Saturday, 17 October 2015

pergeseran waktu dalam ibadah puasa



MAKALAH

PERGESERAN WAKTU DALAM IBADAH PUASA





BAB I :

PENDAHULUAN
IDENTIFIKASI



v  DEFINISI
Puasa adalah menahan atau mencegah(dalam bahasa Arab disebut dengan : shaum atau shiyam)
Artinya dalam agama islam :
Puasa adalah menahan diri dari makan dan minum dan dari segala apa yang membatalkannya mulai dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari dengan syarat yang tertentu.[1]
Puasa adalah salah satu bentuk ibadah dalam islam yang berarti menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan ibadah tersbut pada siang hari (mulai dari terbit fajar hinga terbenamnya matahari).[2]
Sedangkan menurut ahli fiqih/ushul fiqh, yaitu menahan diri dari segala keinginan syahwat, perut, serta faraj (kemaluan) dan dari segala sesuatu yang masuk kedalam kerongkongan, baik berupa makanan, minuman, maupun semacamnya pada waktu tertentu mulai dari terbit fajar shadiq hingga terbenam matahari yang dilakukan oleh muslim berakal, tidak haid dan tidak pula nifas dengan melakukan secara yakin.[3] 







BAB 11 :
PEMBAHASAN

v  MACAM-MACAM PUASA
Dilihat dari waktu pelaksanaannya, puasa terbagi menjadi dua macam :
  1. Puasa yang dilaksanakan pada bulan Ramadhan
  2. Puasa yang dilaksanakan diluar bulan Ramadhan
Dilihat dari hukumnya, maka puasa dibagi menjadi empat macam yaitu :
  1. Puasa wajib
Puasa ini mencakup puasa bulan Ramadhan, puasa kafarat, dan puasa nadzar.
  1. Puasa haram
Puasa haram mencakup puasa-puasa sebagai berikut :
-          Puasa sunnah yang dilakukan istri tanpa izin suaminya
-          Puasa sunnah yang dilakukan pada hari raya idul fitri dan idul adha
-          Puasa pada tiga hari tasyrik (11, 12, 13, Dzulhijjah)
-          Puasa yang dilakukan oleh seseorang yang takut mendatangkan mudhorot bagi dirinya apabila ia melakukan puasa
-          Puasa yang dilakukan dalam keadaan had atau nifas
  1. Puasa sunnah
Puasa ini mencakup puasa-puasa sebagai berikut :
-          Puasa yang dilakukan selang satu hai (puasa nabi daud), puasa ini lebih utama dari puasa-puasa sunnah lainnya.
-          Puasa selama tiga hari dalam setiap bulan hijriyah.
-          Puasa pada hari senin dan kamis.
-          Puasa yang dilakukan pada enam hari pada bulan syawwal secara beturut-turut.
-          Puasa hari Arafah (9 Dzulhijjah) bagi orang yang tidak sedang menunaikan ibadah haji.
-          Puasa pada hari kedelapan bulan Dzulhijjah sebelum hari arafah.
  1. Puasa makruh
-          Puasa makruh yang dilakukan pada hari jumat kecuali beberapa hari telah berpuasa.
-          Puasa wishal yaitu puasa yang dilakukan secara bersambung antara makan dan minum pada malam harinya..

v  SYARAT-SYARAT PUASA
Syarat wajib puasa antara lain :
  1. Islam
  2. Baligh
  3. Berakal
  4. Mampu
  5. Menetap (bermukim)

v  ORANG-ORANG YANG DIPERBOLENKAN BERPUASA DAN TIDAK BOLEH PUASA
a. Musafir (orang yang sedang bepergian), bepergian yang membolehkan seseorang berbuka puasa adalah bepergian yang cukup jauh yang membolehkan seseorang mengqoshor shalat dengan syarat musafir tersebut harus memenuhi syarat-syarat muafir.
b. Orang sakit dengan syarat apabila ia menjalankan puasa maka akan bertambah parah sakitnya.
c.   Ibu hamil dan menyusui.
d.   Orang yang lanjut usia.

