Monday, 31 August 2015

makalah biografi al kindi (filsafat tuhan dan alam)


BAB  I

PENDAHULUAN


Tuhan menciptakan manusia beserta kelebihannya ( akalnya ). Akal itu terkadang dapat membawa manusia ke dalam kesesatan apabila tidak diimbangi dengan hubungan dengan Tuhan itu sendiri.

Pengembangan daya berpikir manusia itu dapat mencapai titik terang, dengan kata lain dapat menemukan “Dzat” Yang Esa. Di antaranya para filosof Islam seperti Al-Kindi, Al-Ghazali, Al-Farabi, dll.

Dalam pembahasan ini, kami mencoba meneropong tentang sekilas apa yang ada di dalam Al-Kindi, beserta keserupaan pendapatnya dengan alam pikiran Barat            ( Plotinus ).




















BAB  II


PEMBAHASAN


HISTORIOGRAFI


Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi ( 180 – 260 H / 796 – 873 M ) dilahirkan di Kufah. Ia memperoleh pendidikan masa kecilnya di Basra, tumbuh dewasa dan meninggal di Baghdad. Ayahnya, Ishak Ibn Ash-Shabah, adalah gubernur Basra pada masa pemerintahan khalifah Abbasiyah, Al-Hadi ( 785 – 786 M ) dan Harun Ar-Rasyid ( 786 – 809 M ). Di Baghdad, ia terlibat dalam gerakan penerjemah dan ia memiliki perpustakaan pribadi Al-Kindiyyah.

Jumlah karya tulis Al-Kindi sekitar 241 buah risalah, dalam lapangan filsafat, logika, psikologi , astronomi, kedokteran, kimia, matematika, politik, optik, dll.

Al-Kindi juga dijuliki sebagai filsuf Arab dan pernah memperoleh penghargaan tinggi dari khalifah Al-Mu’tasim. Di samping perlakuan baik, pernah juga ia diperlakukan secara buruk dari pihak-pihak yang iri kepadanya atau benci kepada filsafat, pada masa-masa sesudah khalifah Al-Mutawakkil.


A.  Filsafat Tuhan dan Alam

Sebagaimana halnya dengan filosof-filosof Yunani dan filosof-filosof Islam lainnya, Al-Kindi, selain dari filosfo, adalah juga ahli ilmu pengetahuan. Pengetahuan ia bagi ke dalam dua bagian :

1.      Pengetahuan ilahi (                      = Divine Science )

Sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur'an : yaitu pengetahuan langsung yang diperoleh Nabi dari Tuhan. Dasar pengetahuan ini ialah keyakinan.

2.      Pengetahuan manusiawi (                         = Human Science ) atau filsafat dasarnya ialah pemikiran ( rasio reason ). ( Harun Nasution, 1999 : 8 )

Falsafat baginya ialah pengetahuan tentang yang benar ( Knowledge of Truth ) dan falsafat yang paling tinggi ialah falsafat tentang Tuhan. Sebagaimana kata Al-Kindi :


“Filsafat yang termulia dan tertinggi derajatnya adalah filsafat utama, yaitu ilmu tentang yang benar pertama, yang menjadi sebab bagi segala yang benar”.

Kebenaran ialah bersesuaian apa yang ada dalam akal dengan apa yang ada diluar akal. dalam alam terdapat benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca indera. Benda-benda ini merupakan Juz’iyat (                        , Particulars ), yang penting bagi falsafat bukan juz’iyat yang terhingga banyaknya itu, tetapi yang penting ialah hakikat yang terdapat dalam juz’iyat itu, yaitu kulliyat                     (               , universal, definisi ) tiap-tiap benda mempunyai dua hakikat :

Ø  Hakikatnya sebagai juz’i (                          ) dan ini disebut              ( aniyah ).

Ø  Dan hakikatnya sebagai kulli (                ) dan ini disebut sebagai                    (                   ) yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus dan species.

