Islamisasi ilmu pengetahuan (islamization of
knowledge) merupakan sebuah ide atau gagasan yang muncul pada sekitar awal
tahun 80-an. Ide atau gagasan ini pertama kali dicetuskan oleh Syed Naquib
al-Attas dan dipopulerkan oleh Ismail R. al-Faruqi. Dalam makalah ini, penulis
akan mencoba mengeksplorasi pandangan kedua tokoh tersebut dalam kaitannya
dengan gagasan islamisasi ilmu pengetahuan. Secara garis besarnya, makalah ini
akan mencoba untuk melihat konsep islamisasi pengetahuan dalam pandangan Syed
Naquib al-Attas dan Ismail R. al-Faruqi dari sisi-sisi yang meliputi latar
belakang munculnya gagasan islamisasi, mafhum islamisasi dan langkah-langkah
yang ditempuh dalam proses islamisasi. Dari ketiga poin ini, maka akan
diketahui aspek kesamaan dan perbedaan sekaligus karakteristik gagasan
islamisasi ilmu pengetahuan menurut kedua tokoh tersebut.
Keywords: Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Syed M. Naquib
al-Attas, Ismail R. al-Faruqi, Dikotomisme, Tauhid.
Pendahuluan
Islamisasi merupakan sebuah karkter dan
identitas Islam sebagai pandangan hidup (worldview)[2] yang di dalamnya terdapat pandangan integral
terhadap konsep ilmu (epistemology) dan konsep Tuhan (theology).
Bahkan bukan hanya itu, Islam adalah agama yang memiliki pandangan yang
fundamental tentang Tuhan, kehidupan, manusia, alam semesta, dan lain
sebagainya. Oleh sebab itu, Islam adalah agama sekaligus peradaban.[3]
Secara historis, ide atau gagasan islamisasi ilmu
pengetahuan muncul pada saat diselenggarakan konferensi dunia yang pertama
tentang pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977. Konferensi yang diprakarsai
oleh King Abdul Aziz University ini berhasil membahas 150 makalah yang ditulis
oleh sarjana-sarjana dari 40 negara, dan merumuskan rekomendasi untuk
pembenahan serta penyempurnaan sistem pendidikan Islam yang diselenggarakan
oleh umat Islam seluruh dunia. Salah satu gagasan yang direkomendasikan adalah
menyangkut islamisasi ilmu pengetahuan. Gagasan ini antara lain dilontarkan
oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam makalahnya yang berjudul “ Preliminary
Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and the Aims of
Education, dan Ismail Raji al- Faruqi dalam makalahnya “Islamicizing
social science.”[4]
Dari kedua makalah ini kemudian gagasan tentang
islamisasi ilmu pengetahuan menjadi tersebar luas ke masyarakat muslim dunia.
Pihak pro maupun kontra-pun bermunculan. Diantara tokoh yang mendukung “pro”
terhadap proyek islamisasi tersebut antara lain adalah Seyyed Hossein Nasr
(1933), Ziauddin Sardar (1951) dan beberapa tokoh lain yang menolak adanya
westernisasi ilmu.[5] Sedangkan pihak yang menentang “kontra”
terhadap gagasan islamisasi ini yaitu beberapa pemikir muslim kontemporer
seperti Fazlur Rahman, Muhsin Mahdi, Abdus Salam, Abdul Karim Soroush dan
Bassam Tibi. Mereka bukan hanya menolak akan tetapi juga mengkritik gagasan
islamisasi ilmu pengetahuan. Sebagaimana Fazlur Rahman, misalnya, dia
berpendapat bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa diislamkan karena tidak ada yang
salah di dalam ilmu pengetahuan. Masalahnya hanya dalam penggunaannya. Menurut
Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan memiliki dua kualitas. Dia kemudian
mencontohkan seperti halnya “senjata bermata dua” yang harus digunakan dengan
hati-hati dan bertanggung-jawab sekaligus sangat penting menggunakannya secara
benar ketika memperolehnya.[6]
Melihat dari pro kontra inilah kemudian diskursus
mengenai islamisasi menjadi sesuatu hal yang menarik. Dan makalah ini
setidaknya akan menjadi sebuah ‘‘bentuk penilaian’’ bagi para
pembaca khususnya para akademisi muslim yang terlibat di dunia pemikiran, dalam
melihat ide atau gagasan islamisasi ini. Karena dengan memahami tentang konsep
yang digagas oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dan dipopulerkan oleh Ismail
Raji al- Faruqi tentang islamisasi yang ditulis dalam makalah ini, maka
diharapkan para pembaca akan dapat mengambil gambaran secara umum tentang
konsep islamisasi yang dibawa oleh kedua tokoh tersebut dan dapat memberikan penilaian
sendiri terhadapnya.