v  PUASA BAGI MUSAFIR
Menurut empat Imam Madzhab sepakat bahwa orang yang sedang bepergian dan penderita sakit yang tidak bisa disembuhkan boleh tidak puasa. Tetapi jika mereka tetap berpuasa maka puasanya sah. Sementara itu, jika mereka berpuasa, padahal puasa itu membahayakan diri mereka sendiri maka hukumnya makruh.
Sebagian ulama ahli zahir mengatakan tidak sah puasa dalam safar
Al Awza’i berpendapat : tidak berpuasa bagi orang yang sedang bepergian adalah lebih utama secara mutlak.
Menurut tiga imam madzhab : Barangsiapa yang berpuasa pada pagi hari, lalu ia melakukan perjalanan, maka ia tidak boleh membatalkan puasanya. Hanbali : ia boleh membatalkan puasanya , inilah pendapat al muzai.
Apabila musafir yang tidak berpuasa telah tiba di tempat tujuannya,orang sakit suah sembuh, anak-anak sudah baligh, orang kafir masuk islam, atau wanita haid sudah suci pada pertengahan siang, maka wajib bagi mereka imsak (yaitu menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa pada sisa hari itu. Demikian menurut Hanafi dan Hanbali. Maliki berpendapat : disukai imsak. Ini juga pendapat paling shohih dari Syafi’i.
Apabila orang murtad kembali masuk islam maka wajib baginya mengqodho puasa yang ditinggalkannya ketika murtad. Demikian menurut pendapat tiga imam madzhab. Hanafi berpendapat : tidak wajib mengqodhonya.

