ALIRAN EKSISTENSIALISME
I.
PENDAHULUAN
Dalam
filsafat terdapat berbagai aliran,
seperti aliran Eksistensialisme Karena filsafat pendidikan merupakan
terapan dari filsafat, sedangkan filsafat memiliki berbagai macam aliran, maka
dalam filsafat pendidikan akan kita temukan juga berbagai macam aliran. Adapun
aliran Eksistensialisme dalam filsafat pendidikan akan kita bahas pada makalah
ini.
II. PERMASALAHAN
Dari
perkembangan pemikiran para filosof yang berbeda dalam menanggapi segala
sesuatu, maka muncullah berbagai macam karakteristik pemikiran – pemikiran yang
kemudian menjadi sebuah ciri khas dari seorang filosof sebagai hasil pemikiran
tertinggi. Sejarah mencatat bahwa dalam pertumbuhan dan perkembangan filsafat terdapat
berbagai macam perbedaan yang jelas dari masing – masing tokoh filsafat.
Begitu pula
halnya dengan filsafat pendidikan, bahwa dalam sejarahnya telah melahirkan
berbagai pandangan atau aliran. Dimana sebuah pemikiran manusia tidak akan
pernah final ketika memikirkan sesuatu yang masih mungkin bisa dipikirkan. Oleh
sebab itu, dunia filsafat pendidikan pun mempunyai berbagai pandangan ataupun
aliran yang berbeda.
Dalam hal
ini, ada masalah – masalah dalam aliran Eksistensialisme, yaitu bagaimana latar
belakang munculnya aliran Eksistensialisme, tokoh – tokoh aliran
Eksistensialisme, dan aliran Eksistensialisme dengan pendidikan.
III. PEMBAHASAN MASALAH
a. Latar belakang
Secara umum eksistensialisme merupakan suatu aliran
filsafat yang lahir karena ketidakpuasan beberapa filusuf yang memandang bahwa
filsafat pada masa yunani hingga modern, seperti protes terhadap rasionalisme
Yunani, khususnya pandangan tentang spekulatif tentang manusia. Intinya adalah
Penolakan untuk mengikuti suatu aliran, penolakan terhadap kemampuan suatu
kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan sistem, rasa tidak puas terhadap
filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademik dan jauh dari kehidupan,
juga pemberontakan terhadap alam yang impersonal yang memandang manusia
terbelenggu dengan aktifitas teknologi yang membuat manusia kehilangan hakekat
hidupnya sebagai manusia yang bereksistensi.
Dari sudut etimologi eksistensi berasal dari kata eks yang berarti
diluar dan sistensi yang berarti berdiri atau menempatkan, jadi secara luas
eksistensi dapat diartikan sebagai berdiri sendiri sebagai dirinya sekaligus
keluar dari dirinya. Eksistensialisme merupakan suatu aliran dalam ilmu
filsafat yang menekankan pada manusia, dimana manusia dipandang sebagai suatu
mahluk yang harus bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan
kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia
konkret.
Jadi dapat disimpulkan bahwa eksistensialisme memandang manusia
sebagai suatu yang tinggi, dan keberadaannya itu selalu ditentukan oleh
dirinya, karena hanya manusialah yang dapat bereksistensi, yang sadar akan
dirinya dan tahu bagaimana cara menempatkan dirinya. Dan ilmu-ilmu lain yang
berkaitan dengan eksistensialisme ini saya kita ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
manusia seperti sosiologi (berkaitan dengan manusia dan keberadaannya didalam
lingkungan sosial), antropologi (berkaitan anatar manusia dengan lingkungan
budayanya). [1]
b. Tokoh – tokoh aliran Eksistensialisme
1.
Soren Aabye Kiekeegaard
Inti pemikirannya adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang
statis tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan
menuju suatu kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi
ditekankan harus ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia
cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan.
2.
Friedrich Nietzsche
Menurutnya manusia yang berkesistensi adalah manusia yang mempunyai
keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus
menjadi manusia super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental
budak. Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan
menderita orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.
3.
Karl Jaspers
Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya
sendiri. Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan semua
pengetahuan obyektif serta mengatasi pengetahuan obyektif itu, sehingga manusia
sadar akan dirinya sendiri. Ada
dua fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi.
4.
Martin Heidegger
Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang
lain, segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia
itu sendiri, dan benda-benda yang ada diluar manusia baru mempunyai makna
apabila dikaitkan dengan manusia karena itu benda0benda yang berada diluar itu
selalu digunakan manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka.
5.
