Filsafat
Suhrawardi Al-Maqtul
Disusun
guna memenuhi tugas
Mata Kuliah :
Filsafat Islam
Dosen Pengampu : Kurdi Fadal, M.H.I.,M.S.I
Disusun
Oleh :
1.
Mohammad
Faris Saputra 202109399
2.
Moh. Zuhrufi Sani 2021110322
3.
Nur Farikhah 2021111116
4.
Amilatun Istiqomah 2021111100
5.
Muhammad kamal
k 202109372
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2012
PENDAHULUAN
Peradaban Islam pada masa Suhrowardi berada pada fase
kematangan, yang mana akal pemikiran Suhrowardi sangat unik dan mendasar. Dia berusaha
mencari dan mendapatkan bahan-bahan pemikirannya hingga pada sumber yang paling
awal. Dia melacak sumber kebenaran yang ada pada beragam kepercayaan.
Untuk selanjutnya di dalam makalah kami akan mencoba
menjelaskan mengenai filsafat Suhrowardi seiring dengan pemikirannya.
PEMBAHASAN
A.
Biografi Suhrawardi
Suhrawardi, lengkapnya Syihab al-Din Yahya ibn Habasy ibn Amira’ Suhrawardi
al-Maqtul. Istilah al-Maqtul untuk membedakannya dengan dua tokoh Suhrawardi
yang lain lahir di desa Suhraward, sebuah desa kecil dekat kota Zinjan di Iran
Timur Laut, tahun 545 H/1153 M.
Pendidikannya dimulai di Maraghah, sebuah kota yang kemudian menjadi
terkenal karena lahirnya Nasirud al-Din al-Tusi (1201-1274) yang membangangun
observatorium I dalam Islam di bawah bimbingan Majdud al-Din al Jilli, dalam
bidang Fiqh dan teologi. Selanjutnya pergi ke isfahan untukin al-Mardini
(w.1198 M), di mana orang yang disebut terakhir ini diduga sebagai guru
Suhrawardi yang paling penting. Selain itu, ia juga belajar logika pada Zahir
al-Farsi, yang mengajarkan al-Bashair al-Nashiriyah, kitab karya ‘Umar ibn
Sahlan al-Sawi (w.1183 M), ahli logika terkenal sekaligus salah satu pemikir
illuminasionis awal dalam islam.
Setelah itu, Suhrawardi pergi mengembara ke pelosok Persia untuk menemui
guru-guru sufi dan hidup secara asketis. Menurut Husein Nasr, Suhrawardi
memasuki putaran kehidupannya melalui jalan sufi dan cukup lama berkhalwat
untuk mempelajari dan memikirkannya. Perjalanannya semakin melebar sehingga
mencapai Anatoli dan Syiria. Dari Damaskus ia pergi ke Aleppo untuk berguru
pada Syaffir Iftikhar al-Din, dan di kota ini Suhrawardi menjadi terkenal
sehingga para faqih menjadi iri dan mengecamnya. Akibatnya ia dipanggil
Pangeran Malik al-Zahir,penguasa Aleppo, putra Sultan Shalah al-Din al-Ayyubi,
untuk dipertemukan dengan para fuqaha dan teolog. Namun, dalam perdebatan ini
Suhrawardi mampu mengemukakan argumentasi-argumentasi yang kuat, yang justru
membuatnya dekat dengan pangeran Zahir dan pendapat-pendapatnya disambut baik.
Saat di Aleppo, dalam usianya yang masih belia, Suhrawardi telah menguasai
pengetahuan filsafat dan tasawuf begitu mendalam, serta mampu menguraikannya
secara baik. Bahkan Thabaqat al-Athibba’ menyebut Suhrawardi sebagai tokoh
zamannya dalam ilmu-ilmu hikmah. Ia begitu menguasai ilmu filsafat, memahami
ushul fiqh, begitu cerdas dan begitu fasih ungkapannya. Semua itu semakin
membuat iri dan dendam lawan-lawannya. Karena itu, setelah tidak berhasil
mempengaruhi pangeran Zahir, para fuqaha yang dengki berkirim surat langsung
pada Sulthan Shalah al-Din, dan memperingatkan bahaya akan tersesatnya akidah
sang pangeran jika terus bersahabat dengan Suhrawardi. Shalah al-Din sendiri,
yang terpengaruh isi surat tersebut segera memerintahkan putranya untuk
menghukum mati Suhrawardi. Akhirnya, pemikir yang sangat brilian ini harus mati
di tiang gantungan, tahun 1191 M, dalam usianya yang relatif muda, 38 tahun,
karena kedengkian sebagian ulama fiqh.
