Aliran-aliran filsafat
1. Aliran Progresivisme
Aliran progresivisme mengakui dan berusaha
mengembangkan asas progesivisme dalam sebuah realita kehidupan, agar manusia
bisa survive menghadapi semua tantangan hidup. Dinamakan instrumentalisme,
karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat
untuk hidup, untuk kesejahteraan dan untuk mengembangkan kepribadiaan manusia.
Dinamakan eksperimentalisme, karena aliran ini menyadari dan
mempraktikkan asas eksperimen untuk menguji kebenaran suatu teori. Dan
dinamakan environmentalisme, Karena aliran ini menganggap lingkungan
hidup itu memengaruhi pembinaan kepribadiaan (Muhammad Noor Syam, 1987:
228-229)
Adapun tokoh-tokoh aliran progresivisme ini, antara
lain, adalah William James, John Dewey, Hans Vaihinger, Ferdinant Schiller, dan
Georges Santayana.
Aliran progesivisme telah memberikan sumbangan yang
besar di dunia pendidikan saat ini. Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar
kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan kebaikan baik
secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang
terpendam dalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang
lain (Ali, 1990: 146). Oleh karena itu, filsafat progesivisme tidak menyetujui
pendidikan yang otoriter.
John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses
dan sosialisasi (Suwarno, 1992: 62-63). Maksudnya sebagai proses pertumbuhan
anak didik dapat mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman lingkungan
sekitarnya. Maka dari itu, dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu
dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak cukup di sekolah saja.
Dengan demikian, sekolah yang ideal adalah sekolah
yang isi pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar. Karena sekolah
adalah bagian dari masyarakat. Dan untuk itu, sekolah harus dapat mengupyakan
pelestarian karakteristik atau kekhasan lingkungan sekolah sekitar atau daerah
di mana sekolah itu berada. Untuk dapat melestarikan usaha ini, sekolah harus
menyajikan program pendidikan yang dapat memberikan wawasan kepada anak didik
tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhususan daerah itu. Untuk
itulah, fisafat progesivisme menghendaki sis pendidikan dengan bentuk belajar
“sekolah sambil berbuat” atau learning by doing (Zuhairini, 1991: 24).
Dengan kata lain akal dan kecerdasan anak didik harus
dikembangkan dengan baik. Perlu diketahui pula bahwa sekolah tidak hanya
berfungsi sebagai pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge),
melainkan juga berfungsi sebagai pemindahan nilai-nilai (transfer of value),
sehingga anak menjadi terampildan berintelektual baik secara fisik maupun
psikis. Untuk itulah sekat antara sekolah dengan masyarakat harus dihilangkan.
2. Aliran Esensialisme
2. Aliran Esensialisme
Aliran esensialisme merupakan aliran pendidikan yang
didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat
manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaisance dengan cirri-cirinya yang
berbeda dengan progesivisme. Dasar pijakan aliran ini lebih fleksibel dan
terbuka untuk perubahan, toleran, dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin
tertentu. Esensiliasme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada
nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama, yang meberikan kestabilan
dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas (Zuhairini, 1991: 21).
Idealisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya
mengenai pribadi individu dengan menitikberatkan pada aku. Menurut idealisme,
pada tarap permulaan seseorang belajar memahami akunya sendiri, kemudian ke
luar untuk memahami dunia objektif. Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos.
Menurut Immanuel Kant, segala pengetahuan yang dicapai manusia melalui indera
memerlukan unsure apriori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu.
Bila orang berhadapan dengan benda-benda, bukan
berarti semua itu sudah mempunayi bentuk, ruang, dan ikatan waktu. Bentuk,
ruang , dan waktu sudah ada pada budi manusia sebelum ada pengalaman atu
pengamatan. Jadi, apriori yang terarah buikanlah budi pada benda, tetapi
benda-benda itu yang terarah pada budi. Budi membentuk dan mengatur dalam ruang
dan waktu. Dengan mengambil landasan pikir tersebut, belajar dapat
didefinisikan sebagai substansi spiritual yang membina dan menciptakan diri
sendiri (Poedjawijatna, 1983: 120-121).