Nah kemudian mengenai masalah musafir ini, ada sebuah kutipan dari pengalaman unik puasa dan sholat di Rusia oleh  Syaripudin Zuhri :
 "Alhamdulilahirrobil alamin, segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Allah yang telah menciptakan alam ini demikian ajaibnya , sehingga terpesona dibuatnya. Salah satu keunikan dan keajaiban ciptaaNya adalah di ciptakannya Bumi yang bulat, bumi yang berotasi pada dirinya sambil berputar bersama-sama planet yang lainnya mengelilingi matahari.
Berotasinya bumi ini menyebabkan terjadinya siang dan malam, nah siang dan malam yang bagi kita di Indonesia sepertinya kejadian yang biasa saja, tak ada yang aneh, tak ada yang unik, biasa-biasa saja karena waktu siang dan malamnya relative sama, 12 jam. Baik di musim panas maupun di musim hujan, begitu juga waktu sholat relative sama, waktu dzuhur, asyar, magrib, isya dan subuh relative sama, baik di musim hujan maupun di musim panas. Dengan demikian kita di Indonesia, apa lagi di musim panas, sudah bisa mengira-ngira, kapan waktu dzuhur, asyar, magrib, isya atau subuh. Tapi tak demikian hal jika kita berada di Rusia, khususnya di kota Moskow dan kota St Peterburgs.
Maka ketika membaca buku: Tahajud siang hari, dzuhur malam hari, saya langsung teringat ke kota Leningrad ( St Peterburgs sekarang) di mana pada tahun 2002 Saya , keluarga dan teman2 berwisata ke sana untuk melihat “ malam putih “ ( White Nigth ), “Bilii Nosii” kata orang Rusia. Jadi, tepat pada tengah malam tanggal 22/23 Juni 2002 kita semua berada pada suasana, yang unik yaitu : Malam dan Siang tidak punya batas, di katakan siang kita ada di tengah malam, di katakan malam, tapi warna jingga matahari masih berada di upuk barat, Padahal jam di tangan sudah menunjukkan jam 00, 30 waktu setempat. Nah kalau di kaitan dengan waktu sholat, antara sholat Isya dan subuh sangat dekat, hanya kurang lebih 2 Jam. Waktu Isya jam 23.48 dan jam 02.15 sudah subuh ! Jadi kapan kita sholat tahajud ? Ya di tengah-tengah malam yang siang atau di tengah-tengah siang yang malam. Bahkan kalau kita lebih ke utara lagi ke negara tetangga di utara Rusia, yaitu Finland.
Di bagian utara Finland pada saat yang sama, matahari tetap saja berada di kaki langit, tidak terbenam tapi juga tidak beranjak dari kaki langit, ya suasana tetap saja siang padahal ada di tengah malam. Matahari ada di tengah malam ! Lalu kapan sholat isya, sholat tahajud dan sholat subuh ? karena tiga waktu tersebut menyatu dalam satu waktu . Nah di sinilah ijtihad para ulama diperlukan. Karena kalau waktu sholat hanya berdasarkan peredaran matahari, maka pada saat puncak musim panas di Leningrad atau negara-negara yang ada di ujung kutub utara , tiga waktu sholat yaitu, isya, tahajud dan subuh akan di lakukan bersamaan. Ini akan sesuai dengan judul buku Agus Mostopa : Tahajud siang hari, dzuhur malam hari. Penerbit Padma Press.
Hal yang di jelaskan diatas berhubungan dengan sholat, lalu bagaimana dengan puasa di Musim panas dan pada saat puncak musim panas ? Apakah tetap mengikuti peredaran matahari di musim panas, di mana subuh jam 02.25, berarti imsyaknya lebih kurang dari itu, yaitu jam 02.05 dan magrib kurang lebih jam 22.20, jadi kalau di lakukan puasa memakan waktu sangat panjang, kurang lebih 20 jam ! Ini di Moskow, di utara Moskow lebih panjang lagi, lebih ke utara menjelang kutub utara dan di kutub utara sendiri, boleh di katakan 24 jam hanya matahari, hanya ada siang, tak ada malam, jadi apakah puasa sepanjang itu ? Lagi-lagi ijtihad para ulama diperlukan.
Dan sebaliknya bila puasa di musim dingin dan puncak musim dingin, waktu puasa sangat pendek. Imsyak kurang lebih jam 07.00 dan jam 15.30 sudah magrib itu di Moskow, di utara lebih pendek lagi, lebih ke utara lebih pendek lagi dst. Kalau musim dingin dan puncaknya musim dingin maka di dekat kutub atau di kutub utara itu yang ada hanya malam saja, tak ada siang, tak ada matahari, apakah kewajiban puasa menjadi hilang ? Karena kan matahari tak akan muncul sepanjang waktu tersebut.
Mengenai dzuhur di siang haripun, masih masuk di akal, karena bumi yang bulat ini, dan ini lagi-lagi kebesaran Tuhan, karena Dia berfirman : “Tidak Ku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepadaku.” Jadi sebenarnya dalam setiap waktu diasaat bumi terus berputar pada saat itupula Allah swt di sembah. Karena bumi bulat, otomatis waktu sholatpun di tiap negara akan berbeda waktunya, pada saat yang bersamaan di satu negara ada yang sedang sholat tahajud di malam hari, tapi di negara lain pada saat yang sama sedang sholat dzuhur di siang hari.
Dan kalau di tarik garis lurus orang yang sedang tahajud di malam hari di satu negara, sebenarnya sedang tahajud di siang hari di waktu yang bersamaan di negara lainnya, seperti orang yang sedang sholat tahajud di Indonesia pada tengah malam, kalau di tarik garis lurus menembus bumi maka pada saat itu sebenarnya sedang siang hari, atau sedang dzuhur di Amerika bagian Timur. Begitu juga sebaliknya, pada saat orang Amarika sholat dzuhur di siang hari kalau di tarik garis lurus menembus bumi, pada saat yang bersamaan sebenarnya lagi waktu tengah malam, waktunya sholat tahjud.
Untuk puasa di Moskow dan negara-negara di Eropa, Libya dan Libanon bulan ramadhan 1430 Hijriah di mulai hari Jum’at 21 Agustus 2009, jadi sudah terawih sejak malam Jum’at, beda dengan aliran Nasyabandiayh yang mulai puasa tgl 20 Agustus dan di Indonesia mulai tanggal 22 Agustus 2009. Untuk ramdahan tahun ini di Moskow puasa masih di akhir musim panas menuju awal musim gugur. Sahur sekitar jam 04 pagi dan buka sekitar jam 21 waktu setempat, jadi rata-rata sekitar 15 Jam. Dan tahun-tahun mendatang puasa di Moskow dan Rusia pada umumnya akan lebih panjang lagi waktu puasanya.”[4]
Itulah sedikit kutipan pengalaman yang dapat kita ambil hikmahnya, dalam pemaparan makalh kami ini adalah mencari kemudahan dalam melaksanakan ibadah, namun tidak berarti bahwa dalam pemaparan makalah kami selalu menganjurkan orang untuk dengan sengaja memilih pendapat yang lebih memudahkan saja, seraya meninggalkan pendapat yang lebih memberatkan, akan tetapi hal ini berkaitan dengan situasi dan kondisi masing-masing individu. Disamping itu, kami tidak menganjurkan orang untuk selalu menggunakan fatwa-fatwa yang sangat meringankan itu sebagai kebiasaan yang terus menerus, teteapi hanya apabila diperlukan saja. Sebagaimana disebutkan oleh Asy sya’rani
“ Dalam setiap perintah dan larangan, ketentuan syariat islam selalu berada diantara dua tingkatan : yang memberatkan dan yang meringankan. Begitu pula pada setiap mukallaf (orang yang berlaku padanya perintah dan larangan syariat) disetiap tempat berlaku dan zaman, pasti tidak keluar dari dua kategori yang kuat dan yang lemah, ditinjau dari segi keimanan maupun fisiknya. Barangsiapa yang kuat (iman/fisiknya) maka ia dianjurakan memilih ketentuan yang lebih berat dan berpegang pada yang bersifat ‘azimah (yaknin : yang memerlukan usaha dan tekad yang kuat). Dan barangsiapa termasuk yang lemah (iman/fisiknya) maka ia boleh memilih ketentuan yang meringankan, dan berpegang pada yang bersifat rukhshoh (keringanan yang diizinkan karena alasan-alasan tertentu). Dalam hal ini, kedua-duanya tetap berada diatas jalan kebenaran dari Tuhannya. Siapa saja tergolong kuat, seyogyanya tidak turun ketingkat rukhshoh, sedangkan yang lemah tidak perlu dipaksa naik ketingkat ‘azimah.[5]  
            Namun kebebasan menetukan pilihan secara pribadi seperti ini, tentunya hanya boleh dilakukan yang berkaitan dengan ibadah yang bersifat ritual murni seperti sholat, puasa, haji dan sebagainya. Dalam hal inikami berpegang teguh pad sebuah riwayat dari Aisyah r.a yang menyatakan bahwa setiap kali Rosulullah SAW menghadapi dua pilihan, niscaya beliau memilih yang paling mudah atau yang paling ringan diantara keduanya, selama tidak mengandung dosa. Tetapi jika hal itu mengandung dosa, maka beliau menjauh darinya sejauh-jauhnya. (HR. Muslim).
            Demikian pula Sufyan Ats Tsauriy, seorang tokoh terkemuka di bidang fiqh dan tasawuf pernah menyatakan : “ ilmu yang sejati adalah dalam hal keringananyang di fatwakan oleh tsiqoh(orang yang kompeten dan patut dipercayai). Adapun sikap yang senantiasa memberatkan, dapat saja dilakukan setia orang.”[6] 



