FILSAFAT DAN PRAKTEK PEN DIDIKAN MENURUT SYED MUHAMMAD NAQUIB AL ATTAS
Praktek Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib
Al-Attas
Syed Muhammad Naquib Al-Attas mungkin tidak banyak
dikenal dikalangan masyarakat awam indonesia, namun tidak bagi kalangan
akademisi yang pernah membaca karya-karyanya, khususnya yang telah
diterjemahkan kedalam bahasa indonesia. Seperti, Islam dan Sekularisme,
terbitan Pustaka Bandung. Islam dan Filsafat Sains, terbitan Mizan; atau
Konsep Pendidikan Islam, pasti mengenal Syed Naquib Al-Attas. Sosok Naquib
Al-Attas sebagai pemikir muslim adalah pemikir muslim terkemuka abad ini, yang
pemikirannya tidak dpat ditangkap hanya dari sekedar membaca bukunya namun yang
terpenting adalah gagasan islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, yang
dipelopori oleh isma’il al-faruqi. Gagasan ini merupakan titik kulminasi
beberapa pemikiran konseptualnya yang tertuang dalam karyanya, prolegomena
to the metaphysics of islam. Lebih menarik lagi, kepeduliannya terhadap
kemunduraan umat, diimplementasikan kedalam lembaga pendidikan bertaraf
internasional.
Untuk mengungkap pentingnya pendidikan, al-attas
dalam pendidikan islam memulai melalui pandangan metafisika yang dilanjutkan
dengan ilmu pengetahuan dan mengetahui. Menurut Al-Attas metafisika dalam islam
adalah tasawuf filosofis, yang merupakan suatu system yang terpadu yang secara
positif menerangkan hakikat realitas yang sebenarnya melalui penggabungan akal
dan pengalaman dengan tingkatan yang lebih tinggi, yang terdapat dalam dimensi
suprarasional dan transempirikal kesadaran manusia. Al-Attas juga menegaskan
bahwa tidak ada formulasi filsafat islam mengenai pendidikan dan ilmu
pengetahuan yang mengabaikan kontribusi ulama-ulama sufi dalam pengembangannya
yang berkaitan dengan hakikat realitas sejati. Pandangan dasar teologi dan
metafisika tasawuf berakar pada prinsip pokok sufi mengenai eksistensi (wujud).
Dan hal yang bertolak belakang dengan quiditas (mahiyah). Sedangkan ilmu
bagi al-attas adalah sesuatu yang sangat prinsipil khususnya dalam dunia
pendidikan. Al-Attas merupakan cendikiawan muslim kontemporer yang pertama kali
menyatakan bahwa ilmu pengetahuan tidak bebas nilai, artinya ilmu pengetahuan
tidak bersifat netral karena perbedaan budaya menyebabkan perbedaab pemahaman
terhadap ilmu itu sendiri, seperti perbedaan budaya islam dan barat, sehingga
tidak bisa dipertemukan karena perbedaan itu begitu mendalam.
Al-Attas selanjutnya mengatakan bahwa akar
permasalahan intelektual umat islam adalah kekeliruan dalam memaknai sejumlah
kata kunci menurut pandangan dunia dan sejarah islam seperti perkataan
pandangan dunia, agama, Allah Swt., ilmu pengetahuan, pendidikan, kebahagiaan,
keadilan, kebijaksanaan, perguruan tinggi, dan sebagainya. Oleh karena itu
Al-Attas untuk memahami kata-kata kunci tersebut dengan membagi definisi
menjadi dua kategori seperti ibn hazm dan Al-Ghazali, yaitu hadd atau definisi
dengan spesifikasi objek yang mebedakannya dengan yang lain dan yang kedua rasm
atau definisi yang bersifat menerangkan ciri-ciri utama bukan esensi suatu
objek. Konsep penting lainnya yang terdapat dalam definis, ilmu pengetahuan dan
filsafat pendidikan al-attas adalah kedatangan yaitu suatu proses yang suatu
pihak memerlukan mental yang aktif dan persiapan spiritual dan keridhaan Allah
Swt. Al-Attas sependapat dengan Fazlur Rahman dalam pencarian ilmu pengetahuan
namun ia berbeda dari Fazlur Rahman yang menganggap kreativitas sebagai ciri
esensial dalam ilmu pengetahuan modern.
