EPISTEMOLOGI
FILSAFAT
PENDIDIKAN
Disusun
oleh:
1.
Mutmainah 202109386
2.
Puji Lestari 202109400
3.
Puji Ayu Mahlia Alba 202109405
4.
Alfa Nafisatus Zuhro 202109408
5.
M Kamal 202109372
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ada
dua dimensi dalam kajian
filsafat pendidikan Islam yaitu dimensi makro dan dimensi mikro, adapun dimensi
makro filsafat pendidikan Islam ini diantaranya membahas tentang epistemologi.
Ilmu
merupakan pengetahuan pengetahuan yang mempunyai karakteristik tersendiri.
Pengetahuan mempunyai berbagai cabang pengetahuan dan ilmu merupakan salah satu
cabang pengetahuan tersebut. Karakteristik keilmuan itulah yang mencirikan
hakikat keilmuan dan sekaligus membedakan ilmu dari berbagai cabang pengetahuan
lainnya.
Dalam
epistemologi yang paling mendasar untuk dibicarakan adalah apa yang menjadi
sumber pengetahuan, bagaimana struktur pengetahuan yang dimana hal ini akan
berkaitan dengan macam/jenis pengetahuan dan bagaimana kita dapat memperoleh
pengetahuan tersebut.
Sejak
mula, epistimologi merupakan salah satu bagian dari filsafat sistematik yang
paling sulit sebab epistemologi menjangkau permasalahan-permasalahan yang
membentan seluas jangkauan metafisika sendiri, selain itu pengetahuan merupakan
hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan ilmiah dalam
kehidupan sehari-hari.
B.
Perumusan Masalah
Dari
pembahasan latar belakang yang dikemukakan di atas dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1.
Apakah pengertian dan hakikat epistemologi?
2.
Apa saja teori-teori ilmu pengetahuan?
3.
Bagaimanakah pendekatan dan metode memperoleh
ilmu pengetahuan?
C.
Cara Memecahkan Masalah
Di
dalam makalah ini akan diuraikan beberapa hal yang terkait dengan epistemologi
filsafat pendidikan maka untuk memecahkan masalah yang berhubungan hal tersebut
dapat dilihat literatur sebagai berikut:
1.
Buku karya Abdul Khobir, M.Ag yang berjudul
filsafat pendidikan Islam.
2.
Buku karya Dr. P. Hardono Hadi yan berjudul
Epistemologi Filsafat Pengetahuan
D.
Sistematika Penulisan
BAB
I Pendahuluan
1.
Latar Belakang Masalah
2.
Perumusan masalah
3.
Cara memecahkan masalah
BAB
II Pembahasan
1.
Pengertian dan hakikat epistemologi
2.
Teori-teori ilmu pengetahuan
3.
Pendekatan dan metode perolehan ilmu pengetahuan
BAB
III Penutup
1.
Simpulan
2.
Saran
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Hakikat Epistemologi
Secara bahasa (etiologi) epistemologi ini
berasal dari bahasa Yunani, yaitu “episteme” dan “logos. Episteme
berarti pengetahuan sedangkan logos berarti teori, uraian atau alasan. Jadi
epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan (teori of
knowledge).[1]
Sedangkan pengertian epistemologi menurut
terminologi merupakan suatu cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam dan
radikal tentang asal mula pengetahuan, tsruktur, metode dan validitas
pengetahuan.[2]
Selain itu epistemologi juga berarti
cabang filsafat yang mempelajari soal watak, batas-batas dan berlakunya ilmu
pengetahuan. Dengan menyederhanakan batasan di atas, Brameld mendefinisikan
epistemologi sebagai “it is epistemology that gives the teacher the
assurance that he is conveying the truth to his student”. Epistemologi
memberikan kepercayaan dan jaminan bgai guru bahwa ia memberikan kebenaran
keapda murid-muridnya.[3]
Istilah ilmu pengetahuan terdiri dari 2
kata, yaitu ilmu dan pengetahuan. Adapun ilmu adalah pengetahuan yang disusun
dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan, studi dan pengalaman untuk
menentukan hakikat dan prinsip tentang sesuatu yang sedang dipelajari sedangkan
pengetahuan merupakan hubungan objek dengan subjek, sehingga dalam epistemologi
terdapat pokok-pokok tentu yang menjadi objek epistemologi sendiri sebagai
suatu manifestasi dari penyelidikan.