Meski perjalanan hidupnya terbilang pendek, Suhrawardi meninggalkan banyak
karya tulis. Menurut Husein Nasr, ada sekitar 50 judul buku yang ditulisnya
dalam bahasa Arab dan Persia, meliputi berbagai bidang dan ditulis dengan
metode yang berebeda, sehingga memungkinkan untuk membaginya dalam 5 bagian.
1. Buku-buku empat besar
tentang pengajaran dan doktrin yang ditulis dalam bahasa Arab. Kumpulan ini
membentuk kelompok yang membahas filsafat paripaterik, yang terdiri atas
al-Talwihat, al-Muqawimat, dan al-Mutharahat yang ketiga berisi pembenaran
filsafat Aristoteles. Terakhir Himah al-Isyraq (The Theolosophy of te Orient
of Light) yang berbicara sekitar konsep illuminasi.
2. Risalah-risalah
pendek yang masing-masing ditulis dalam bahasa Arab dan Persia. Materi tulisan
ini sebenrnya juga telah ada dalam kumpulan buku yang keempat tetapi ditulis
dalam bahasa yang lebih sederhana.
3. Kisah-kisah sufisme
yang melukiskan perjalanan ruhani dalam semesta, yang mencari keunikan dan
illuminasi. Hampir semua kisah ini ditulis dalam bahasa Persia.
4. Nulikan-nukilan,
terjemahan dan penjelasan terhadap buku filsafat lama, seperti terjemahan
Risalah al-Thair karya Ibn Sina (980-1037 M) dalam bahasa Persia, penjelasan al-Isyarat,
serta Risalah fi Haqiqah al-Isyqi (On the Reality of Love) yang terpusat
pada risalah fi al- Isyqi karya Ibn Sina, dan tafsir sejumlah ayat serta hadits
Nabi.
5. Wirid-wirid dan
doa-doa dalam bahasa Arab.[1]
B.
Filsafat Suhrawardi Al-
Maqtul
As-Suhrawardi
menguraikan ajaran filsafatnya dengan sangat unik karena banyak menggunakan tamsil
dan kisah dari kisah perumpamaan. Tidak
dapat di elakan karya filsafatnya bercorak sastra. Ini merupakan cirri khas
Timur, sebagaimana tampak dalam uraian ahli filsafat, seperti konfusius, lao
Tze, dan Ibnu Sina. Bahkan Plato khususnya dalam republic, juga memaparkan
ajaran filsafat dalam bentuk dialog. Namun, pemikiran Suhrawardi lebih menarik
lagi karena bersumber dari berbagai tradisi budaya serta kepercayaaan dalam rentangan
zaman yang panjang. Sumber-sumber klasik pemikirannya meliputi kearifan Persia
kuno, Yunani kuno pro Aristoteles, dan
Arab Persia. Dari Persia kuno ia menggali pemikiran Gayamars, Faridun, Kay
Khusraw. Dari tradisi Arab-Persia atau Islam, ia menentukan akar pemikirannya
dalam tradisi hikmah Nabi Syis dan Nabi Idris a.s sampai Zunnun Al- Misri, Abu
Sahl At-Tustari atau Mansur Al-Hallaj. Dari Yunani kuno ia menggali pemikiran
tradisional Ordo Hermetiah (Hermetitisme) sampai Phytagoras dan Plato.[2]
Oleh
karena itu untuk menurut akar pemikiran filsafat Suhrawardi dapat ditemukan
dari kecenderungan iluminasionisme Suhrawardi yang merujuk kepada pola Plato,
Hermes, dan tokoh-tokoh Yunani dan Persia kuno, sebagaimana ungkapannya, “ yang saya sebut dengan ilmu tentang
pancaran cahaya-cahaya ketuhanan (‘Ulum Al-Anwar) dan segala hal yang terkait
dengannya bisa saya capai berkat bantuan orang-orang yang selalu merambah jalan
Allah, yaitu seorang tokoh dan ketua akademi, Plato yang mula-mula menemukan
teori keabadian (a parte poste) dan pancaran cahaya ketuhanan dan jasa
orang-orang sebelumnya dari zaman bapak para filsuf, Hermes, hingga zaman
Empedocles.