Jean Paul Sartre
Menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan
mempunyai kebebasan untuk menetukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang
bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi
diri sendiri.[2]
c. Aliran Eksistensialisme dengan Pendidikan
Kaitan
Eksistensialisme yang tidak begitu lugas dan jelas tentang pendidikan,
sebagaimana diungkapkan sebelumnya, janganlah dilihat sebagai kepuasan terhadap
aliran – aliran. Sebaliknya, kalangan Eksistensialisme benar – benar
“terganggu” akan apa yang mereka dapatkan pada kemapanan pendidikan. Mereka
dengan segera menegaskan bahwa banyak dari apa yang disebut pendidikan
sebenarnya tidaklah apa – apa kecuali propaganda yang digunakan untuk memikat
audiens. Mereka juga mengungkapkan bahwa banyak dari apa yang dewasa ini
dianggap pendidikan sejati adalah sesuatu yang membahayakan, karena ia
menyiapkan peserta didik untuk konsumerisme atau menjadikannya sebagai tenaga
penggerak dalam mesin teknologi industrial dan birokrasi modern. Bukan malah
mengembangkan individualitas dan kreativitas, keluh kalangan eksistensialis,
banyak pendidikan justru memusnahkan sifat – sifat kemanusiaan yang pokok tadi.
Van Cleve
Morris berpendapat bahwa perhatian utama pandangan pendidikan kalangan
Eksistensialisme adalah pada upaya membantu kedirian individu untuk samapi pada
realisasi yang lebih utuh menyangkut preposisi berikut:
1. Aku adalah subjek yang memilih, tidak bisa
menghindari caraku menjalani hidup
2. Aku adalah subjek yang bebas, sepenuhnya
bebas untuk mencanangkan tujuan – tujuan kehidupanku sendiri
3. Aku adalah subjek yang bertanggung jawab,
secara pribadi mempertanggungjawabkan akan pilihan – pilihan bebasku karena hal
itu terungkapkan dalam bagaimana aku menjalani kehidupanku.
Peran guru
bagi kalangan Eksistensialisme tidaklah sebagaimana peran gurudalam paham
tradisional. Guru Eksistensialisme bukanlah sosok yang melulu memperhatikan
alih pengetahuan kognitif dan sosok yang mempunyai jawaban – jawaban benar tak
terbantahkan. Ia kiranya lebih sebagai seseorang yang berkemauan membantu para
subjek didik mengeksplorasi jawaban – jawaban yang mungkin.[3]
Dalam kelas
guru berperan sebagai fasilitator untuk membiarkan siswa berkembang menjadi
dirinya dengan memberikan berbagai bentuk pajanan (exposure) dan jalan untuk
dilalui. Karena perasaan tidak terlepas dari nalar, maka kaum Eksistensialisme
menganjurkan pendidikan sebagai car membentuk manusia secara utuh, bukan hanya
sebagai pembangunan nalar.[4]
IV. ANALISIS
Dari penjelasan materi di
atas, dapat diambil analisis sebagai berikut eksistensialisme memandang manusia
sebagai suatu yang tinggi, dan keberadaannya itu selalu ditentukan oleh
dirinya, karena hanya manusialah yang dapat bereksistensi, yang sadar akan
dirinya dan tahu bagaimana cara menempatkan dirinya.
V. KESIMPULAN
Eksistensialisme merupakan suatu aliran filsafat yang lahir karena
ketidakpuasan beberapa filusuf yang memandang bahwa filsafat pada masa yunani
hingga modern, seperti protes terhadap rasionalisme Yunani, khususnya pandangan
tentang spekulatif tentang manusia.
VI. PENUTUP
Demikian
makalah aliran Esensialisme ini kami buat, semoga isi dalam kandungan makalah
ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Apabila ada kekurangan dalam makalah
aliran Esensialisme ini, itu merupakan suatu kekhilafan dari kami.
DAFTAR PUSTAKA
"http://www.w3.org/1999/xhtml"><headprofile="http://gmpg.org/xfn/11">
Alwasilah,
Chaedar. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
Knight, George R. 2007. Filsfat
Pendidikan. Penerjemah: Mahmud Arif. Yogyakarta :
Gama Media
[1] "http://www.w3.org/1999/xhtml"><headprofile="http://gmpg.org/xfn/11">
[2]"http://www.w3.org/1999/xhtml"><headprofile="http://gmpg.org/xfn/11">
[3] George R. Knight, Filsafat Pendidikan,
Penerjemah: Dr. Mahmud Arif (Yogyakarta: Gama Media, 2007), hal. 135-136.
[4] A. Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa dan
Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008), hal. 106.