BAB I
PENDAHULUAN
Tuhan menciptakan manusia beserta kelebihannya (
akalnya ). Akal itu terkadang dapat membawa manusia ke dalam kesesatan apabila
tidak diimbangi dengan hubungan dengan Tuhan itu sendiri.
Pengembangan
daya berpikir manusia itu dapat mencapai titik terang, dengan kata lain dapat
menemukan “Dzat” Yang Esa. Di antaranya para filosof Islam seperti Al-Kindi,
Al-Ghazali, Al-Farabi, dll.
Dalam
pembahasan ini, kami mencoba meneropong tentang sekilas apa yang ada di dalam
Al-Kindi, beserta keserupaan pendapatnya dengan alam pikiran Barat ( Plotinus ).
BAB II
PEMBAHASAN
HISTORIOGRAFI
Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi ( 180 – 260 H /
796 – 873 M ) dilahirkan di Kufah. Ia memperoleh pendidikan masa kecilnya di Basra , tumbuh dewasa dan meninggal di Baghdad . Ayahnya, Ishak Ibn Ash-Shabah,
adalah gubernur Basra
pada masa pemerintahan khalifah Abbasiyah, Al-Hadi ( 785 – 786 M ) dan Harun
Ar-Rasyid ( 786 – 809 M ). Di Baghdad ,
ia terlibat dalam gerakan
penerjemah dan ia memiliki perpustakaan pribadi Al-Kindiyyah.
Jumlah karya tulis Al-Kindi sekitar 241 buah risalah,
dalam lapangan filsafat, logika, psikologi , astronomi, kedokteran, kimia,
matematika, politik, optik, dll.
Al-Kindi juga dijuliki sebagai filsuf Arab dan pernah memperoleh
penghargaan tinggi dari khalifah Al-Mu’tasim. Di samping perlakuan baik, pernah
juga ia diperlakukan secara buruk dari pihak-pihak yang iri kepadanya atau
benci kepada filsafat, pada masa-masa sesudah khalifah Al-Mutawakkil.
A. Filsafat Tuhan dan Alam
Sebagaimana halnya dengan filosof-filosof Yunani dan
filosof-filosof Islam lainnya, Al-Kindi, selain dari filosfo, adalah juga ahli
ilmu pengetahuan. Pengetahuan ia bagi ke dalam dua bagian :
1.
Pengetahuan ilahi ( = Divine Science )
Sebagaimana
yang tercantum dalam Al-Qur'an : yaitu pengetahuan langsung yang diperoleh Nabi
dari Tuhan. Dasar pengetahuan ini ialah keyakinan.
2.
Pengetahuan manusiawi ( = Human Science
) atau filsafat dasarnya ialah pemikiran ( rasio reason ). ( Harun Nasution,
1999 : 8 )
Falsafat baginya ialah pengetahuan tentang yang benar ( Knowledge
of Truth ) dan falsafat yang paling tinggi ialah falsafat tentang Tuhan.
Sebagaimana kata Al-Kindi :
“Filsafat yang termulia dan tertinggi derajatnya
adalah filsafat utama, yaitu ilmu tentang yang benar pertama, yang menjadi
sebab bagi segala yang benar”.
Kebenaran ialah bersesuaian apa yang ada dalam akal
dengan apa yang ada diluar akal. dalam alam terdapat benda-benda yang dapat
ditangkap dengan panca indera. Benda-benda ini merupakan Juz’iyat ( , Particulars ),
yang penting bagi falsafat bukan juz’iyat yang terhingga banyaknya itu, tetapi
yang penting ialah hakikat yang terdapat dalam juz’iyat itu, yaitu
kulliyat ( , universal, definisi )
tiap-tiap benda mempunyai dua hakikat :
Ø
Hakikatnya sebagai juz’i
( ) dan ini
disebut ( aniyah ).
Ø
Dan hakikatnya sebagai
kulli ( ) dan ini disebut
sebagai ( ) yaitu hakikat yang
bersifat universal dalam bentuk genus dan species.