Al-Attas juga menegaskan tentang tujuan pendidikan
menurut islam yaitu untuk menghasilkan manusia yang baik bukan warga Negara dan
pekerja yang baik. Al-Attas selanjutnya mengatakan bahwa tujuan pendidikan
adalah untuk memunculkan manusia yang peripurna atau insan kamil. Karena
menurut Al-Attas warga Negara dan pekerja yang baik dalam sebuah Negara yang
sekuler tidaklah sama dengan manusia yang baik; sebaliknya manusia yang baik
sudah pasti seorang pekerja dan warga Negara yang baik. Untuk mencapai itu
pendidikan menurut Al-Attas adalah penyemaian dan penanaman ada dalam diri
seseorang yang selanjutnya disebut ta’dib. Karena manusia yang baik
maksudnya adalah manusia yang memiliki adab. Al-Attas mengajukan agar istilah
pendidikan dalam islam tidak lagi tarbiyah atau ta’lim melainkan ta’dib.
Ia menolak istilah tarbiyah karena hanya menyinggung aspek fisikal dan
istilah ta’lim karena hanya terbatas pada pengajaran dan pendidikan kognitif.
Al-Attas tidak hanya menekankan pentingnya
pendidikan kontemporer, tetapi juga pendidikan yang menumbuhkan kesadaran diri
dan konservatif secara keagamaan tanpa mengabaikan watak preskriptif, praktis,
dan futuristik. Al-Attas menganggap universitas sebagai sebuah institusi yang
paling kritis, yang darinya akan bermula kebangkitan dan reformulasi pendidikan
dan epistemology. Penekanan terhadap pendidikan tinggi bukanlah cermin dari
kaum elitis yang feudal akan tetapi merupakan unterpretasi terhadap hikmah
ilahiah, yang menjadikan orang dewasa sebagai target utama misi semua nabi.
Karena ini merupakan karakteristik pokok masyarakat islam yang sudah
dikembangkan oleh para pemikir muslim sejak dahulu hingga adanya pengaruh
moderenitas. Penekanan terhadap pendidikan ini tidak ternilai baik secara
strategis maupun kutural. Sebab kualitas suatu Negara dilihat dari institusi
pendidikan tingginya.
Al-Attas lebih lanjut menjabarkan ide tentang
unversitas islam sebagai makrokosmos atau alam kecil dari jagat raya. Dimana ia
harus memerintah untuk dirinya sendiri sebagai mana pemerintah mengatur
negaranya. Sebuah universitas harusnya merupakan gambaran dari manusia
universal atau insan kamil. Pandangan Al-Attas ini bukan hanya
berdasarkan asas-asas ontologis, melainkan juga pada analisis istilah-istilah
penting yang digunakan dalam proses sejarah universitas. Istilah university diadopsi dari bahasa arab kullliyah,
maksudnya ilmu pengetahuan dan bagian spiritual dari akal adalah sesuatu yang
universal (kulliyat). Dan pembagian anatomi kemanusian faculty
oleh pelbagai universitas adalah terjemahan dari istilah quwwah yang
merujuk pada kekuatan yang inheren dari dalam organ tubuh.
Lebih lanjut ide uneversitas islam juga didukung
dengan kurikulum ilmu pengetahuan secara hierarki. Ia membagi hierarki ilmu
pengetahuan menjadi dua fardu a’in dan fardu kifayah. Fardu
a’in berisikan ilmu-ilmu agama dan fardu kifayah berisikan ilmu-ilmu
umum. Seperti yang dilakukan oleh pondok-pondok pesantren modern secara
filosofis seluruh pondok pesantren bersifat tafaqquh fid din yang artinya
mengkhususkan pemahaman terhadap ilmu agama. Dalam pesantren modern ilmu-ilmu
agama ini yang terkandung dalam kitab klasik disederhanakan dalam bentuk
kurikulum sehingga bersifat madras dan menambahkannya dengan ilmu umum sehingga
santri yang belajar didalamnya dapat menguasai ilmu umum dan ilmu agama secara
intergral dan tidak terpisah.