Sekilas Biografi Tokoh
Syed Muhammad Naquib bin Ali bin Abdullah bin Muhsin
bin Muhammad al-Attas lahir pada tanggal 5 September 1931 di Bogor, Jawa Barat,
Indonesia. Silsilah resmi keluarga Naquib al-Attas yang terdapat dalam koleksi
pribadinya menunjukkan bahwa beliau merupakan keturunan ke 37 dari Nabi
Muhammad SAW.[7]
Secara umum, pendidikan al-Attas bermula di Sukabumi
(Indonesia) dan Johor Baru (Malaysia). Setamat dari situ al-Attas masuk militer
di Inggris, kemudian kuliah di Universitas Malaya (UM) di Singapura. Untuk
selanjutnya al-Attas melanjutkan studinya hingga memperoleh gelar M.A dan Ph.D,
masing-masing dari McGill University, Montreal di Canada dan University of
London di Inggris, dengan fokus kajian pada teologi dan metafisika alam. Ketika
masih mengambil program S1 di Universitas Malaya, al- Attas telah menulis dua
buah buku. Buku pertama adalah “Rangkaian Rubaiyat.” Buku ini termasuk
di antara karya sastra pertama yang dicetak oleh Dewan Bahasa dan Pustaka,
Kuala Lumpur, pada tahun 1959. Sedangkan buku kedua yang sekarang menjadi karya
klasik adalah “Some Aspects of Sufism as Understood and Practiced among the
Malays”, yang diterbitkan oleh lembaga penelitian sosiologi Malaysia pada
tahun 1963. Sedemikian berharganya buku yang kedua ini, pemerintah Kanada
melalui “Canada Counsel Fellowship” memberinya beasiswa untuk belajar di
Institute of Islamic Studies, Universitas McGill, Montreal yang didirikan oleh
Wilfred Cantwell Smith. Di universitas inilah al-Attas berkenalan dengan
beberapa orang sarjana ternama seperti Sir Hamilton Gibb (Inggris), Fazlur
Rahman (Pakistan), Toshihiko Izutsu (Jepang), dan Sayyed Hossein Nashr (Iran).[8]
Pada tahun 1962, al-Attas mendapat gelar M.A. dengan
tesis yang berjudul “Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh.”
Dan selama kurang lebih dua tahun (1963-1965) atas bimbingan Prof. Martin
Lings, al-Attas menyelesaikan perkuliahan dan meraih gelar Ph.D (Philosophy
Doctor) dalam bidang filsafat Islam dan kesusastraan Melayu Islam dengan
mempertahankan disertasi yang berjudul Mistisisme Hamzah Fansuri dengan
predikat cumlaude. Disertasi tersebut telah dibukukan dengan judul “Mysticism
of Hamzah Fansuri”.[9]
Dalam perjalanan karir akademiknya, al-Attas mengawali
karirnya dengan menjadi seorang dosen. Dia banyak membina perguruan tinggi dan
ikut berpartisipasi dalam pendirian universitas di Malaysia, baik sebagai ketua
jurusan, dekan, direktur dan rektor. Pada tahun 1968-1970 al-Attas menjabat
sebagai ketua Departemen Kesusastraan dalam Pengkajian Melayu. al-Attas
merancang dasar bahasa Malaysia pada tahun 1970. Dan pada tahun 1970-1973
al-Attas menjabat Dekan pada Fakultas Sastra di universitas tersebut. Akhirnya
pada tanggal 24 januari 1972 dia diangkat menjadi Profesor Bahasa dan
Kesusastraan Melayu, dalam pengukuhannya dia membacakan pidato ilmiah yang
berjudul Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu.[10]
Al-Attas telah menulis sekitar 26 buku dan monograf
dalam bahasa Inggris dan Melayu, banyak dari buku dan monograf itu yang telah
diterjemahkan ke bahasa lain seperti bahasa Arab, Persia, Turki, Urdu,
Malayalam, Indonesia, Perancis, Jerman, Rusia, Bosnia, Jepang, India, Korea dan
Albania. Berikut adalah karyakaryanya yang telah diterbitkan diantaranya yaitu:
Rangkaian Rubaiyat, Some Aspects of Sufism as Understood and Practiced Among
the Malays, Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh, The Mysticism of
Hamzah Fansuri, Risalah Untuk Kaum Muslimin, Islam and Secularism, The Concept
of Education in Islam, A Commentary on the Hujjat al Siddiq of Nur al Din al
Raniri, Islam and the Philosophy of Science, Prolegomena to the Metaphysics of
Islam: an Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam,
dan lainnya.[11]
Adapun Ismail R. al-Faruqi lahir di Yaifa (Palestina)
pada tanggal 1 Januari 1921 dan meninggal dunia pada tanggal 24 Mei 1986.[12] Pendidikan dasarnya dilalui di College Des
Frese, Libanon sejak 1926 sampai 1936. Kemudian dia memperoleh gelar BA-nya
pada tahun 1941 di The American University, Beirut.[13] Sedangkan gelar masternya diraih di Indiana
dan pada tahun 1952 dia mencapai gelar doktoral (Phd.) dari Universitas
Indiana, Harvard. Meskipun al-Faruqi berhasil menyelesaikan gelar doktoral
dalam filsafat Barat, dikarenakan langkanya kesempatan kerja dan juga dorongan
batin, membawanya kembali ke akar dan warisan kecendekiawanan islamnya. Dia
meninggalkan Amerika menuju Kairo.
