Monday, 31 August 2015

makalah biografi suhrawardi (filsafat islam cahaya)



Filsafat

Suhrawardi Al-Maqtul

           

Disusun guna memenuhi tugas

Mata Kuliah                       : Filsafat Islam

Dosen Pengampu               : Kurdi Fadal, M.H.I.,M.S.I





Disusun Oleh :


1.      Mohammad Faris Saputra       202109399

2.      Moh. Zuhrufi Sani                  2021110322     

3.      Nur Farikhah                           2021111116

4.      Amilatun Istiqomah                2021111100

5.      Muhammad  kamal k              202109372






SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

(STAIN) PEKALONGAN

2012


PENDAHULUAN


Peradaban Islam pada masa Suhrowardi berada pada fase kematangan, yang mana akal pemikiran Suhrowardi sangat unik dan mendasar. Dia berusaha mencari dan mendapatkan bahan-bahan pemikirannya hingga pada sumber yang paling awal. Dia melacak sumber kebenaran yang ada pada beragam kepercayaan.

Untuk selanjutnya di dalam makalah kami akan mencoba menjelaskan mengenai filsafat Suhrowardi seiring dengan pemikirannya.   


















PEMBAHASAN


A.    Biografi Suhrawardi

Suhrawardi, lengkapnya Syihab al-Din Yahya ibn Habasy ibn Amira’ Suhrawardi al-Maqtul. Istilah al-Maqtul untuk membedakannya dengan dua tokoh Suhrawardi yang lain lahir di desa Suhraward, sebuah desa kecil dekat kota Zinjan di Iran Timur Laut, tahun 545 H/1153 M.

Pendidikannya dimulai di Maraghah, sebuah kota yang kemudian menjadi terkenal karena lahirnya Nasirud al-Din al-Tusi (1201-1274) yang membangangun observatorium I dalam Islam di bawah bimbingan Majdud al-Din al Jilli, dalam bidang Fiqh dan teologi. Selanjutnya pergi ke isfahan untukin al-Mardini (w.1198 M), di mana orang yang disebut terakhir ini diduga sebagai guru Suhrawardi yang paling penting. Selain itu, ia juga belajar logika pada Zahir al-Farsi, yang mengajarkan al-Bashair al-Nashiriyah, kitab karya ‘Umar ibn Sahlan al-Sawi (w.1183 M), ahli logika terkenal sekaligus salah satu pemikir illuminasionis awal dalam islam.

Setelah itu, Suhrawardi pergi mengembara ke pelosok Persia untuk menemui guru-guru sufi dan hidup secara asketis. Menurut Husein Nasr, Suhrawardi memasuki putaran kehidupannya melalui jalan sufi dan cukup lama berkhalwat untuk mempelajari dan memikirkannya. Perjalanannya semakin melebar sehingga mencapai Anatoli dan Syiria. Dari Damaskus ia pergi ke Aleppo untuk berguru pada Syaffir Iftikhar al-Din, dan di kota ini Suhrawardi menjadi terkenal sehingga para faqih menjadi iri dan mengecamnya. Akibatnya ia dipanggil Pangeran Malik al-Zahir,penguasa Aleppo, putra Sultan Shalah al-Din al-Ayyubi, untuk dipertemukan dengan para fuqaha dan teolog. Namun, dalam perdebatan ini Suhrawardi mampu mengemukakan argumentasi-argumentasi yang kuat, yang justru membuatnya dekat dengan pangeran Zahir dan pendapat-pendapatnya disambut baik.

Saat di Aleppo, dalam usianya yang masih belia, Suhrawardi telah menguasai pengetahuan filsafat dan tasawuf begitu mendalam, serta mampu menguraikannya secara baik. Bahkan Thabaqat al-Athibba’ menyebut Suhrawardi sebagai tokoh zamannya dalam ilmu-ilmu hikmah. Ia begitu menguasai ilmu filsafat, memahami ushul fiqh, begitu cerdas dan begitu fasih ungkapannya. Semua itu semakin membuat iri dan dendam lawan-lawannya. Karena itu, setelah tidak berhasil mempengaruhi pangeran Zahir, para fuqaha yang dengki berkirim surat langsung pada Sulthan Shalah al-Din, dan memperingatkan bahaya akan tersesatnya akidah sang pangeran jika terus bersahabat dengan Suhrawardi. Shalah al-Din sendiri, yang terpengaruh isi surat tersebut segera memerintahkan putranya untuk menghukum mati Suhrawardi. Akhirnya, pemikir yang sangat brilian ini harus mati di tiang gantungan, tahun 1191 M, dalam usianya yang relatif muda, 38 tahun, karena kedengkian sebagian ulama fiqh.