Dengan demikian epistemologi atau teori
tentang ilmu pengetahuan adalah inti sentral setiap pandangan dunia, seperti
yang disebutkan dalam hadits :
مَنْ اَرَدَا الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ وَمَنْ اَرَادَ اْلآخِرَةَ
فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ وَمَنْ اَرَادَ هُمَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ
“Barang
siapa menginginkan dunia maka hanya memiliki ilmu, barangsiapa menginginkan
akhirat maka harus mempunyai ilmu pula, dan barangsiapa menginginkan
kedua-duanya maka harus mempunyai ilmu.”
Dalam konteks Islam, ilmu merupakan
parameter yang bisa menetapkan apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin
menurut bidang-bidangnya. Firman Allah menyebutkan: فَاسْألُو . . .
Pada hakikatnya apakah ada hukum-hukum
ilmu pengetahuan yang memberikan pedoman kepada kita untuk percaya atau tidak
percaya tentang sesuatu, kemudian bagaimana seharusnya sikap kita untuk dapat
mengerti kebenaran berupa pendapat, intuisi, kepercayaan, fakta-fakta, yang ada
di dalam lingkungan kita.
Secara historis gerakan pemikiran
reflektif yang memuncak didalam munculnya masalah pengetahuan secara terpisah
dapat ditelusuri secara analisis pada tahap awal dari tahap historis dan
analitis merupakan keadaan dimana anggapan umum (common sense) menemukan
dirinya. Orang pada umumnya menyadari diri memiliki sejumlah pengetahuan yang
dianggapnya pasti dan tidak boleh dianggap remeh.
Disinilah epistemologi bukan hanya mungkin
tetapi mutlak perlu suatu pikiran yang telah mencapai tingkat refleksi tidak
dapat dipuaskan dengan kembali kepada jaminan-jaminan anggapan umum, tetapi
justru semakin mendesak maju ke tingkat yang baru. Setiap anggapan umum dapat
dijadikan pertanyaan reflektif. Epistemologi adalah mencari suatu kepastian
yang dimungkinkan oleh suatu keraguan, maka dengan adanya seperti ini
epistemologi berperan sebagai obatnya. Apabila epistemologi berhasil mengobati
untuk mengusir keraguan ini, kita mungkin menemukan kepastian reflektif yang
lebih pantas dianggap sebagai pengetahuan.[4]
B. Teori-Teori Ilmu Pengetahuan
Teori pengetahuan adalah ways of
knowing (cara-cara mengetahui) dengan perkataan lain bagaimana sesungguhnya
proses manusia mengetahui sesuatu.[5]
Menurut Brucher ada beberapa teori
pengetahuan sebagai berikut:
1.
Teori
Pengetahuan Menurut Correspondence
Pada
teori ini proses mengetahui adalah proses partisipasi langsung oleh peserta
didik terhadap realita objek secara wajar melalui studi. Sebab realita objek
itu selalu mewujud didalam sejumlah aspek-aspek perwujudan yang dapat
dimengerti.
Mengetahui
suatu objek adalah dengan mengenal sifat-sifat esensial objek tersebut dan
bukan mengenal aspek-aspek non esensial objek itu.
2.
Teori
Pengetahuan menurut Consistency
Teori
pengetahuan ini didapat oleh seseorang dari luar melalui panca indera, tetapi
kesan-kesan yang ditangkap oleh panca indera bukanlah realitas yang ditangkap
langsung secara objektif, sebab seseorang tidak akan mampu menangkap realitas
objektif secara hakiki.
3.