Tuhan dalam falsafat Al-Kindi tidak mempunyai hakikat
dalam arti aniyah atau mahiyah. Tidak aniyah karena Tuhan tidak masuk dalam
benda-benda yang ada dalam alam. Bahkan ia adalah pencipta alam, ia tidak
tersususn dari materi dan bentuk ( ). Tuhan juga tidak
mempunyai hakikat dalam bentuk mahiyah, karena Tuhan tidak merupakan genus atau
species. Tuhan hanya satu, dan tidak ada yang serupa dengan Tuhan. Tuhan adalah
unik, ia adalah ( yang
benar pertama ) dan (
yang benar tunggal ), ia semata-mata satu. Hanya ialah yang satu, selain dari
Tuhan semuanya mengandung arti banyak. ( Harun Nasution, 1999 : 9 ).
Salah satu argumen untuk menunjukkan adanya Tuhan
berawal dari upaya untuk menunjukkan bahwa alam semesta ini mustahil tidak
tebatas, baik dari segi besarnya maupun dari waktu. Sekiranya alam ini tak
terbatas, minimal alam ini terbagi dua, maka pertanyaannya pun mengarah kepada
besar dari masing bagian. Karena bagian harus lebih kecil dari pada
keseluruhan, maka bagian pertama pun terbatas dan bagian kedua terbatas pula.
Bila kedua bagian itu dijumlahkan ( disatukan ) berarti bagian yang terbatas
ditambah dengan bagian yang terbatas, maka jumlahnya terbatas. Padahal semula
telah diandaikan seluruh alam ini tak terbatas. ( Taufik Abdullah, 2002 : 180
). Bila setiap bagiannya diandaikan tidak terbatas, suatu kemustahilan terjadi,
karena bagian tidak mungkin sama besarnya dengan keseluruhan. Jadi alam semesta
ini haruslah terbatas.
Hal-hal yang termuat dalam sesuatu yang terbatas adalah
dengan sendirinya terbatas pula. Setiap sesuatu yang termuat dalam massa seperti kuantitas,
atau tempat, atau gerak, atau waktu yang merupakan pemisah gerak itu, yaitu
keseluruhan apa saja yang termuat dalam masa adalah terbatas ( terhingga )
pula, sebab masa adalah terhingga. ( Nurcholish Madjid, 1994 : 90 ).
Jadi massa
keseluruhan alam adalah terbatas, dan setiap sesuatu yang termuat didalamnya
itu dan seterusnya adalah demikian pula.
Hanya saja, bila massa
keseluruhan alam bisa secara angan-angan ditambahi secara tak habis-habisnya
dengan cara membayagnkan bahwa alam itu lebih besar dari pada yang ada,
kemudian masih lebih besar laig secara tak berkesudahan – maka sebenarnya alam
itu tah terhingga untuk bertambah-tambah demikian hanyalah dari sudut
kemungkinan belaka. Jadi alam hanya secara potensial tak terbatas ( tak
terhingga ), sebab potensi tidak lain ialah kemungkinan; kami maksudkan, bahwa
berkenaan dengan sesuatu yang diistilahkan sebagai secara potensial itu, maka
apa pun yang ada dalam sesuatu yang secara potensial tak terhingga itu adalah
secara potensial tak terhingga pula.
Termasuk dalam hal diatas adalah gerak dan waktu. Sebab
apa yang tak terhingga hanyalah ada secara potensial; sedangkan secara actual,
tidak mungkin ada sesuatu yang tak terhingga.
Maka telah menjadi jelas bahwa tidak mungkin ada waktu
secara actual yang tak terhingga. Waktu adalah waktu bagi massa keseluruhan alam; kami maksudkan,
periode alam itu. Kalau waktu itu terhingga ( terbatas ) maka hakekat massa adalah terhingga
pula. Sebab waktu itu tidak berwujud.
