Kurikulum dan pembelajaran
merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sebagai suatu rencana atau
program, kurikulum tidak akan bermakna manakala tidak diimplementasikan dalam
bentuk pembelajaran. Demikian juga sebaliknya, tanpa kurikulum yang jelas
sebagai acuan, maka pembelajaran tidak akan berlangsung secara efektif.
Persoalan bagaimana mengembangkan
suatu kurikulum, ternyata bukanlah hal yang mudah, serta tidak sesederhana yang
kita bayangkan. Dalam skala makro, kurikulum berfungsi sebagai suatu alat dan
pedoman untuk mengantar peserta didik sesuai dengan harapan dan cita-cita
masyarakat. Oleh karena itu, proses mendesain dan merancang suatu kurikulum
mesti memerhatikan sistem nilai (value system) yang berlaku beserta
perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat itu. Disamping itu oleh karena
kurikulum juga harus berfungsi mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh
peserta didik sesuai dengan bakat dan minatnya, maka proses pengembangannya
juga harus memperhatikan segala aspek yang terdapat pada peserta didik.
Persoalan-persoalan tersebut yang mendorong begitu kompleksnya proses
pengembangan kurikulum. Kurikulum harus secara terus menerus dievaluasi dan
dikembangkan agar isi dan muatannya selalu relevan dengan tuntutan masyarakat
yang selalu berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kurikulum memiliki dua sisi yang
sama pentingnya yakni kurikulum sebagai dokumen dan kurikulum sebagai
implementasinya. Sebagai sebuah dokumen kurikulum berfungsi sebagai pedoman
bagi guru dan kurikulum sebagai implementasi adalah realisasi dari pedoman
tersebut dalam kegiatan pembelajaran. Guru merupakan salah satu faktor penting
dalam implementasi kurikulum. Bagaimanapun idealnya suatu kurikulum tanpa
ditunjang oleh kemampuan guru untuk mengimplementasikannya, maka kurikulum itu
tidak akan bermakna sebagai suatu alat pendidikan, dan sebaliknya pembelajaran
tanpa kurikulum sebagai pedoman tidak akan efektif. Dengan demikian peran guru
dalam hal ini adalah sebagai posisi kunci dan dalam pengembangnnya guru lebih
berperan banyak dalam tataran kelas.
Murray Printr mencatat peran guru
dalam level ini adalah sebagai berikut :
Pertama, sebagai implementers,
guru berperan untuk mengaplikasikan kurikulum yang sudah ada. Dalam
melaksanakan perannya guru hanya menerima berbagai kebijakan perumus
kurikulum.dalam pengembangan kurikulum guru dianggap sebagai tenaga teknis yang
hanya bertanggung jawab dalam mengimplementasikan berbagai ketentuan yang ada.
Akibatnya kurikulum bersifat seragam antar daerah yang satu dengan daerah yang
lain. Oleh karena itu guru hanya sekadar pelaksana kurikulum, maka tingkat
kreatifitas dan inovasi guru dalam merekayasa pembelajaran sangat lemah. Guru
tidak terpacu untuk melakukan berbagai pembaruan. Mengajar dianggapnya bukan
sebagai pekerjaan profesional, tetapi sebagai tugas rutin atau tugas
keseharian.
Kedua, peran guru sebagai
adapters, lebih dari hanya sebagai pelaksana kurikulum, akan tetaou juga
sebagai penyelaras kurikulum dengan karakteristik dan kebutuhan siswa dan
kebutuhan daerah. Guru diberi kewenangan untuk menyesuaikan kurikulum yang
sudah ada dengan karakteristik sekolah dan kebutuhan lokal. Hal ini sangat
tepat dengan kebijakan KTSP dimana para perancang kurikulum hanya menentukan
standat isi sebagai standar minimal yang harus dicapai, bagaimana
implementasinya, kapan waktu pelaksanaannya, dan hal-hal teknis lainnya
seluruhnya ditentukan oleh guru. Dengan demikian, peran guru sebagai adapters
lebih luas dibandingkan dengan peran guru sebagai implementers.
Ketiga, peran sebagai pengembang
kurikulum, guru memiliki kewenganan dalam mendesain sebuah kurikulum. Guru
bukan saja dapat menentukan tujuan dan isi pelajaran yang disampaikan, akan
tetapi juga dapat menentukan strategi apa yang harus dikembangkan serta
bagaimana mengukur keberhasilannya. Sebagai pengembang kurikulum sepenuhnya
guru dapat menyusun kurikulum sesuai dengan karakteristik, visi dan misi sekolah,
serta sesuai dengan pengalaman belajar yang dibutuhkan siswa.
Keempat, adalah peran guru
sebagai peneliti kurikulum (curriculum researcher). Peran ini dilaksanakan
sebagai bagian dari tugas profesional guru yang memiliki tanggung jawab dalam
meningkatkan kinerjanya sebagai guru. Dalam melaksanakan perannya sebagai
peneliti, guru memiliki tanggung jawab untuk menguji berbagai komponen
kurikulum, misalnya menguji bahan-bahan kurikulum, menguji efektifitas program,
menguji strategi dan model pembelajaran dan lain sebagainya termasuk
mengumpulkan data tentang keberhasilan siswa mencapai target kurikulum. Metode
yang digunakan oleh guru dalam meneliti kurikulum adalah PTK dan Lesson Study.
Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
adalah metode penelitian yang berangkat dari masalah yang dihadapi guru dalam
implementasi kurikulum. Melalui PTK, guru berinisiatif melakukan penelitian
sekaligus melaksanakan tindakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Dengan
demikian, dengan PTK bukan saja dapat menambah wawasan guru dalam melaksanakan
tugas profesionalnya, akan tetapi secara terus menerus guru dapat meningkatkan
kualitas kinerjanya.
Sedangkan lesson study adalah
kegiatan yang dilakukan oleh seorang guru/ sekelompok guru yang bekerja sama
dengan orang lain (dosen, guru mata pelajaran yang sama/guru satu tingkat kelas
yang sama, atau guru lainya), merancang kegiatan untuk meningkatkan mutu
belajar siswa dari pembelajaran yang dilakukan oleh salah seorang guru dari
perencanaan pembelajaran yang dirancang bersama/sendiri, kemudian di observasi
oleh teman guru yang lain dan setelah itu mereka melakukan refleksi bersama
atas hasil pengamatan yang baru saja dilakukan. (Ridwan Johawarman, dalam
Sumardi, 2009).
Dunia pendidikan di Indonesia
sudah mengalami beberapa perubahan kurikulum. Hal ini bukan berarti ganti
menteri pendidikan ganti kurikulum, seperti pendapat sebagian guru, melainkan
kurikulum harus selalu berubah sesuai dengan tuntutan jaman.
Sekolah dan komite sekolah
mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan
kerangka dasar kurikulum, dan standar kompetensi, di bawah koordinasi dan
supervisi dinas pendidikan setempat. Dengan adanya otonomi sekolah memotivasi
guru untuk mengubah paradigma sebagai “curriculum user” menjadi “curriculum
developer”. Guru mampu keluar dari kultur kerja konvensional menjadi kultur
kerja kontemporer yang dinamis, dan guru mampu memainkan peran sebagai “agent
of change”.