Teori
Pengetahuan Menurut Intuisi
Cara
untuk mendapatkan ilmu pengetahuan melalui pengalaman intuisi atau pengalaman
mistik. Validitas pengetahuan intuitif ini sangat bersifat pribadi dan
merupakan validitas pengetahuan keunikan individu. Pada toeri pengetahuan
menurut intuitif ini masih terdapat kelemahan didalamnya.
4.
Teori
Pengetahuan Menurut Pragmatisme
Teori
pengetahuan menurut pragmatisme adalah kemampuan seseorang didalammemcahkan
problema-problema kehidupan secara aktif dengan segala kemampuan, pertimbangan,
sikap kritis, analisis dan tindakan-tindakan secara nyata.
5.
Teori
Pengetahuan Menurut Authorithy
Pengetahuan
yang didapat oleh seseorang melalui pendapat orang lain yang didasarkan kepada
penelitian dan pembuktian secara ilmiah. Bahkan untuk memperkuat pendapatnya
seseorang menunjuk (mengutip) pendapat orang lain yang dianggapnya lebih kuat
karena didasarkan pada sumber yang bersifat otoritas seperti buku-buku
loterature, ensiklopedia, kitab suci, pikiran-pikiran (pendapat) para ahli
dalam bidang tertentu.[6]
C. Pendekatan dan Metode Perolehan Ilmu
Pengetahuan
Banyak pendekatan yang dapat digunakan
dalamperolehan ilmu pengetahuan, dan setiap pendekatan itu mempunyai kelebihan
dan kelemahan. Kelebihan dan kekurangan yang ada tergantung kepada subjek yang
menggunakannya. Adapun pendekatan untuk memperoleh ilmu pengetahuan antara
lain:
1.
Skpetisme
Bagi
aliran ini tidak ada suatu cara yang sah untuk memperoleh ilmu pengetahuan,
mengingat kemampuan panca indra dan akal manusia terbatas. Keberatan yang
biasanya diajukan pad atahap ini adalah bahwa didalam pelaksanannya epistemologi
dianggap mengusulkan suatu tujuan khayal bagi dirinya sendiri.
Maka,
beberapa pemikir seperti Etienne Gilson beranggapan bahwa tidak ada masalah
mengenai pengetahuan, sebab pertanyaan kritis tidak dapat diajukan secara
konsisten. Bagi mereka realisme adalah suatu pengandaian pemikiran yang
bersifat absolut, dan setiap usaha untuk membenarkan realisme telah memberi
konsesi atau menyerah.
Meskipun
sanggahan terhadap skeptisisme cenderung bernada negatif, tetapi mempunyai
akibat positif. Sebab apa yang dinyatakan oleh pendapat Gilson ialah : pada
tahap tertentu pikiran secara niscya melekat pada ada sedemikian rupa, sehingga
kelekatan ini tidak dapat disangkal. Maka kita sampai kepada nilai tanpa syarat
dari pernyataan bila kita menyadari bahwa tidak mungkinlah menyatakan
ketidakmampuan kita untuk menyatakan.
Relativisme
protagoras mungkin merupakan pendapat skeptik yang paling ekstem. Doktrin “homo
mesura”-nya (manusia adalah ukuran bagi segalanya) merupakan usah untuk
membatasi semua pernyataan kepada orang yang membuatnya sebagaimana apa yang
terasa enak bagi seseorang tidak tentu enak bagi yang lain. Katanya, demikian
juga mengenai apa yang benar bagi yang lain.
2.
Aliran
keraguan (Academy Doubt)
Suatu
aliran yang dalam perolehan ilmu pengetahuan berpangkal dari keraguan sebagai
jembatan perantara menuju kepada kepastian.
3.
Empirisme
Cara
pencarian ilmu pengetahuan melalui panca indra, karena indra tersebut yang
menjadi instrumen untuk menghubungkan ke alam.
4.
Rasionalisme
Suatu
cara untuk memperoleh ilmu pengetahuan dengan mengandalkan akal pikiran, karena
akal dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang
salah.
5.
Aliran
yang menggabungkan pendekatan empiris dan rasionalisme
Menurut
aliran ini cara untuk memperoleh ilmu pengetahuan itu melalui pengertian dan
pengindraan, karena pengertian tidak dapat melihat dan indra tidak dapat
berpikir, sehingga rasio dan indra perlu disatukan.