Apabila
dilihat dari sudut sejarah dan kandungan ajaran metafisikannya, filsafat Isyraqiyah
merupakan penjelmaan kembali hikmah purba yang mengutamakan intuisi intelektual
(zauq) tanpa mengesampingkan pemikiran diskursif. Filsafat Al-Isyraq
adalah filsafat yang memadukan kecenderungan pemikiran Platonisme dan
Aristotelian yang dilapisi dengan tatanan kemalaikatan (angelologi)
zorooaster serta gagasan Hermetisisme.
Akar
pemikiran filsafat iluminasi lainnya adalah teori emanasi yang dikembangkan
oleh Ibnu Sina dan Al-Farabi sebagai dasar epistemologi Suhrawardi, meskipun ia
berbeda dari mereka dalam hal akal terakhir. Emanasi Ibnu Sina dan Al-Farabi
berhenti pada akal aktual. Sementara emanasi Suhrawardi tidak terbatas pada
akal aktual, tetapi terus beremanasi pada akal yang lebih banyak dan tidak bisa
terhitung selama cahaya dari cahaya-cahaya terus menerus memancarkan cahaya
murni kepada segala sesuatu yang ada di bawahnya.[3]
Dengan
perjalanan waktu yang panjang, setelah mengurangi berbagai filsafat sebelumnya,
Suhrawardi sampai tingkat penemuan filsafat iluminasi. Dengan teori iluminasi
yang diambil dari mistisme Yuanani dan filsafat Persia, Suhrawardi mengambil
kesimpulan bahwa tidak tepat baginya mengarungi dunia Inderawi dan materi
bersama orang-orang yang terjebak di dunia materi, yang lebih tepat baginya
adalah meninggalkan dunia materi menuju dunia peninggalan keinginan dunia (tajarrudi)
dan penyaksian langsung (syuhudi), kemudian naik ke maqam orang-orang
yang bercahaya (nuraniyyun), bergaul bersama mereka, dan menyaksikan
mereka dari dekat. Inilah titik kulminasi filsafat Suhrawardi.[4]
Jiwa
manusia menurut Suhrawardi tidak bisa sampai pada alam suci serta tidak bisa
menerima cahaya-cahaya iluminasi kecuali dengan latihan rohaniah, sebab alam
suci maupun cahaya itu adalah substansi malakut, dimana alam itu sendiri tidak
membutuhkan kekuatan-kekuatan fisik. Jelasnya, seandainya jiwa manusia menguat
dengan keutamaaan-keutamaan rohaniah, dan kontrok kekuatan fisik melemah akibat
mengurangi makan serta mengurangi tidur malam, jiwa pun terkadang melesat
menuju alam suci dan bertemu dengan induk sucinya, bahkan menerima berbagai
pengetahuannya. Dengan begitu, menurut As- Suhrawardi, lewat latihan rohaniah
jiwa menjadi berkaitan dengan suatu kefanaan duniawi. Dan lewat kefanaan itulah
jiwa berhubungan dengan alam suci serta mencapai kelezatan dan kebahagiaan.[5]
Perbedaan
jiwa dan badan manusia menyebabkan perbedaan kemampuan dalam pencerapan. Jiwa
manusia mampu mencerap makna-makna yang terlepas dari badan sedangkan badan
tidak demikian. Kemampuan jiwa mencerap menunjukkan bahwa jiwa memiliki
karakter-karakter khusus yang tidak dimiliki oleh badan. Kemampuan jiwa
mengungguli kemampuan jasadnya, dan memang pada hakikatnya manusia akan tetap
utuh dan eksis apabila jiwanya masih melekat pada badannya, sehingga apabila
jiwa terlepas dari badan maka hakikat manusia sudah tidak ada lagi. Oleh karena
itu, eksistensi manusia terletak pada jiwanya, bukan pada badannya.[6]
Cahaya
memiliki dua bentuk yaitu cahaya yang terang pada dirinya sendiri dan cahaya
yang terang dan menerangi selainnya. Cahaya yang terakhir ini menerangi segala
sesuatu. Namun, bagaimana pun statusnya, cahaya tetaplah sesuatu yang terang.