Ismail R. al-Faruqi memulai karir profesionalnya
sebagai guru besar sudi Islam pada Institut Pusat Riset Islam di Karachi dari
tahun 1961 sampai 1963. Selama setahun berikutnya setelah dia kembali ke
Amerika, al-Faruqi menjadi guru besar tamu dalam bidang sejarah agama di
Universitas Chicago. Pada tahun 1964, al-Faruqi memperoleh posisi permanen
penuh pertamanya sebagai guru besar luar biasa di Jurusan Agama pada
Universitas Syracuse. Dia akhirnya pindah ke Universitas Temple pada tahun 1968
untuk menjadi guru besar studi Islam dan sejarah agama. Ini adalah posisi yang
didudukinya sampai dia wafat pada tahun 1986.[14] Selain mengajar, al-Faruqi juga
mendirikan International Institute of Islamic Thought (IIIT) pada 1980
di Amerika Serikat, sebagai bentuk nyata gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
Kini lembaga tersebut memiliki banyak cabang di berbagai Negara, termasuk di
Indonesia dan Malaysia. Sebelumnya pada tahun 1972, al-Faruqi telah mendirikan The
Association of Muslim Social Scientist. Kedua lembaga yang didirikannya itu
menerbitkan jurnal Amerika tentang Ilmu-ilmu sosial Islam.
Selama hidupnya, al-Faruqi telah menulis banyak
tulisan, baik di majalah ilmiah maupun populer, dan juga buku. Lebih dari dua
puluh buku dalam berbagai bahasa telah ditulisnya, dan tidak kurang dari
seratus artikel telah dipublikasikan. Seluruh tulisannya pada dasarnya adalah
gagasan- gagasan cerah dan teorinya untuk memperjuangkan proyek integrasi ilmu,
yang dikemas dalam bingkai besar islamisasi ilmu pengetahuan. Beberapa karyanya
adalah sebagai berikut: Christian Ethics: A Systematic and Historical
Analysis of Its Dominant Ideas, The Great Asian Religions, Historical Atlas of
the Religions of the World, Sources of slamic Thought: Three Epistles on
Tawhid by Muhammad ibn ‘Abd al Wahhab, Islam and Culture, Islamic
Thought and Culture, Islamization of Knowledge, Tawhid: Its Implications
For Thought And Life dan lainnya. Beberapa karya penting Ismail Raji
al-Faruqi sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pemikiran-pemikirannya
dapat diamati dari karyakaryanya tersebut. Pemikiran-pemikirannya tentang Islam
dianggap mempunyai nilai penting, karena selain perhatiannya atas dunia dan
umat Islam juga yang terpenting adalah pembelaan atas umat Islam sungguh luar
biasa. Sehingga sepintas tergolong tokoh-tokoh yang berhaluan keras dalam
menanggapi pemikiran-pemikiran berbeda mengenai Islam.[15]
Untuk lebih jelas mengenai pemikiran kedua tokoh ini
tentang islamisasi ilmu pengetahuan, penulis di sini akan membagi konsep
islamisasi dalam pandangan Syed Naquib al-Attas dan Ismail R. al-Faruqi melalui
tiga garis besar yaitu: latar belakang munculnya gagasan islamisasi, mafhum
islamisasi dan langkah-langkah yang ditempuh dalam islamisasi.