Meski perjalanan hidupnya terbilang pendek, Suhrawardi meninggalkan banyak karya tulis. Menurut Husein Nasr, ada sekitar 50 judul buku yang ditulisnya dalam bahasa Arab dan Persia, meliputi berbagai bidang dan ditulis dengan metode yang berebeda, sehingga memungkinkan untuk membaginya dalam 5 bagian.

1.    Buku-buku empat besar tentang pengajaran dan doktrin yang ditulis dalam bahasa Arab. Kumpulan ini membentuk kelompok yang membahas filsafat paripaterik, yang terdiri atas al-Talwihat, al-Muqawimat, dan al-Mutharahat yang ketiga berisi pembenaran filsafat Aristoteles. Terakhir Himah al-Isyraq (The Theolosophy of te Orient of Light) yang berbicara sekitar konsep illuminasi.

2.    Risalah-risalah pendek yang masing-masing ditulis dalam bahasa Arab dan Persia. Materi tulisan ini sebenrnya juga telah ada dalam kumpulan buku yang keempat tetapi ditulis dalam bahasa yang lebih sederhana.

3.    Kisah-kisah sufisme yang melukiskan perjalanan ruhani dalam semesta, yang mencari keunikan dan illuminasi. Hampir semua kisah ini ditulis dalam bahasa Persia.

4.    Nulikan-nukilan, terjemahan dan penjelasan terhadap buku filsafat lama, seperti terjemahan Risalah al-Thair karya Ibn Sina (980-1037 M) dalam bahasa Persia, penjelasan al-Isyarat, serta Risalah fi Haqiqah al-Isyqi (On the Reality of Love) yang terpusat pada risalah fi al- Isyqi karya Ibn Sina, dan tafsir sejumlah ayat serta hadits Nabi.

5.    Wirid-wirid dan doa-doa dalam bahasa Arab.[1]


B.     Filsafat Suhrawardi Al- Maqtul

As-Suhrawardi menguraikan ajaran filsafatnya dengan sangat unik karena banyak menggunakan tamsil dan kisah dari kisah perumpamaan.  Tidak dapat di elakan karya filsafatnya bercorak sastra. Ini merupakan cirri khas Timur, sebagaimana tampak dalam uraian ahli filsafat, seperti konfusius, lao Tze, dan Ibnu Sina. Bahkan Plato khususnya dalam republic, juga memaparkan ajaran filsafat dalam bentuk dialog. Namun, pemikiran Suhrawardi lebih menarik lagi karena bersumber dari berbagai tradisi budaya serta kepercayaaan dalam rentangan zaman yang panjang. Sumber-sumber klasik pemikirannya meliputi kearifan Persia kuno, Yunani  kuno pro Aristoteles, dan Arab Persia. Dari Persia kuno ia menggali pemikiran Gayamars, Faridun, Kay Khusraw. Dari tradisi Arab-Persia atau Islam, ia menentukan akar pemikirannya dalam tradisi hikmah Nabi Syis dan Nabi Idris a.s sampai Zunnun Al- Misri, Abu Sahl At-Tustari atau Mansur Al-Hallaj. Dari Yunani kuno ia menggali pemikiran tradisional Ordo Hermetiah (Hermetitisme) sampai Phytagoras dan Plato.[2]

Oleh karena itu untuk menurut akar pemikiran filsafat Suhrawardi dapat ditemukan dari kecenderungan iluminasionisme Suhrawardi yang merujuk kepada pola Plato, Hermes, dan tokoh-tokoh Yunani dan Persia kuno, sebagaimana  ungkapannya, “ yang saya sebut dengan ilmu tentang pancaran cahaya-cahaya ketuhanan (‘Ulum Al-Anwar) dan segala hal yang terkait dengannya bisa saya capai berkat bantuan orang-orang yang selalu merambah jalan Allah, yaitu seorang tokoh dan ketua akademi, Plato yang mula-mula menemukan teori keabadian (a parte poste) dan pancaran cahaya ketuhanan dan jasa orang-orang sebelumnya dari zaman bapak para filsuf, Hermes, hingga zaman Empedocles.