PENUTUP

Kesimpulan :
 Pelaksanaan ibadah dalam lingkungan dan alam yang berubah (puasa) sangat menarik untuk kita kaji lebih mnedetail, dari uraian makalah kami ini dapat disimpulkan bahwasanya seseorang yang dalam rangka menempuh sebuah pejalanan, orang tadi dikatakan sebagai musafir. Maka musafir tadi harus tahu dirinya sendiri seberapa kuatkah Ia dapat menempuh perjalanan yang ia harus lakukan, dengan demikian hal-hal yang berkenaan dengan ‘azimah dan rukhshoh musafir yang bersangkutan harus menentukan kadar dirinya sendiri.





DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Alawi, Al Maliki dan Hasan Sulaiman An Nuri, Penjelasan Hukum-hukum Syari’at Islam, Ibaanatul Akhkam.
Asy Sya’rani (Abu’l Mawahib bin Ahmad Al Anshariy Asy Syafi’I, seorang tokoh abad kesepuluh hijri), dalam Al  Mizan AL Kubra 1/3.
Bagir, Muhammad, Al Habsyi, Fiqih Praktis, (Bandung : Al Mizan, 1999)
Ensiklopedi Islam, jilid 4
http://www.eramuslim.com/berita/ramadhan-mancanegara/uniknya-puasa-dan-sholat-di-moskow-rusia.h
Zarkasyi, Imam, KH, MA, Fiqih 2, (Trimurti Press, 1415 H)



[1] KH. Imam Zarkasyi, MA, Fiqih 2, (Trimurti Press, 1415 H), h. 18
[2] Ensiklopedi Islam, jilid 4, h. 112
[3] Alawi Abbas Al Maliki dan Hasan Sulaiman An Nuri, Penjelasan Hukum-hukum Syari’at Islam, Ibaanatul Akhkam, h. 1082
[4]http://www.eramuslim.com/berita/ramadhan-mancanegara/uniknya-puasa-dan-sholat-di-moskow-rusia.h
[5] Asy Sya’rani (Abu’l Mawahib bin Ahmad Al Anshariy Asy  Syafi’I, seorang tokoh abad kesepuluh hijri) dalam Al  Mizan AL Kubra 1/3.
[6] Muhammad Bagir Al Habsyi, Fiqih Praktis, (Bandung : Al Mizan, 1999), h. 38