A. Latar Belakang Gagasan Islamisasi
Gagasan al-Attas tentang islamisasi ilmu pengetahuan
muncul karena tidak adanya landasan pengatahuan yang bersifat netral, sehingga
ilmu pun tidak dapat berdiri bebas nilai. Menurutnya, ilmu tidaklah bebas nilai
(value-free) akan tetapi syarat nilai (value laden).[16] Pengetahuan dan ilmu yang tersebar sampai ke
tengah masyarakat dunia, termasuk masyarakat Islam, telah diwarnai corak budaya
dan peradaban Barat. Apa yang dirumuskan dan disebarkan adalah pengetahuan yang
dituangi dengan watak dan kepribadian peradaban Barat. Pengetahuan yang
disajikan dan dibawakan itu berupa pengetahuan yang semu yang dilebur secara
halus dengan yang sejati (the real) sehingga manusia yang mengambilnya
dengan tidak sadar seakan-akan menerima pengetahuan yang sejati. Karena itu,
al-Attas memandang bahwa peradaban Barat tidak layak untuk dikonsumsi sebelum
diseleksi terlebih dahulu.[17]
Menurut al-Attas, pengetahuan Barat telah membawa
kebingungan (confusion) dan skeptisisme (skepticism). Barat telah
mengangkat sesuatu hal yang masih dalam keraguan dan dugaan ke derajat ilmiah
dalam hal metodologi. Peradaban Barat juga memandang keragu-raguan sebagai
suatu sarana epistimologis yang cukup baik dan istimewa untuk mengejar
kebenaran. Tidak hanya itu, pengetahuan Barat juga telah membawa kekacauan pada
tiga kerajaan alam yaitu hewan, nabati dan mineral.[18]
Padahal sejatinya, Islam telah memberi kontribusi yang
sangat berharga pada peradaban Barat dalam bidang pengetahuan dan menanamkan semangat
rasional serta ilmiah, meski diakui bahwa sumber asalnya juga berasal dari
Barat sendiri, yakni dari para filosof Yunani. Namun berkat kegigihan usaha
para sarjana dan cendekiawan muslim di masa klasik, warisan yunani tersebut
dapat digali dan dikembangkan. Bahkan, pengetahuan-pengetahuan telah
diaplikasikan untuk kesejahteraan umat manusia, setelah dilakukan usaha-usaha
secara ilmiah melalui penelitian dan percobaan. Barat mengambil alih
pengetahuan dan ilmu tersebut dari dunia Islam. Pengetahuan dan semangat
rasional serta semangat ilmiah tersebut dibentuk dan dikemas kembali untuk
disesuaikan dengan kebudayaan Barat sehingga lebur dan terpadu dalam suatu
dualisme menurut pandangan hidup (worldview) dan nilai-nilai kebudayaan
serta peradaban Barat. Menurut al-Attas, dualisme tidak mungkin diselaraskan
karena terbentuk dari ide-ide, nilai-nilai, kebudayaan, keyakinan, filsafat,
agama, doktrin, dan teologi yang bertentangan.[19]
Kebenaran dan realitas dalam pandangan Barat tidak
diformulasikan atas dasar pengetahuan wahyu dan keyakinan, melainkan atas
tradisi budaya didukung dengan premis-premis filosofis yang didasarkan pada
spekulasi atau perenungan-perenungan, terutama yang berkaitan dengan kehidupan
duniawi yang berpusat pada manusia (antropomorfisme), sebagai makhluk
fisik dan sekaligus sebagai makhluk rasional. Perenungan filsafat tidak akan
menghasilkan suatu keyakinan sebagaimana yang diperoleh dari pengetahuan wahyu
yang dipahami dan dipraktikkan dalam Islam. Karena itu, pengetahuan dan
nilai-nilai yang mendasari pandangan hidup (worldview) dan mengarahkan
kepada kehidupan Barat menjadi tergantung pada peninjauan (review) dan
perubahan (change) yang tetap.[20]
Sedangkan pandangan hidup dalam Islam, menurut
al-Attas, adalah visi mengenai realitas dan kebenaran (the vision of reality
and turth). Realitas dan kebenaran dalam Islam bukanlah semata-mata fikiran
tentang alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik dan
budaya sebagaimana yang ada di dalam konsep Barat sekuler mengenai dunia, yang
dibatasi kepada dunia yang dapat dilihat. Akan tetapi realitas dan kebenaran
dalam Islam dimaknai berdasarkan kajian metafisis terhadap dunia yang nampak
dan tidak nampak. Pandangan hidup Islam tidak berdasarkan kepada metode
dikotomis seperti obyektif dan subyektif, historis dan normatif. Namun,
realitas dan kebenaran dipahami dengan metode yang menyatukan (tauhid).