Dan sebagaimana telah disebutkan, ia merupakan sebab tampaknya segala sesuatu
yang tidak bisa tidak beremanasi darinya. Maka dari itu, ia bersifat hidup
sebab kehidupan tidak lain dari penampakan diri yang esensial pada segala
sesuatu selainnya.[7]
Pembahasan
tentang cahaya-cahaya pengatur (‘arbab al-‘ashnam) ini berkaitan
pembahasan metafisis, dan didalam wacana pemikiran Suhrowardi, hal itu terdapat
pada teorinya tentang ‘alam al-mitsal. Setelah ketiga unsure (tanah,
air, dan udara) itu melahirkan barang-barang tambang dan tumbuhan, giliran
selanjutnya ia melahikan manusia yang merupakan hasil paling sempurna dari
proses perpaduan ketiga unsur pembentuk tersebut. Kepada manusia inilah cahaya
dominan yang disebut isfandarmadz
memberikan nafs an-nathiqah, yaitu isfahbad, yang mengatur segala
urusannya.
Dari
perpaduan itu muncul cahaya yang dari bentuk yang lebih sempurna, yaitu isfahbad
an-nasut, atau nafs an-nathiqah yang bertindak sebagai pengatur
badan. Adapun yang dimaksud dengan perubahan dalam lingkaran alam cahaya-cahaya
adalah langgengnya penyinaran dan pelimpahan, dimana cahaya yang lebih tinggi
menyinari cahaya yang ada dibawahnya, sedangkan cahaya yang di bawahnya musyahadah
terhadap cahaya yang ada di atasnya.[8]
PENUTUP
Dari
makalah diatas dapat kami simpulkan bahwa menurut Suhrowardi hikmah kebenaran
itu satu, abadi, dan tidak terbagi-bagi. Bahkan ia menyarankan kepada setiap
orang agar mengikuti cahaya hikmah, dimana saja, dan kapan saja cahaya hikamah
itu menyinarinya. Dia menganggap dirinya sebagai pengumpul apa yang ia sebut
sebagai al-hikmah al-laduniyyah, al-hikmah al-atiqah. Hikmah atau
teosofi diturunkan Tuhan melalui Nabi Idris atau Hermes yang dianggap sebagai
pembangun falsafah dan sains. Hikmah tersebut kemudian kembali terbagi ke dalam
dua cabang, yakni cabang Persia dan cabang Mesir. Hikmah dari Mesir kemudian
menyebar ke Yunani. Pada gilirannya, sumber hikmah dari Persia dan Yunani pun
masuk ke dalam peradaban Islam.
Unsur-unsur
dasar pembentuk alam hanya ada tiga, yaitu tanah, air, dan udara. Ketiganya
mewakili sifat-sifat benda yang ada di alam semesta padat, cair, dan gas. Api
tidak termasuk ke dalam unsur dasar pembentuk alam, namun ia memiliki posisi
yang istimewa dalam pemikiran Suhrowardi.
Aturan
yang dijadikan dasar acuan adalah tiap cahaya yang menduduki posisi lebih
tinggi selalu meneruskan cahayanya ke cahaya yang berada di bawahnya sebanyak
cahaya yang dimilikinya.
DAFTAR PUSTAKA
Drajat, Amroeni. 2005. Suhrowardi Kritik Falsafah
Peripatetik, Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara.
Fakhry,
Madjid. 2001. Sejarah Filsafat Islam, Bandung: Mizan Media Utama.
Hossein,
Nasr. Sayyed. 1991. Intelektual Islam, Yogyakarta: Ciss Press
Mustafa,
Ahmad. 1997. Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia.
Supriyadi,
Dedi. 2009. Pengantar Filsafat Islam, Bandung : Pustaka Setia. Cet. 1
[1] Sayyed
Nasr Hossein, Intelektual Islam, (Yogyakarta : Ciss Press, 1991) hal.
116-119.
[2] Dedi
Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2009 Cet.
1) hal. 180.
[3] Dedi
Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, hal 180-181.
[4] Dedi
Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, hal 182.
[5] Ahmad
Mustafa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997) hal. 251.
[6] Amroeni
Drajat, Suhrowardi Kritik Falsafah Peripatetik, (Yogyakarta: LKis
Pelangi Aksara, 2005) hal. 252.
[7] Madjid
Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, (Bandung: Mizan Media Utama, 2001) hal.
251.
[8] Amroeni
Drajat, Suhrowardi Kritik Falsafah Peripatetik, hal. 199-200.