Apabila dilihat dari sudut sejarah dan kandungan ajaran metafisikannya, filsafat Isyraqiyah merupakan penjelmaan kembali hikmah purba yang mengutamakan intuisi intelektual (zauq) tanpa mengesampingkan pemikiran diskursif. Filsafat Al-Isyraq adalah filsafat yang memadukan kecenderungan pemikiran Platonisme dan Aristotelian yang dilapisi dengan tatanan kemalaikatan (angelologi) zorooaster serta gagasan Hermetisisme.

Akar pemikiran filsafat iluminasi lainnya adalah teori emanasi yang dikembangkan oleh Ibnu Sina dan Al-Farabi sebagai dasar epistemologi Suhrawardi, meskipun ia berbeda dari mereka dalam hal akal terakhir. Emanasi Ibnu Sina dan Al-Farabi berhenti pada akal aktual. Sementara emanasi Suhrawardi tidak terbatas pada akal aktual, tetapi terus beremanasi pada akal yang lebih banyak dan tidak bisa terhitung selama cahaya dari cahaya-cahaya terus menerus memancarkan cahaya murni kepada segala sesuatu yang ada di bawahnya.[3]

Dengan perjalanan waktu yang panjang, setelah mengurangi berbagai filsafat sebelumnya, Suhrawardi sampai tingkat penemuan filsafat iluminasi. Dengan teori iluminasi yang diambil dari mistisme Yuanani dan filsafat Persia, Suhrawardi mengambil kesimpulan bahwa tidak tepat baginya mengarungi dunia Inderawi dan materi bersama orang-orang yang terjebak di dunia materi, yang lebih tepat baginya adalah meninggalkan dunia materi menuju dunia peninggalan keinginan dunia (tajarrudi) dan penyaksian langsung (syuhudi), kemudian naik ke maqam orang-orang yang bercahaya (nuraniyyun), bergaul bersama mereka, dan menyaksikan mereka dari dekat. Inilah titik kulminasi filsafat Suhrawardi.[4]            

Jiwa manusia menurut Suhrawardi tidak bisa sampai pada alam suci serta tidak bisa menerima cahaya-cahaya iluminasi kecuali dengan latihan rohaniah, sebab alam suci maupun cahaya itu adalah substansi malakut, dimana alam itu sendiri tidak membutuhkan kekuatan-kekuatan fisik. Jelasnya, seandainya jiwa manusia menguat dengan keutamaaan-keutamaan rohaniah, dan kontrok kekuatan fisik melemah akibat mengurangi makan serta mengurangi tidur malam, jiwa pun terkadang melesat menuju alam suci dan bertemu dengan induk sucinya, bahkan menerima berbagai pengetahuannya. Dengan begitu, menurut As- Suhrawardi, lewat latihan rohaniah jiwa menjadi berkaitan dengan suatu kefanaan duniawi. Dan lewat kefanaan itulah jiwa berhubungan dengan alam suci serta mencapai kelezatan dan kebahagiaan.[5]

Perbedaan jiwa dan badan manusia menyebabkan perbedaan kemampuan dalam pencerapan. Jiwa manusia mampu mencerap makna-makna yang terlepas dari badan sedangkan badan tidak demikian. Kemampuan jiwa mencerap menunjukkan bahwa jiwa memiliki karakter-karakter khusus yang tidak dimiliki oleh badan. Kemampuan jiwa mengungguli kemampuan jasadnya, dan memang pada hakikatnya manusia akan tetap utuh dan eksis apabila jiwanya masih melekat pada badannya, sehingga apabila jiwa terlepas dari badan maka hakikat manusia sudah tidak ada lagi. Oleh karena itu, eksistensi manusia terletak pada jiwanya, bukan pada badannya.[6]          

Cahaya memiliki dua bentuk yaitu cahaya yang terang pada dirinya sendiri dan cahaya yang terang dan menerangi selainnya. Cahaya yang terakhir ini menerangi segala sesuatu. Namun, bagaimana pun statusnya, cahaya tetaplah sesuatu yang terang. Dan sebagaimana telah disebutkan, ia merupakan sebab tampaknya segala sesuatu yang tidak bisa tidak beremanasi darinya. Maka dari itu, ia bersifat hidup sebab kehidupan tidak lain dari penampakan diri yang esensial pada segala sesuatu selainnya.[7] 