Pandangan hidup Islam bersumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan
intuisi. Substansi agama seperti keimanan dan pengalamannya, ibadahnya,
doktrinnya serta sistem teologinya telah ada dalam wahyu dan dijelaskan oleh
Nabi.[21]
Dengan demikian, sangat jauh berbeda antara pandangan
hidup (worldview) yang dibawa oleh Barat dari nilai-nilai keislaman (al-qiyam
al-islamiyah). Karena Barat mendasarkan segala sesuatunya dengan
kecenderungan pada dikotomisme[22] sedangkan Islam pada konsep tauhid. Dari
situlah kemudian al-Attas mencoba untuk menggagas sebuah konsep islamisasi yang
diharapkan dari konsep ini akan meng-counter peradaban Barat yang sekuler.[23]
Sedangkan alasan yang melatarbelakangi perlunya
islamisasi dalam pandangan al-Faruqi adalah bahwa umat Islam saat ini berada dalam
keadaan yang lemah. Kemerosotan muslim dewasa ini telah menjadikan Islam berada
pada zaman kemunduran. Kondisi yang demikian menyebabkan meluasnya kebodohan.
Di kalangan kaum muslimin berkembang buta huruf, kebodohan, dan tahayul.
Akibatnya, umat Islam lari kepada keyakinan yang buta, bersandar kepada
literalisme dan legalisme, atau menyerahkan diri kepada pemimpin-pemimpin atau
tokoh-tokoh mereka. Dan meninggalkan dinamika ijtihad sebagai suatu sumber
kreativitas yang semestinya dipertahankan.[24] Zaman kemunduran umat Islam dalam berbagai
bidang kehidupan telah menempatkan umat Islam berada di anak tangga
bangsa-bangsa terbawah.[25] Dalam kondisi seperti ini masyarakat muslim
melihat kemajuan Barat sebagai sesuatu yang mengagumkan. Hal ini menyebabkan
sebagian kaum muslimin tergoda oleh kemajuan Barat dan berupaya melakukan
reformasi dengan jalan westernisasi. Ternyata jalan yang ditempuh melalui jalan
westernisasi telah menghancurkan umat Islam sendiri dari ajaran al-Qur’an dan
hadis. Sebab berbagai pandangan dari Barat, diterima umat Islam tanpa dibarengi
dengan adanya filter.[26]
Persoalan westernisasi akhirnya telah merembes ke
persoalan bidang akademik. Banyak generasi muda muslim yang berpendidikan Barat
bahkan telah memperkuat westernisasi dan sekulerisasi di lingkungan perguruan
tinggi. Meskipun kaum muslimin sudah memakai sistem pendidikan sekuler Barat.
Baik kaum muslimin di lingkungan universitas maupun cendekiawan, tidak mampu
menghasilkan sesuatu yang sebanding dengan kreativitas dan kehebatan Barat. Hal
ini disebabkan karena dunia Islam tidak memiliki ruh wawasan vertikal yaitu
wawasan Islam.[27] Gejala tersebut dirasakan al-Faruqi sebagai
apa yang disebut dengan “the lack of vision”. Kehilangan yang jelas
tentang sesuatu yang harus diperjuangkan sampai berhasil.[28]
Walaupun dalam aspek-aspek tertentu kemajuan Barat
ikut memberi andil positif bagi umat, namun al-Faruqi melihat bahwa kemajuan
yang dicapai umat Islam bukan sebagai kemajuan yang dikehendaki oleh ajaran
agamanya. Kemajuan yang mereka capai, hanya merupakan kemajuan semu. Di satu
pihak umat Islam telah berkenalan dengan peradaban Barat, tetapi di pihak lain
mereka kehilangan pijakan yang kokoh, yaitu pedoman hidup yang bersumber moral
agama. Dari fenomena ini, al-Faruqi melihat kenyataan bahwa umat Islam seakan
berada di persimpangan jalan. Sulit untuk menentukan pilihan arah yang tepat.
Karenanya, umat Islam akhirnya terkesan mengambil sikap mendua, antara tradisi
keislaman dan nilai-nilai peradaban Barat. Pandangan dualisme yang demikian ini
menjadi penyebab dari kemunduran yang dialami umat Islam. Bahkan sudah mencapai
tingkat serius dan mengkhawatirkan yang disebutnya sebagai “malaisme”.