Tuhan dalam falsafat Al-Kindi tidak mempunyai hakikat dalam arti aniyah atau mahiyah. Tidak aniyah karena Tuhan tidak masuk dalam benda-benda yang ada dalam alam. Bahkan ia adalah pencipta alam, ia tidak tersususn dari materi dan bentuk (                      ). Tuhan juga tidak mempunyai hakikat dalam bentuk mahiyah, karena Tuhan tidak merupakan genus atau species. Tuhan hanya satu, dan tidak ada yang serupa dengan Tuhan. Tuhan adalah unik, ia adalah                    ( yang benar pertama ) dan                     ( yang benar tunggal ), ia semata-mata satu. Hanya ialah yang satu, selain dari Tuhan semuanya mengandung arti banyak. ( Harun Nasution, 1999 : 9 ).

Salah satu argumen untuk menunjukkan adanya Tuhan berawal dari upaya untuk menunjukkan bahwa alam semesta ini mustahil tidak tebatas, baik dari segi besarnya maupun dari waktu. Sekiranya alam ini tak terbatas, minimal alam ini terbagi dua, maka pertanyaannya pun mengarah kepada besar dari masing bagian. Karena bagian harus lebih kecil dari pada keseluruhan, maka bagian pertama pun terbatas dan bagian kedua terbatas pula. Bila kedua bagian itu dijumlahkan ( disatukan ) berarti bagian yang terbatas ditambah dengan bagian yang terbatas, maka jumlahnya terbatas. Padahal semula telah diandaikan seluruh alam ini tak terbatas. ( Taufik Abdullah, 2002 : 180 ). Bila setiap bagiannya diandaikan tidak terbatas, suatu kemustahilan terjadi, karena bagian tidak mungkin sama besarnya dengan keseluruhan. Jadi alam semesta ini haruslah terbatas.

Hal-hal yang termuat dalam sesuatu yang terbatas adalah dengan sendirinya terbatas pula. Setiap sesuatu yang termuat dalam massa seperti kuantitas, atau tempat, atau gerak, atau waktu yang merupakan pemisah gerak itu, yaitu keseluruhan apa saja yang termuat dalam masa adalah terbatas ( terhingga ) pula, sebab masa adalah terhingga. ( Nurcholish Madjid, 1994 : 90 ).

Jadi massa keseluruhan alam adalah terbatas, dan setiap sesuatu yang termuat didalamnya itu dan seterusnya adalah demikian pula.

Hanya saja, bila massa keseluruhan alam bisa secara angan-angan ditambahi secara tak habis-habisnya dengan cara membayagnkan bahwa alam itu lebih besar dari pada yang ada, kemudian masih lebih besar laig secara tak berkesudahan – maka sebenarnya alam itu tah terhingga untuk bertambah-tambah demikian hanyalah dari sudut kemungkinan belaka. Jadi alam hanya secara potensial tak terbatas ( tak terhingga ), sebab potensi tidak lain ialah kemungkinan; kami maksudkan, bahwa berkenaan dengan sesuatu yang diistilahkan sebagai secara potensial itu, maka apa pun yang ada dalam sesuatu yang secara potensial tak terhingga itu adalah secara potensial tak terhingga pula.

Termasuk dalam hal diatas adalah gerak dan waktu. Sebab apa yang tak terhingga hanyalah ada secara potensial; sedangkan secara actual, tidak mungkin ada sesuatu yang tak terhingga.

Maka telah menjadi jelas bahwa tidak mungkin ada waktu secara actual yang tak terhingga. Waktu adalah waktu bagi massa keseluruhan alam; kami maksudkan, periode alam itu. Kalau waktu itu terhingga ( terbatas ) maka hakekat massa adalah terhingga pula. Sebab waktu itu tidak berwujud.