Tidak ada massa
tanpa waktu, sebab waktu ialah tidak lain bilangan gerak, yakni bahwa waktu
adalah periode yang terhitungkan oleh gerak, maka bila ada gerak, ada waktu;
dan bila tidak ada gerak, tidak ada waktu. Setiap massa
mempunyai periode, yang keadaan dimana massa itu
suatu esensi, yakni keadaan yang padanya massa
itu merupakan sesuatu. Massa
tidak bisa mendahului gerak. Massa
itu tidak bisa mendahului periode yang terhitungkan oleh gerak. Jadi massa , gerak dan waktu
tidak bisa saling mendahuli dalam esensinya; semuanya itu ada secara bersamaan.
Argumen lain yang dikemukakan Al-Kindi dapat dirangkum
sebagai berikut :
Sebenarnya fenomena-fenomena emopiris cukup jelas
menunjukkan adanya pengaturan oleh pengatur awal, pengatur bagi setiap
pengatur, pelaku bagi setiap pelaku, pengada bagi setiap pengada, dan sebab
bagi setiap sebab. Kenyataan demikian hanya dapat di insafi oleh orang yang
alat inderanya di sinari oleh akalnya. Tujuan dan sandarannya adalah kebenaran,
dasar bagi kesimpulan dan keputusannya adalah kebenaran. Ia menjadikan akal
sebagai penilai disisinya dalam setiap konflik batinnya. Sesungguhnya, kata
Al-Kindi, ketertiban alam ini, baik susunannya, interaksinya, kaitan antara
bagian dengan bagiannya, tunduknya suatu bagian pada bagian yang lain dan
kekokohan strukturnya diatas landasan prinsip yang terbaik bagi proses menyatu,
bercerai-berai, muncul dan lenyapnya sesuatu dalam alam ini. Semua adalah
indikasi terbesar yang menunjukkan adanya pengaturan yang mantap dan
kebijaksanaan yang kokoh dan dengan demikian tentulah ada pengatur yang
Bijaksana, yaitu Allah SWT.
Tuhan adalah Yang Maha Esa dalam arti sesungguhnya,
sedangkan esa-esa yang lain yang terdapat dalam alam, hanyalah dalam arti
majazi ( metaforis ). Keesaan Tuhan tidak mengandung kejamakan, sedangkan
esa-esa yang lain tidak sunyi dari kejamakan itu. ( Taufik Abdullah, 2002 : 181
). Dalam menegakkan pahak keesaan Tuhan, Al-Kindi memustahilkan paham ketuhanan
Trinitas ( Tiga Persona Tuhan Yang Maha Esa ). Tidak mungkin, katanya; Tuhan
Yang Maha Esa memiliki tiga persona : Bapak, Anak dan Roh Kudus, karena itu berarti
bahwa ketiga persona itu dan ada sifat khusus bagi setiap persona. Apa yang
tersusun tidaklah abadi dan dengan demikian, menurut Al-Kindi, muntahil Tuhan
itu Trinitas.
B. Jiwa dan Hidup Sesudah Mati
Al-Kindi menulis bahwa jiwa manusia itu sederhana (
tidak tersusun ) tetapi mempunyai arti penting, sempurna dan mulai.
Substansinya berasal dari substansi Tuhan seperti hubungan cahaya dengan
matahari.
Menurut Al-Kindi, roh adalah lain dari badan dan
mempunyai wujud sendiri. Perbedaan antara roh dan badan terletak pada argumen
sebagai berikut : keadaan badan mempunyai Carnal Desire dan Passion.
Roh menentang keinginan Carnal Desire dan Passion. ( Harun
Nasution, 1999 : 10 ).
Dengan perantaraan rohlah manusia memperoleh pengetahuan
yang sebenarnya. Ada
dua macam pengetahuan : Pengetahuan Panca Indra dan Pengetahuan Akal.
Pengetahuan panca indra hanya mengenai yang lahir-lahir saja. Dalam hal ini
manusia dan binatang sama. Pengetahuan akal merupakan hakikat dan hanya dapat
diperoleh oleh manusia tetapi dengan syarat ia harus melepaskan dirinya dari
sifat binatang yang ada dalam tubuhnya.