Menurut al-Faruqi, sebagai efek dari “malaisme” yang di hadapi umat Islam
sebagai bangsa-bangsa di anak tangga terbawah, mengakibatkan timbulnya dualisme
dalam sistem pendidikan Islam dan kehidupan umat. Proses westernisasi pasca
penjajahan Barat, terjadi di hampir seluruh negara muslim. Dan bisa dikatakan
hal itu telah menghancurkan umat Islam dari ajaran al Qur’an dan Hadits. Dengan
adanya westernisasi, berbagai pandangan hidup Barat diterima umat Islam tanpa
filter. Akibatnya umat Islam dewasa ini menjadi terbingungkan (confused).
Keadaan tersebut menyebabkan keadaan kultur integritas Islam terpecah, baik
dalam aspek pemikiran maupun perbuatan.[29]
Dari situlah kemudian al-Faruqi berkeyakinan bahwa
sebagai prasyarat untuk menghilangkan dualisme tersebut dan sekaligus mencari
jalan keluar dari “malaisme” yang dihadapi umat, maka pengetahuan harus
diislamisasikan atau diadakan asimilasi pengetahuan agar serasi dengan ajaran
tauhid dan ajaran Islam.[30]
Jika melihat kedua alasan atau latar belakang perlunya
islamisasi menurut kedua tokoh ini, maka akan terlihat adanya kesamaan
pemikiran yaitu bahwa peradaban yang dibawa oleh Barat adalah peradaban yang
menjunjung tinggi nilai dikotomisme. Dan nilai ini tentunya bertentangan dengan
nilai yang ada dalam islam yaitu tauhid. Hanya saja perbedaan kedua tokoh
tersebut terlihat dalam segi “analisa”. Jika al-Attas melihat dan
menganalisa permasalahan yang muncul di dunia Islam sekarang ini adalah
pengaruh eksternal (luar Islam) yang datang dari Barat sedangkan al-Faruqi
melihatnya dari masalah internal (tubuh umat Islam) itu sendiri.
B. Mafhum Islamisasi
Secara umum, istilah Islamisasi adalah
membawa sesuatu ke dalam Islam[31] atau membuatnya dan menjadikannya Islam.
Definisi ini bukan berarti Islam tidak bersifat universal, tapi lebih berarti
bahwa di luar Islam ada berbagai macam hal yang jauh dari nilai-nilai Islam.
Dari sini justru istilah Islamisasi merupakan gambaran universal sebagai
langkah atau suatu usaha untuk memahamkan sesuatu dengan kerangka Islam (Islamic
framework) dengan memasukkan suatu pemahaman Islam. Untuk itu, pemahaman
atau sesuatu yang jauh dari nilai Islam tersebut ketika masuk dalam wilayah
Islam dibutuhkan adanya upaya yang disebut sebagai Islamisasi.
Bagi al-Attas, pendefinisian Islamisasi ilmu lahir
dari idenya terhadap Islamisasi sacara mum. Yaitu Islamisasi, menurut al-Attas
secara umum adalah pembebasan manusia dari tradisi magis (magical),
mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural (national
cultural tradition), dan paham sekuler (secularism). [32]
Al-Attas juga memaknai Islamisasi sebagai suatu
proses. Meskipun manusia mempunyai komponen jasmani dan rohani sekaligus, namun
pembebasan itu lebih menunjuk pada rohaninya, sebab manusia yang demikianlah
manusia yang sejati yang semua tindakannya dilakukan dengan sadar penuh makna.
Al-Attas men-sifatkan Islamisasi sebagai proses pembebasan atau memerdekakan
sebab ia melibatkan pembebasan roh manusia yang mempunyai pengaruh atas
jasmaniyahnya dan proses ini menimbulkan keharmonian dan kedamaian dalam
dirinya sesuai dengan fitrahnya (original nature).[33]
Dari uraian di atas, maka, islamisasi ilmu berarti
pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi
sekuler, dan dari makna-makna serta ungkapan manusia-manusia sekuler.[34] Dan dalam
pandangan al-Attas, setidaknya terdapat dua makna Islamisasi yaitu Islamisasi
pikiran dari pengaruh ekternal dan kedua Islamisasi pikiran dari dorongan
internal. Yang pertama pembebasan pikiran dari pengaruh magis (magical),
mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural (national
cultural tradition), dan paham sekuler (secularism). Sedangkan yang kedua adalah pembebasan jiwa manusia dari
sikap tunduk kepada keperluan jasmaninya yang condong mendzalimi dirinya
sendiri, sebab sifat jasmaniahnya lebih condong untuk lalai terhadap fitrahnya
sehingga mengganggu keharmonian dan kedamaian dalam dirinya yang pada
gilirannya menjadi jahil tentang tujuan asalnya. Jadi Islamisasi bukanlah satu
proses evolusi (a process of evolution) tetapi satu proses pengembalian
kepada fitrah (original nature).[35]
Sedangkan menurut Ismail R. al-Faruqi, dalam
pendefinisian atau pengertian tentang islamisasi ilmu pengetahuan, dia
menjelaskan bahwa pengertian dari islamisasi ilmu yaitu sebagai usaha untuk
memfokuskan kembali ilmu yaitu, untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang
data, memikir kembali argumen dan rasionalisasi yang berhubungan dengan data
itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan
disiplin itu ditujukan memperkaya visi dan perjuangan Islam.[36]
Islamisasi ilmu pengetahuan itu sendiri berarti
melakukan aktifitas keilmuan seperti mengungkap, menghubungkan, dan
menyebarluaskannya manurut sudut pandang ilmu terhadap alam kehidupan manusia.