Tidak ada massa tanpa waktu, sebab waktu ialah tidak lain bilangan gerak, yakni bahwa waktu adalah periode yang terhitungkan oleh gerak, maka bila ada gerak, ada waktu; dan bila tidak ada gerak, tidak ada waktu. Setiap massa mempunyai periode, yang keadaan dimana massa itu suatu esensi, yakni keadaan yang padanya massa itu merupakan sesuatu. Massa tidak bisa mendahului gerak. Massa itu tidak bisa mendahului periode yang terhitungkan oleh gerak. Jadi massa, gerak dan waktu tidak bisa saling mendahuli dalam esensinya; semuanya itu ada secara bersamaan.

Argumen lain yang dikemukakan Al-Kindi dapat dirangkum sebagai berikut :

Sebenarnya fenomena-fenomena emopiris cukup jelas menunjukkan adanya pengaturan oleh pengatur awal, pengatur bagi setiap pengatur, pelaku bagi setiap pelaku, pengada bagi setiap pengada, dan sebab bagi setiap sebab. Kenyataan demikian hanya dapat di insafi oleh orang yang alat inderanya di sinari oleh akalnya. Tujuan dan sandarannya adalah kebenaran, dasar bagi kesimpulan dan keputusannya adalah kebenaran. Ia menjadikan akal sebagai penilai disisinya dalam setiap konflik batinnya. Sesungguhnya, kata Al-Kindi, ketertiban alam ini, baik susunannya, interaksinya, kaitan antara bagian dengan bagiannya, tunduknya suatu bagian pada bagian yang lain dan kekokohan strukturnya diatas landasan prinsip yang terbaik bagi proses menyatu, bercerai-berai, muncul dan lenyapnya sesuatu dalam alam ini. Semua adalah indikasi terbesar yang menunjukkan adanya pengaturan yang mantap dan kebijaksanaan yang kokoh dan dengan demikian tentulah ada pengatur yang Bijaksana, yaitu Allah SWT.

Tuhan adalah Yang Maha Esa dalam arti sesungguhnya, sedangkan esa-esa yang lain yang terdapat dalam alam, hanyalah dalam arti majazi ( metaforis ). Keesaan Tuhan tidak mengandung kejamakan, sedangkan esa-esa yang lain tidak sunyi dari kejamakan itu. ( Taufik Abdullah, 2002 : 181 ). Dalam menegakkan pahak keesaan Tuhan, Al-Kindi memustahilkan paham ketuhanan Trinitas ( Tiga Persona Tuhan Yang Maha Esa ). Tidak mungkin, katanya; Tuhan Yang Maha Esa memiliki tiga persona : Bapak, Anak dan Roh Kudus, karena itu berarti bahwa ketiga persona itu dan ada sifat khusus bagi setiap persona. Apa yang tersusun tidaklah abadi dan dengan demikian, menurut Al-Kindi, muntahil Tuhan itu Trinitas.




B.  Jiwa dan Hidup Sesudah Mati

Al-Kindi menulis bahwa jiwa manusia itu sederhana ( tidak tersusun ) tetapi mempunyai arti penting, sempurna dan mulai. Substansinya berasal dari substansi Tuhan seperti hubungan cahaya dengan matahari.

Menurut Al-Kindi, roh adalah lain dari badan dan mempunyai wujud sendiri. Perbedaan antara roh dan badan terletak pada argumen sebagai berikut : keadaan badan mempunyai Carnal Desire dan Passion. Roh menentang keinginan Carnal Desire dan Passion. ( Harun Nasution, 1999 : 10 ).

Dengan perantaraan rohlah manusia memperoleh pengetahuan yang sebenarnya. Ada dua macam pengetahuan : Pengetahuan Panca Indra dan Pengetahuan Akal. Pengetahuan panca indra hanya mengenai yang lahir-lahir saja. Dalam hal ini manusia dan binatang sama. Pengetahuan akal merupakan hakikat dan hanya dapat diperoleh oleh manusia tetapi dengan syarat ia harus melepaskan dirinya dari sifat binatang yang ada dalam tubuhnya.