Bila tujuan manusia di alam dunia ini hanya untuk
mendapatkan kelezatan makan dan minum, niscaya tertutup jalan bagi potensi
pikirnya untuk mengetahui hal-hal mulia, dan tidak mungkin baginya mencapai
kualitas menyerupai Allah SWT. Potensi syahwat pada manusia dianalogikan oleh
Al-Kindi sebagai babi, dan potensi marah dengan anjing, sedangkan potensi pikir
dengan malaikat. Siapa yang dikuasai oleh salah satu dari ketiga sifat diatas
maka tujuan hidupnya seperti yang di ilustrasikan di atas.
Bila Tuhan memiliki kebijaksanaan, kekuasaan, keadilan,
kebaikan, keindahan dan kebenaran maka tidaklah mustahil bila manusia dapat
merealisasikan sifat yang dimiliki oleh Tuhan, dalam batas kemampuannya sebagai
manusia. ( Taufik Abdullah, 2002 : 182 ).
Keinginan badan yang ditinggalkan itu dapat
mengakibatkan kebersihan roh dari noda kebendaan dan senantiasa berpikir
tentang hakikat wujud dan akan menjadi suci.
Ilustrasi akan roh itu seperti halnya dengan cermin,
bila roh itu kotor maka tidak dapat menerima pengetahuan yang dipancarkan oleh
cahaya yang berasal dari Tuhan.
Roh bersifat kekal dan tidak hancur seperti hancurnya
badan. Ia tidak hancur karena substansinya berasal dari substansi Tuhan. Selama
roh berada dalam badan roh tidak memperoleh kesenangan yang sebenarnya dan
pengetahuannya tidak akan setara dengan roh pada saat keluar dari jasad. Ketika
setelah roh berderai dari jasad, roh itu baru mendapat kesenangan yang
sebenarnya dalam bentuk pengetahuan yang lebih.
Setelah bercerai dengan badan, roh akan pergi ke Alam
Kebenaran didalam lingkungan cahaya Tuhan, dekat dengan Tuhan dan dapat melihat
Tuhan. Hanya roh yang sudah suci di dunia ini yang dapat pergi ke Alam
Kebenaran itu. Roh yang masih kotor dan belum bersih pergi dahulu ke falak
bulan. Setelah berhasil membersihkan diri di sana, barulah ia pindah ke falak
Merkuri, dan demikianlah naik setingkat demi setingkat hingga ia akhrinya
setelah benar-benar bersih, sampai ke Alam Akal dalam lingkungan cahaya Tuhan
dan melihat Tuhan. ( Harun Nasution, 1999 : 12 ).
Intinya bahwa setiap jiwa, baik secara langsung maupun
tidak, akan mengalami pengembaraan yang berarti penderitaan dan pensucian
dahulu, baru akan memasuki alam ketuhanan dan menikmati kebahagiaan surgawi
yang bersifat spiritual.
Jiwa mempunyai tiga daya : daya bernafsu ( appetitive
), daya pemarah ( irascible )
dan daya berpikir ( cognitive facalty ). Daya berpikir itu disebut akal,
yang menurut Al-Kindi ada tiga macam, yaitu akal yang bersifat potensial, akal
yang telah keluar dari sifat potensial menjadi actual dan akal yang telah
mencapai tingkat kedua dari aktualitas.
Akal yang bersfiat potensial tidak bisa mempunyai sfat
aktual maka tidak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar. Akal yang
menggerakkan dari luar itu, disebut oleh Al-Kindi sebagai akal yang selamanya
dalam aktualitas. Akal inilah yang membuat akal yang bersifat potensial dalam
roh manusia menjadi aktual. Akal inilah yang membuat akal yang merupakan akal
pertama, selamanya dalam aktualitas, merupakan species dan genus, membuat akal
potensial menjadi aktual berpikir, berbeda dengan akal potensial bagi Al-Kindi
manusia disebut menjadi ( akli
) jika ia telah mengetahui universal, jika ia telah memperoleh akal yang di
luar itu.
Akal pertama ini bagi Al-Kindi mengandung arti banyak
karena dia adalah
universal. Dalam limpahan Yang Maha Esa, akal inilah yang pertama-tama merupakan yang
banyak.