Menurut aI-Faruqi, islamisasi ilmu pengetahuan berarti mengislamkan ilmu
pengetahuan modern dengan cara menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan
sains-sains ilmu pasti dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten
dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan
prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam strateginya, dalam
data-datanya dan problem-problemnya. Seluruh disiplin harus dituangkan kembali
sehingga mengungkapkan relevensi Islam yang bersumberkan pada tauhid.[37]
Dari mafhum islamisasi ilmu pengetahuan menurut
al-Attas dan al-Faruqi di atas, maka terlihat bahwa jika al-Attas
mendefinisikan ilmu lebih ke arah subjeknya yaitu pada pembenahan umat Islam
sendiri yakni pembebasan manusia dari tradisi magis (magical), mitologis
(mythology), animisme (animism), nasional-kultural (national
cultural tradition), dan paham sekuler (secularism). Sedangkan
al-Faruqi mendefinisikan islamisasi ilmu pengetahuan lebih kepada objek ilmu
itu sendiri. Yaitu dengan cara mendefinisikan kembali, menyusun ulang data,
memikir kembali argumen dan rasionalisasi yang berhubungan dengan data itu,
menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan disiplin
itu ditujukan dalam rangka memperkaya visi dan perjuangan Islam.
C. Langkah-Langkah Dalam Islamisasi
Dalam pandangan al-Attas, sebelum islamisasi ilmu
dilaksanakan, terlebih dahulu yang harus dilakukan adalah islamisasi bahasa.
Menurutnya, islamisasi bahasa ini ditunjukkan oleh al-Qur’an sendiri ketika
pertama kali diwahyukan di antara bangsa Arab, bahasa, pikiran dan nalar saling
berhubungan erat. Maka, islamisasi bahasa menyebabkan islamisasi nalar atau
pikiran.[38] Islamisasi bahasa Arab yang termuati ilham
ketuhanan dalam bentuk wahyu telah mengubah kedudukan bahasa Arab, di antara
bahasa-bahasa manusia, menjadi satu-satunya bahasa yang hidup yang diilhami
Tuhan, dan dalam pengertian ini menjadi baru dan tersempurnakan sampai tingkat
perbandingan tertinggi terutama kosa kata dasar Islam, tidak tergantung pada
perubahan dan perkembangan dan tidak dipengaruhi oleh perubahan sosial seperti
halnya semua bahasa lainnya yang berasal dari kebudayaan dan tradisi.
Terangkatnya bahasa Arab sebagai bahasa di mana Tuhan mewahyukan kitab suci
al-Qur’an kepada manusia menjadikan bahasa itu terpelihara tanpa perubahan, tetap
hidup dan tetap kekal sebagai bahasa Arab standar yang luhur. Oleh karena itu,
arti istilah-istilah yang bertalian dengan Islam, tidak ada perubahan sosial,
sehingga untuk segala zaman dan setiap generasi pengetahuan lengkap tentang
Islam menjadi mungkin, karena pengetahuan tersebut termasuk norma-normanya
merupakan suatu hal yang telah terbangun mapan, dan bukan termasuk sesuatu yang
berkembang seperti halnya dengan manusia dan sejarah yang dikatakan berkembang.[39]
Lebih lanjut menurut al-Attas, istilah-istilah Islam
merupakan pemersatu bangsa-bangsa muslim, bukan hanya karena kesamaan agama
semata, melainkan karena istilah-istilah itu tidak dapat diterjemahkan ke dalam
bahasa apapun secara memuaskan. Ketika diterjemahkan ke dalam bahasa lain, maka
istilah-istilah itu menjadi kehilangan makna ruhaniyah-nya. Karena itu, istilah
Islam tidak dapat diterjemahkan dan dipahami dengan pengertian lain, meski
istilah tersebut di pakai dan ditunjukkan pada nabi-nabi sebelum Muhammad saw.
