A. BIOGRAFI IBN SINA
Nama lengkapnya Abu Ali Al-Husein Ibn Abdullah Ibn
Al-Hasan Ibn Ali Ibn Sina. Ia dilahirkan di desa Afsyanah, dekat Bukhara , Transotania
(Persia Utara) pada tahun 370 H (8 – 980 M). Ayahnya berasal dari kota Balakh kemudian pindah ke Bukhara
pada masa raja Nub Ibn Mashur dan diangkat oleh raja sebagai penguasa di Tehar
maitsah, satu wilayah dari kota Bukhara . Di kota ini ayahnya menikahi
Saffarah dan mendapat 3 orang anak ; Ali, Husein (Ibn Sina) dan Muhammad. [1]
Menurut sejarah hidupnya yang disusun oleh Jurjanji
salah seorang muridnya, semenjak kecil Ibn Sina telah banyak mempelajari
ilmu-ilmu pengetahuan yang ada pada zamannya. Seperti Fisika, Matematika,
kedokteran, Hukum, dll. Kecerdasan otaknya telah terlihat sejak kecil pada umur
10 tahun telah hafal Al-Qur'an, kitab metafisika aristoteles. Semenjak berumur
16 tahun ia sudah dikenal secara luas sebagai seorang dokter. Ia pernah
mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya.
Pada waktu usia 22 tahun, ayahnya meninggal dunia,
kemudian ia meninggalkan Bukhara
untuk menuju ke Jurjan, dan dari sini ia pergi ke Chawarazm. Di Jurnjan ia
mengajar dan mengarang, tetapi karena kekacauan politik, ia tidak lama tinggal
disitu. Kemudian ia pindah ke Rais, suatu kota
di sebelah Selatan Teheran, dan bekerja untuk ratu Saejidah dan anaknya Majd
Al-Dawlah. Ibn Sina pernah diangkat menjadi menteri pada pemerintahan Sultan
Syams Ad-Dawlah. Kemudian ia pergi ke Isfahan ,
dan meninggal di sana
tahun 428 / 1037 M dalam usia 57 tahun.[2]
B. GURU DAN MURID IBNU SINA
Adapun guru-guru Ibnu Sina antara lain adalah :
- Al-Zahid, seorang yang mengajari ilmu akhlak, fiqih dan tasawuf.
- Abu ‘Abdullah Al-Natili, seorang yang mengajari pokok ilmu logika.
- Abu Bakar Al-Kharizm, seorang sahabat karib ayahnya.
- Guru yang mempunyai andil secara tidak langsung adalah ARistoteles dan Al-Arabi.
Adapun murid Ibnu Sina adalah : Abu Ubaid Al-Jurjani.
C. SETTING SOSIAL
Ibnu Sina dilahirkan dalam masa kekacauan, dimana
khilafah abu abasiyah mengalami memunduran dan negara-negara yang mula-mula
berada di bawah kekuasaan khilafah tersebut mulai melepaskan diri satu per satu
untuk berdiri sendiri. Kota Bagdad sendiri, sebagai pusat pemerintahan Khilafah
Abbasiyah, dikuasai oleh golongan Ibnu Buwaih pada tahun 334 H dan kekuasaan
mereka berlangsung terus sampai tahun 447 H.[3]
Karena ia mempunyai ingatan dan kecerdasan yang luar
biasa sehingga dalam usia 10 tahun telah mampu menghafal Al-Qur'an, sebagian
besar sastra Arab, dan ia juga hafal kitab metafisika karangan Aristoteles setelah
dibacanya empat puluh kali, kendatipun ia belum memahaminya sampai memabca
ulasan Al-Farabi. Pada usia 16 tahun ia telah banyak menguasai ilmu
pengetahuan, sastra Arab, fikih, ilmu hitung, ilmu ukur, dan filafat. Bahkan,
ilmu kedokteran dipelajarinya sendiri.
Ibnu Sina merupakan satu diantara sasaran Al-Ghazali
dalam serangannya terhadap kaum filosof. Ibnu Sina semula memusatkan diri dalam
ilmu pengetahuan fisik hingga ia meraih penghargaan sebagai “Princes of
Physicians”, dan sebagai seorang yang penuh gairah dan keasyikan pola
kehidupan hidonistik yang seharusnya tidak memenuhi persyaratan sebagai
peneliti yang bersifat moralistik.[4]
Aspek yang banyak ilusrasinya dari kebesaran dan
kemasyhuran yang pasti dari Ibnu Sina adalah dari hasil studinya tentang kimia,
astronomi, dan kedokteran, tetapi karya falsafahnya adalah lebih kuat daya
tahannya dan mempunyai pengaruh yang berdasarkan dalam pemikiran muslim,
terutama dikalangan syi’ah. Faham-faham Ibnu Sina dalam falsafah besar sekali
pengaruhnya kepada orang-orang syiah, sebab itu tidak mengherankan kita,
kerajaan Iran
sangat besar hasratnya untuk melakukan peringatan atas 1000 tahun Ibnu Sina.
Gelar “As Syekh” pernah ia dapat, karena sangat aktif
berkemcimpung di dalam bidang ilmu pengetahuan dan falsafah. Juga gelar “Ra’is”
ia dapatkan karena beliau berkedudukan sebagai memberi aksi latin memberi gelar
kepada Ibnu Sina dalam bidang kedokteran yaitu menyebutkannya “Arabicum
Medicarium Principes”(Raja dokter-dokter Arab).[5]
D. KARYA-KARYANYA
Pada usia 29 tahun ia telah menghasilkan karya-karya
cemerlang, dan tidak heran kalau ia menghasilkan 267 karangan. Diantara
karya-karyanya yang terpenting adalah :
a.