6.
Intuisi
Suatu
pendekatan dalam memperoleh ilmu pengetahuan dengan menggunakan daya jiwa.
7.
Wahyu
Pendekatan
ini bersifat metafisik dan bercirikan transendental. Pendekatan ini harus
didasari oleh kepercayaan (iman). Kepercayaan tersebut adalah apabila akal
tidak mampu mengungkapkan sesuatu, akal tersebut tidak perlu dibahas dan
diperdebatkan, wahyu berarti isyarat yang cepat yang diperoleh seseorang di
dalam dirinya serta diyakininya.[7]
Dalam pandangan filsafat pendidikan Islam
metode memperoleh ilmu pengetahuan dapat dilakukan dengan dua cara sebagai
berikut:
1.
Kasbi
(khusuli) adalah cara berfikir sistematik dan metodik yang dilakukan
secara konsisten dan bertahap melalui proses pengamatan, penelitian, percobaan
dan penemuan.
2.
Laduni
(khudluri) adalah ilmu yang diperoleh oleh orang-orang tertentu dengan
tidak melalui proses ilmu pada umumnya tetapi melalui proses pencerahan atau
oleh hadirnya cahaya ilahi ke dalam kalbu seseorang.
D. Jenis-jenis Ilmu Pengetahuan
Manusia berusaha mencari pengetahuan dan
kebenaran yang dapat diperolehnya melalui beberapa sumber antara lain sebagai
berikut:[8]
1.
Pengetahuan
wahyu (Revealed Knowledge)
Manusia
memperoleh pengetahuan dan kebenaran berdasarkan kepada wahyu yang diberikan
Tuhan kepada manusia. Tuhan telah memberikan pengetahuan dan kebenaran kepada
manusia yang telah dipilih-Nya, yang dapat dijadikan petunjuk bagi manusia
dalam hidupnya. Kebenaran wahyu bersifat mutlak dan abadi. Pengetahuan wahyu
bersifat eksternal, artinya pengetahuan tersebut berasal dari luar diri
manusia.
2.
Pengetahuan
Intuitif (Intuitif Knowledge)
Pengetahuan
intuitif diperoleh manusia dari dalam dirinya sendiri tatkala ia menghayati
sesuatu. Pengetahuan intuitif ini muncul dalam diri manusia secara tiba-tiba
dalam kesadaran diri manusia. Proses kerjanya manusia itu tidak menyadarinya.
Pengetahuan ini sebagai hasil dari penghayatan pribadi, sebagai hasil keunikan
dan ekspresi individu sehingga validitas pengetahuannya bersifat pribadi dan
memiliki watak yang tidak komunikatif, khusus untuk diri sendiri, subjektif,
tidak terlukiskan, sehingga sulit untuk melukiskan seseorang memilikinya/tidak.
3.
Pengetahuan
Rasional (Rational Knowledge)
Pengetahuan
rasional merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan latihan rasio/akal semata,
tidak disertai dengan observasi terhadap peristiwa-peristiwa faktual. Prinsip
berpikir dengan menggunakan logika formal dan matematika murni menjadi
paradigmanya, sehingga kebenarannya bersifat abstrak.
4.
Pengetahuan
empirik (Empirical Knowledge)
Pengetahuan
empiris diperoleh melalui pengindraan dengan penglihatan, pendengaran, dan
sentuhan indra-indra lainnya, sehingga kita memiliki konsep dunia di sekitar
kita. Paradigma pengetahuan empiris adalah sains yang diuji dengan observasi
atau eksperimen. Menurut kaum empirisme pengetahuan diperoleh melalui
pengalaman dengan jalan observasi/ pengindraan.
5.
Pengetahuan
otoritas (Authoritative Knowledge)
Kita
menerima pengetahuan itu benar bukan karena telah mengkroscekkan dengan keadaan
yang ada di luar diri kita, melainkan telah dijamin otoritasnya (sumber yang
berwibawa, memiliki wewenang dan hak) di lapangan. Kita menerima pendapat orang
lain karena ia pakar dibidangnya.