Bila tujuan manusia di alam dunia ini hanya untuk mendapatkan kelezatan makan dan minum, niscaya tertutup jalan bagi potensi pikirnya untuk mengetahui hal-hal mulia, dan tidak mungkin baginya mencapai kualitas menyerupai Allah SWT. Potensi syahwat pada manusia dianalogikan oleh Al-Kindi sebagai babi, dan potensi marah dengan anjing, sedangkan potensi pikir dengan malaikat. Siapa yang dikuasai oleh salah satu dari ketiga sifat diatas maka tujuan hidupnya seperti yang di ilustrasikan di atas.

Bila Tuhan memiliki kebijaksanaan, kekuasaan, keadilan, kebaikan, keindahan dan kebenaran maka tidaklah mustahil bila manusia dapat merealisasikan sifat yang dimiliki oleh Tuhan, dalam batas kemampuannya sebagai manusia. ( Taufik Abdullah, 2002 : 182 ).

Keinginan badan yang ditinggalkan itu dapat mengakibatkan kebersihan roh dari noda kebendaan dan senantiasa berpikir tentang hakikat wujud dan akan menjadi suci.

Ilustrasi akan roh itu seperti halnya dengan cermin, bila roh itu kotor maka tidak dapat menerima pengetahuan yang dipancarkan oleh cahaya yang berasal dari Tuhan.

Roh bersifat kekal dan tidak hancur seperti hancurnya badan. Ia tidak hancur karena substansinya berasal dari substansi Tuhan. Selama roh berada dalam badan roh tidak memperoleh kesenangan yang sebenarnya dan pengetahuannya tidak akan setara dengan roh pada saat keluar dari jasad. Ketika setelah roh berderai dari jasad, roh itu baru mendapat kesenangan yang sebenarnya dalam bentuk pengetahuan yang lebih.

Setelah bercerai dengan badan, roh akan pergi ke Alam Kebenaran didalam lingkungan cahaya Tuhan, dekat dengan Tuhan dan dapat melihat Tuhan. Hanya roh yang sudah suci di dunia ini yang dapat pergi ke Alam Kebenaran itu. Roh yang masih kotor dan belum bersih pergi dahulu ke falak bulan. Setelah berhasil membersihkan diri di sana, barulah ia pindah ke falak Merkuri, dan demikianlah naik setingkat demi setingkat hingga ia akhrinya setelah benar-benar bersih, sampai ke Alam Akal dalam lingkungan cahaya Tuhan dan melihat Tuhan. ( Harun Nasution, 1999 : 12 ).

Intinya bahwa setiap jiwa, baik secara langsung maupun tidak, akan mengalami pengembaraan yang berarti penderitaan dan pensucian dahulu, baru akan memasuki alam ketuhanan dan menikmati kebahagiaan surgawi yang bersifat spiritual.

Jiwa mempunyai tiga daya : daya bernafsu ( appetitive ), daya pemarah           ( irascible ) dan daya berpikir ( cognitive facalty ). Daya berpikir itu disebut akal, yang menurut Al-Kindi ada tiga macam, yaitu akal yang bersifat potensial, akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi actual dan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas.

Akal yang bersfiat potensial tidak bisa mempunyai sfat aktual maka tidak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar. Akal yang menggerakkan dari luar itu, disebut oleh Al-Kindi sebagai akal yang selamanya dalam aktualitas. Akal inilah yang membuat akal yang bersifat potensial dalam roh manusia menjadi aktual. Akal inilah yang membuat akal yang merupakan akal pertama, selamanya dalam aktualitas, merupakan species dan genus, membuat akal potensial menjadi aktual berpikir, berbeda dengan akal potensial bagi Al-Kindi manusia disebut menjadi           ( akli ) jika ia telah mengetahui universal, jika ia telah memperoleh akal yang di luar itu.