Pembahasan tentang cahaya-cahaya pengatur (‘arbab al-‘ashnam) ini berkaitan pembahasan metafisis, dan didalam wacana pemikiran Suhrowardi, hal itu terdapat pada teorinya tentang ‘alam al-mitsal. Setelah ketiga unsure (tanah, air, dan udara) itu melahirkan barang-barang tambang dan tumbuhan, giliran selanjutnya ia melahikan manusia yang merupakan hasil paling sempurna dari proses perpaduan ketiga unsur pembentuk tersebut. Kepada manusia inilah cahaya dominan yang disebut  isfandarmadz memberikan nafs an-nathiqah, yaitu isfahbad, yang mengatur segala urusannya. 

Dari perpaduan itu muncul cahaya yang dari bentuk yang lebih sempurna, yaitu isfahbad an-nasut, atau nafs an-nathiqah yang bertindak sebagai pengatur badan. Adapun yang dimaksud dengan perubahan dalam lingkaran alam cahaya-cahaya adalah langgengnya penyinaran dan pelimpahan, dimana cahaya yang lebih tinggi menyinari cahaya yang ada dibawahnya, sedangkan cahaya yang di bawahnya musyahadah terhadap cahaya yang ada di atasnya.[8]   



PENUTUP



Dari makalah diatas dapat kami simpulkan bahwa menurut Suhrowardi hikmah kebenaran itu satu, abadi, dan tidak terbagi-bagi. Bahkan ia menyarankan kepada setiap orang agar mengikuti cahaya hikmah, dimana saja, dan kapan saja cahaya hikamah itu menyinarinya. Dia menganggap dirinya sebagai pengumpul apa yang ia sebut sebagai al-hikmah al-laduniyyah, al-hikmah al-atiqah. Hikmah atau teosofi diturunkan Tuhan melalui Nabi Idris atau Hermes yang dianggap sebagai pembangun falsafah dan sains. Hikmah tersebut kemudian kembali terbagi ke dalam dua cabang, yakni cabang Persia dan cabang Mesir. Hikmah dari Mesir kemudian menyebar ke Yunani. Pada gilirannya, sumber hikmah dari Persia dan Yunani pun masuk ke dalam peradaban Islam.

Unsur-unsur dasar pembentuk alam hanya ada tiga, yaitu tanah, air, dan udara. Ketiganya mewakili sifat-sifat benda yang ada di alam semesta padat, cair, dan gas. Api tidak termasuk ke dalam unsur dasar pembentuk alam, namun ia memiliki posisi yang istimewa dalam pemikiran Suhrowardi.

Aturan yang dijadikan dasar acuan adalah tiap cahaya yang menduduki posisi lebih tinggi selalu meneruskan cahayanya ke cahaya yang berada di bawahnya sebanyak cahaya yang dimilikinya.













DAFTAR PUSTAKA

Drajat, Amroeni.  2005. Suhrowardi Kritik Falsafah Peripatetik, Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara.

Fakhry, Madjid. 2001. Sejarah Filsafat Islam, Bandung: Mizan Media Utama.

Hossein, Nasr. Sayyed. 1991. Intelektual Islam, Yogyakarta: Ciss Press

Mustafa, Ahmad. 1997. Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia.

Supriyadi, Dedi. 2009. Pengantar Filsafat Islam, Bandung : Pustaka Setia. Cet. 1





[1] Sayyed Nasr Hossein, Intelektual Islam, (Yogyakarta : Ciss Press, 1991) hal. 116-119.
[2] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2009 Cet. 1) hal. 180.
[3] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, hal 180-181.
[4] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, hal 182.
[5] Ahmad Mustafa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997) hal. 251.
[6] Amroeni Drajat, Suhrowardi Kritik Falsafah Peripatetik, (Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara, 2005) hal. 252.
[7] Madjid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, (Bandung: Mizan Media Utama, 2001) hal. 251.   
[8] Amroeni Drajat, Suhrowardi Kritik Falsafah Peripatetik, hal. 199-200.