510.
[6] K. Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pra
Modern). (Jakarta: pT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 510-513.
[7] Prof. Dr. Hasan Langgung. Pendidikan
Islam dalam Abad Ke- 21. Jakarta: PT. Al-Husna, Cet. Ke 2 2001. H. 41-42.
[8] Khawadjib Muchtar dan Tim Penulis, Sejarah
Kebudayaan islam, Solo: CV. Al-Fath. 2007. H. 38.