Al-Syifa’, latinnya Suratio
(penyembuhan) ensiklopedi yang terdiri dari 18 jilid mengenai fisika, matematika,
dan metafisika. Kitab ini ditulis pada waktu menjadi Menteri Syamd Ad-Dawlah
dan selesai masa ‘Ala’u Al-Dawlah di Isfahan.
b.
Al-Najah, latinnya Salus
(penyelamat), keringkasan dari Al-Syifa’.
c.
Al-Isyanah wa Al-Tanbihah (isyarat
dan peringatan) mengenai logika dan hikmah.
d.
Al-Qonun fi Al-Tibb, Ensiklopedi
medis dan setelah diterjemahkan ke dalam bahasa latin menjadi buku pedoman pada
universitas-universitas di Eropa sampai abad XVII.
e.
Al-Hikmah Al-Arudhiyyah.
f.
Hidayah Al-Rais Al-Amir.
g.
Risalah Fi Al-Kalam Ala Al-Nafs
Al-Nathiqiyah, dan
h.
Al-manthiq Al-Masriqiyyin (logika
Timur).[6]
E. POKOK-POKOK PEMIKIRAN IBNU SINA TENTANG PENDIDIKAN
Pemikiran Ibnu Sina dalam bidang pendidikan antara lain
berkenaan dengan tujuan pendidikan, kurikulum, metode pengjaran, guru dan
pelaksanaan hukuman dalam pendidikan.
-
Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan harus
diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah
perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi
pekerti. Selain itu tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina harus diarahkan pada
upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup di masyarakat secara
bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai
dengan bakat, kesiapan, kecenderungan dan potensi yang dimilikinya.
Dengan demikian dalam
rumusan tujuan pendidikan yang dikemukakan Ibnu Sina itu sudah terkandung
strategi yang mendasar mengenai dasar dan fungsi pendidikan, yaitu bahwa
pendidikan yang diberikan kepada anak didik, selain harus dapat mengembangkan
potensi dan bakat dirinya secara optimal dan menyeluruh, juga harus mampu
menolong manusia agar eksis dalam melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di
masyarakat dengan suatu keahlian yang dapat diandalkan.
-
Kurikulum
Secara sederhana
istilah kurikulum digunakan untuk menunjukkan sejumlah mata pelajaran yang
harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar atau ijazah.
Konsep Ibnu Sina
tentang kurikulum didasarkan pada tingkat perkembangan usia anak didik. Konsep
kurikulum yang ditawarkan Ibnu Sina memiliki tiga ciri; Pertama, konsep
kurikulum Ibnu Sina tidak hanya terbatas pada sekedar menyusun sejumlah mata
pelajaran, melainkan juga disertai dengan penjelasan tentang tujuan dari mata
pelajaran tersebut, dan kapan mata pelajaran itu harus diajarkan.
Kedua, bahwa strategi
penyusunan kurikulum yang ditawarkan Ibnu Sina juga didasarkan pada pemikiran
yang bersifat pragmatis fungsional, yakni dengan melihat segi kegunaan dari
ilmu dan ketrampilan yang dipelajari dengan tuntutan masyarakat atau
berorientasi pasar (marketing oriented).
-
Metode Pengajaran
Metode pengajaran yang ditawarkan Ibnu Sina antara
lain metode talqin, demonstrasi, pembebasan dan teladan, diskusi, magang dan
penugasan.
-
Konsep Guru
Konsep guru yang
ditawarkan Ibnu Sina antara lain berkisar tentang guru yang baik. Dalam
hubungan ini Ibnu Sina mengatakan bahwa guru yang baik adalah guru yang berakal
cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akhlak, cakap dalam mendidik anak,
berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main dihadapan muridnya,
tidak bermuka masam, sopan santu, bersih dan suci murni.
-
Konsep Hukuman Dalam Pengajaran
Ibnu Sina membolehkan
pelaksanaan hukuman dengan cara yang ekstra hati-hati dan hal itu hanya boleh
dilakukan dalam keadaan terpaksa atau tidak normal. Sedangkan dalam keadaan
normal, hukuman tidak boleh dilakukan.[7]
DAFTAR PUSTAKA
-
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta :
Griya Media Pratama, 1999).
-
H.A. Mustofa, Filsfat Islam, (Bandung : CV.
Pustaka Setia, 1992).
-
Ahmad Hanafi, MA, Pengantar Filsafat Islam,
Cet. 6, (Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1996).
-
Cyril Classe, Ensiklopedia Islam, (Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada, 1999).
-
H. Zainal Abidin Ahmad, Negara Adil Makmur, (Jakarta : Bulan Bintang,
tt).
-
Dr. H. Abuddin Nata, MA, Pemikiran
Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada, 2001).
[1]
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta : Griya Media Pratama, 1999), hlm.
66-67.
[2]
H.A. Mustofa, Filsfat Islam, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 1992), hlm.
189.
[3]
Ahmad Hanafi, MA, Pengantar Filsafat Islam, Cet. 6, (Jakarta : PT. Bulan
Bintang, 1996), hlm. 115.
[4]
Cyril Classe, Ensiklopedia Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
1999), hlm. 155.
[5] H.
Zainal Abidin Ahmad, Negara Adil Makmur, (Jakarta : Bulan Bintang, tt), hlm. 271.
[6]
Hasyimsyah Nasution, Op.Cit, hlm. 68-69.
[7]
Dr. H. Abuddin Nata, MA, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian
Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm.67 – 79.