C. Keadaan Yang Pertama ( Yang Esa )
Dalam istilah filsafat, yang dimaksud dengan istilah
“Yang Esa” dari Plotinus ialah bahwa “IQ” menempati tingkatan tertinggi dari
semua tingkatan wujud ini, yang dinamakannya “Yang Pertama” atau “Wujud Yang
Tertingi”. Ia “Esa” dari segala segi, dalam hakikat maupun dalam gambaran
pikiran kita, tidak ada pluralitas dalam zatnya. Karena keesaannya yang mutlak,
maka ia tidak bisa dikatakan “akal” ( pikiran ) ataupun “ma’qul” ( yang
dipikirkan ) karena sifat-sifat tersebut menimbulkan pluralitas,
sekurang-kurangnya dalam pikiran. Ada “akal” berarti ada “ma’qul” dan ada
ma’qul berarti ada “akal”, meskipun akal dan ma’qul itu zatnya sendiri juga
yang satu itu, ia bukan jauhar, bukan pul aradl ( accident ), sebab kedua
sifat ini tidak lepas satu sama lain, yang berrti juga menimbulkan pluralitas.
( Ahmad Hanafi, 1990 : 34 ).
Untuk mempertahankan keesaan Tuhan yang mutlak, maka
Plotinus menjauhkannya dari segala pemikiran manusia yang bisa menimbulkan
pluralitas, meskipun hanya dalam gambaran pikiran kita. Karena itu Plotinus
mengatakan bahwa ia di luar wujud dan di luar akal pikiran ( tidak sama dengan
yang ada dalam pikiran dan tidak bisa dipikirkan ). Meskipun Plotinus berusaha
untuk tidak mensifati Tuhan dengan sifat-sifat yang bisa mempengaruhi
keesaan-Nya namun ia sendiri mensifati Tuhan dengan sifat “kebaikan”, meskipun
tidak dimasukkan bahwa sifat kebaikan itu berdiri sendiri, tetapi kebaikan itu
adalah hakikat zat Tuhan sendiri. jadi zat dan kebaikan adalah satu kesatuan. Akan
tetapi pensifatan ini tidak bisa mengelakkan yang diberi kebaikan.
BAB III
S I M P U L A N
v
Al-Kindi membagi
pengetahuan menjadi 2 kategori yaitu pengetahuan ilahi dan pengetahuan
manusiawi.
v
Falsafat termulia ( menurut
Al-Kindi ) adalah falsafat utama, yaitu ilmu yang menjadi sebab bagi segala
yang benar.
v
Tuhan dalam falsafat
Al-Kindi tidak mempunyai hakikat dalam arti aniyah atau mahiyah dan tidak
merupakan genus dan species.
v
Keseluruhan alam adalah
terbatas, besar dan terbatas zamanya; serta massa , gerak, dan waktu tidak bisa saling
mendahului dalam essensinya.
v
Tiap-tiap benda mempunyai
dua hakikat yaitu hakikat juz’i dan kulli.
v
Roh berasal dari substansi
Tuhan dan jiwa manusia itu sederhana, mempunyai arti penting serta mulia.
v
Jiwa mempunyai tiga daya :
daya bernafsu, pemarah dan berpikir.
v
Daya berpikir itu disebut
akal, yang menurut Al-Kindi ada tiga macam yatiu akal potensial, akal yang
keluar dari sifat potensial menjadi aktual dan akal yang telah mencapai tingkat
kedua dari aktualitas.
v
Selain tiga macam tadi, ada
satu lagi yaitu akal yang selamanya dalam aktualitas.
v
Yang Esa ( Plotinus )
adalah ia menempati tingkatan tertinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam”,
Jakarta ,
Ichtiar Baru Van Hove, 2002.
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta , Bulan Bintang,
1990.
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme Dalam
Islam, Jakarta ,
Bulan Bintang, 1978
Madjid, Nurcholish, Khazanah Intelektual Islam,
Jakarta , Bulan
Bintang, 1994.