Roose L. finney, seorang ahli
sosiologi dan filosof , menerangkan tentang hakikat social dari hidup mental.
Dikatakan bahwa mental adalah keadaan ruhani yang pasif, hal ini berarti bahwa
manusia pada umumnya menerima apa saja Yng telah ditentukan dan diatur oleh
alam social. Jadi, belajar adalah menerima dan mengenal secara sungguh-sungguh
nilai-nilai social angkatan baru yang timbul untuk ditambah, dikurangi dan
diteruskan pada angkatan berikutnya.
3. Aliran Perenialisme
Perenialisme memandang pendidikan
sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme
memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktik bagi kebudayaan
dan pendidikan zaman sekarang (Muhammad Noor Syam, 1986: 154). Dari pendapat
ini diketahui bahwa perenialisme merupakan hasil pemikiran yang memberikan
kemungkinan bagi sseorang untukk bersikap tegas dan lurus. Karena itulah,
perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah arsah tujuan yang
jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat, khususnya filsafat pendidikan.
Menurut perenialisme, ilmu pengetahuan merupakan
filsafat yang tertinggi, karena dengan ilmu pengetahuanlah seseorang dapat
berpikir secara induktif. Jadi, dengan berpikir maka kebenaran itu akan dapat
dihasilkan. Penguasaan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip pertama adalah
modal bagi seseorang untuk mengembangkan pikiran dan kecerdasan. Dengan
pengetahuan, bahan penerangan yang cukup, orang akan mampu mengenal dan
memahami factor-faktor dan problema yang perlu diselesaikan dan berusaha mengadakan
penyelesaian masalahnya.
Diharapkan anak didik mampu mengenal dan mengembangkan
karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental. Karya-karya ini
merupakan buah pikiran besar pada masa lampau. Berbagai buah pikiran mereka
yang oleh zaman telah dicatat menonjol seperti bahasa, sastra, sejarah,
filsafat, politik, ekonomi, matematika, ilmu pengetahuan alam, dan
lain-lainnya, yang telah banyak memberikan sumbangan kepadaperkembangan zaman
dulu.
Tugas utama pendidiakn adalah mempersiapkan anak didik
kea rah kematangan. Matang dalam arti hiodup akalnya. Jadi, akl inilah yang
perlu mendapat tuntunan kea rah kematangan tersebut. Sekolah rendah memberikan
pendidikan dan pengetahuan serba dasar. Dengan pengetahuan yang tradisional
seperti membaca, menulis, dan berhitung, anak didik memperoleh dasar penting
bagi pengetahuan-pengetahuan yang lain.
Sekolah, sebagai tempat utama dalam pendidikan,
mempesiapkan anak didik ke arah kematangan akal dengan memberikan pengetahuan.
Sedangkan tugas utama guru adalah memberikan pendidikan dan pengajaran
(pengetahuan) kepada anak didik. Dengan kata lain, keberhasilan anak dalam
nidang akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah
mendidik dan mengajarkan.
4. Aliran Rekonstruksionisme
Kata Rekonstruksionisme bersal dari bahasa Inggris reconstruct,
yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan,
rekonstruksionisme merupakan suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan
hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme pada
prinsipnya sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu berawal dari krisis
kebudayaan modern. Menurut Muhammad Noor Syam (1985: 340), kedua aliran
tersebut memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang mempumyai
kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan, dan kesimpangsiuran.
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas
penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia. Karenanya, pembinaan
kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat melalui pendidikan yang tepat
akan membina kembali manusia dengan nilai dan norma yang benar pula demi
generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat
manusia.
Di samping itu, aliran ini memiliki persepsi bahwa
masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur dan diperintah oleh
rakyat secara demokratis, bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu.
Cita-cita demokrasi yang sesungguhnya tidak hanya teori, tetapi mesti
diwujudkan menjadi kenyataan, sehingga mampu meningkatkan kualitas kesehatan,
kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna
kulit,, keturunan, nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat
bersangkutan.