Akal pertama ini bagi Al-Kindi mengandung arti banyak karena                   dia adalah universal. Dalam limpahan Yang Maha Esa, akal inilah yang                    pertama-tama merupakan yang banyak.


C.  Keadaan Yang Pertama ( Yang Esa )

Dalam istilah filsafat, yang dimaksud dengan istilah “Yang Esa” dari Plotinus ialah bahwa “IQ” menempati tingkatan tertinggi dari semua tingkatan wujud ini, yang dinamakannya “Yang Pertama” atau “Wujud Yang Tertingi”. Ia “Esa” dari segala segi, dalam hakikat maupun dalam gambaran pikiran kita, tidak ada pluralitas dalam zatnya. Karena keesaannya yang mutlak, maka ia tidak bisa dikatakan “akal” ( pikiran ) ataupun “ma’qul” ( yang dipikirkan ) karena sifat-sifat tersebut menimbulkan pluralitas, sekurang-kurangnya dalam pikiran. Ada “akal” berarti ada “ma’qul” dan ada ma’qul berarti ada “akal”, meskipun akal dan ma’qul itu zatnya sendiri juga yang satu itu, ia bukan jauhar, bukan pul aradl                  ( accident ), sebab kedua sifat ini tidak lepas satu sama lain, yang berrti juga menimbulkan pluralitas. ( Ahmad Hanafi, 1990 : 34 ).

Untuk mempertahankan keesaan Tuhan yang mutlak, maka Plotinus menjauhkannya dari segala pemikiran manusia yang bisa menimbulkan pluralitas, meskipun hanya dalam gambaran pikiran kita. Karena itu Plotinus mengatakan bahwa ia di luar wujud dan di luar akal pikiran ( tidak sama dengan yang ada dalam pikiran dan tidak bisa dipikirkan ). Meskipun Plotinus berusaha untuk tidak mensifati Tuhan dengan sifat-sifat yang bisa mempengaruhi keesaan-Nya namun ia sendiri mensifati Tuhan dengan sifat “kebaikan”, meskipun tidak dimasukkan bahwa sifat kebaikan itu berdiri sendiri, tetapi kebaikan itu adalah hakikat zat Tuhan sendiri. jadi zat dan kebaikan adalah satu kesatuan. Akan tetapi pensifatan ini tidak bisa mengelakkan yang diberi kebaikan.




BAB  III


S I M P U L A N



v  Al-Kindi membagi pengetahuan menjadi 2 kategori yaitu pengetahuan ilahi dan pengetahuan manusiawi.

v  Falsafat termulia ( menurut Al-Kindi ) adalah falsafat utama, yaitu ilmu yang menjadi sebab bagi segala yang benar.

v  Tuhan dalam falsafat Al-Kindi tidak mempunyai hakikat dalam arti aniyah atau mahiyah dan tidak merupakan genus dan species.

v  Keseluruhan alam adalah terbatas, besar dan terbatas zamanya; serta massa, gerak, dan waktu tidak bisa saling mendahului dalam essensinya.

v  Tiap-tiap benda mempunyai dua hakikat yaitu hakikat juz’i dan kulli.

v  Roh berasal dari substansi Tuhan dan jiwa manusia itu sederhana, mempunyai arti penting serta mulia.

v  Jiwa mempunyai tiga daya : daya bernafsu, pemarah dan berpikir.

v  Daya berpikir itu disebut akal, yang menurut Al-Kindi ada tiga macam yatiu akal potensial, akal yang keluar dari sifat potensial menjadi aktual dan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas.

v  Selain tiga macam tadi, ada satu lagi yaitu akal yang selamanya dalam aktualitas.

v  Yang Esa ( Plotinus ) adalah ia menempati tingkatan tertinggi.












DAFTAR  PUSTAKA



Abdullah, Taufik, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam”, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hove, 2002.

Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1990.

Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1978

Madjid, Nurcholish, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1994.