E. Implikasi Pengetahuan dalam Pendidikan
Islam
Ilmu pengetahuan dan pendidikan Islam
tidak dapat dipisahkan karena perkembangan masyarakat Islam serta tuntutannya
dalam membangun seutuhnya (jasmani dan rohani) sangat ditentukan oleh kualitas
dan kuantitas ilmu pengetahuan yang dicerna melalui proses pendidikan.
Dalam pandangan Islam, ilmu itu didasarkan
kepada dua pandangan pokok. Pertama, ilmu pengetahuan eksperimental yaitu ilmu
pengetahuan yang didasarkan kepada penyelidikan eksperimental yaitu ilmu
pengetahuan yang didasarkan kepada penyelidikan dan eksperimen ilmiah yang
objektif.
Berdasarkan pandangan tersebut, dapat
diketahui bahwa ilmu itu didapat dari pikiran dan kemudian dilanjutkan dengan
tindakan dan eksperimen.
Ilmu pengetahuan yang dikembangkan dalam
pendidikan Islam hendaknya berorientasi pada nilai-nilai Islam, yaitu ilmu
pengetahuan yang bertolak pada fakultas pikir dan fakultas dzikir.
Ilmu pengetahuan yang ada hendaknya
dikembangkan dalam rangka mengemban amanah Tuhan dalam mengendalikan alam dan
isinya, sehingga dengan bertambahnya ilmu pengetahuan seseorang bertambah pula
petunjuknya dan semakin kuat keimanannya.
Ilmu pengetahuan dalam Islam diharapkan
akan mampu membawa kepada kebaikan manusia dan kebaikan masyarakat dan
kemanusiaan pada umumnya. Nilai-nilai yang diajarkan adalah nilai-nilai yang
memadukan antara nilai-nilai dunia dan nilai-nilai akhirat sekaligus.[9]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Dalam dunia
pendidikan dianggap sebagai proses penyerahan kebudayaan umumnya dan khususnya
ilmu pengetahuan, maka dari itu epistemologi dalam dunia pendidikan adalah
memberikan suatu kebenaran yang jelas, sehingga terjamin kebenaran dan percaya
apa yang disampaikan oleh seorang guru yang didasarkan pada fakta-fakta yang
ada dalam lingkungan kita.
Filsafat
pengetahuan merupakan usaha untuk membiarkan pikiran untuk mencapai pengenalan
dan esensinya, usaha pikiran untuk mengekspresikan dan menunjukkan kepada dirinya
sendiri atas epistemologi berhubungan dengan dasar pertimbangan kodrat,
jangkauan dan asal dari evidensi.
Ilmu
pengetahuan sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia ini dan untuk
memperolehnya perlu dilakukan usaha dan kerja keras. Dengan ilmu pengetahuan
yang dimiliki oleh manusia ia akan dapat mengenal adanya Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Khobir, Abdul. 2008. Filsafat
Pendidikan Islam Landasan Teoritis dan Praktis. Yogyakarta: Gama Media
Offset.
Noor Syam Mohammad. 1988. Filsafat
Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha
Nasional.
Hadi. P. Hardono, Dr.
1994. Epistemologi Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
[1]
Abdul Khobir, Filsafat Pendidikan
Islam Landasan Teoritis dan Praktis, (Yogyakarta: Gama Media Offset, 2007),
h. 25.
[2]
Mohammad Noor Syam, Filsafat
Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. (Surabaya: Usaha Nasional,
1988), h. 32
[3]Abdul Khobir, op.cit., h. 26.
[4]
Hardono Hadi, Epistemologi
Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 18
[5]
Abdul Khobir, op.cit., h. 28
[6]
Mohammad Noor Syam, op.cit., h.
116-123
[7] Dr. P. Hardono Hadi, Epistemologi
Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 19-20
[8] Uyoh Sadullah, 2003,, h. 20-33
[9] Omar Moh. Al-Tomy As-Syaibany, 1987, h.
264