Adapun makna Q.S. al-Maidah ayat 3 yang menyebutkan “hari penyempurnaan
agama Islam”, di pahami al-Attas sebagai pernyataan wahyu bahwa sejak saat
itu Islam telah merupakan sebuah tatanan agama yang total dan tertutup sehingga
tidak ada peluang untuk terjadinya perubahan.[40]
Sedangkan dalam prosesnya, islamisasi yang dicanangkan
oleh al-Attas mempunyai beberapa langkah yaitu:
1. Mengisolisir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang
membentuk budaya dan peradaban Barat.[41] Unsur-unsur tersebut terdiri dari:
a. Akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia.
b. Bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran (The
concept of dualism which involved of reality and truth).
c. Menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan
pandangan hidup sekuler (secular worldview).
d. Membela doktrin humanism (the doctrine of humanism).
e. Menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang
dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.[42]
Unsur-unsur tersebut harus dihilangkan dari setiap
bidang ilmu pengetahuan modern saat ini, khususnya dalam ilmu pengetahuan
humaniora. Bagaimanapun, ilmu-ilmu alam, fisika, dan aplikasi harus diislamkan
juga. Selain itu, ilmu-ilmu modern harus diperiksa dengan teliti. Ini mencakup
metode, konsep, praduga, simbol, dari ilmu modern, beserta aspek-aspek empiris
dan rasional, dan yang berdampak kepada nilai dan etika, penafsiran historitas
ilmu tersebut, bangunan teori ilmunya, praduganya berkaitan dengan dunia,
rasionalitas proses-proses ilmiah, teori tersebut tentang alam semesta,
klasifikasinya, batasannya, keterkaitannya dengan ilmu-ilmu lainnya serta
hubungannya dengan sosial harus diperiksa dengan teliti.
2. Memasukkan unsur-unsur Islam
beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini
yang relevan.[43] Al-Attas menyarankan, agar unsur dan konsep
utama Islam mengambil alih unsur-unsur dan konsep-konsep asing tersebut. Konsep
utama Islam tersebut yaitu:
a. Konsep Agama (ad-din)
b. Konsep Manusia (al-insan)
c. Konsep Pengetahuan (al-‘ilm dan
al-ma’rifah)
d. Konsep kearifan (al-hikmah)
e. Konsep keadilan (al-‘adl)
f. Konsep perbuatan yang benar (al-‘amal)
g. Konsep universitas (kulliyyah jami’ah).[44]
Tujan Islamisasi ilmu sendiri adalah untuk melindungi
umat Islam dari ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan dan menimbulkan
kekeliruan. Islamisasi ilmu bertujuan untuk mengembangkan ilmu yang hakiki yang
boleh membangunkan pemikiran dan pribadi muslim yang akan menambahkan lagi
keimanannya kepada Allah. Islamisasi ilmu akan melahirkan keamanan, kebaikan,
keadilan, dan kekuatan iman.[45] Adapun yang
menjadi obyek Islamisasi bukan obyek yang berada diluar pikiran tapi adalah
yang terdapat dalam jiwa atau pikiran seseorang. Dan pendekatannya adalah
pendekatan dalam Islam yang berkaitan erat dengan struktur metafisika dasar
Islam yang telah terformulasikan sejalan dengan wahyu (revelation tradition),
akal (reason), pengalaman (experience) dan intuisi (intuition).[46] Karena Islam pada dasarnya mengkombinasikan
antara metodologi rasionalisme dan empirisisme, tapi dengan tambahan wahyu
sebagai sumber kebenaran tentang sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh metode
empris-rasional tersebut. Jadi meskipun dalam aspek rasionalitas dan metodologi
pencarian kebenaran dalam Islam memiliki beberapa kesamaan dengan pandangan filsafat
Yunani, namun secara mendasar dibedakan oleh pandangan hidup Islam (Islamic
worldview).
Jadi menurut al-Attas, dalam
prosesnya, islamisasi ilmu melibatkan dua langkah utama yang saling
berhubungan: pertama, proses mengeluarkan unsur-unsur dan konsep-konsep
penting Barat dari suatu ilmu, dan kedua, memasukkan unsur-unsur dan
konsep-konsep utama Islam ke dalamnya.[47] Dan untuk
memulai kedua proses diatas, al-Attas menegaskan bahwa islamisasi diawali
dengan islamisasi bahasa dan ini dibuktikan oleh al-Qur’an.[48] Sebab alasannya, “bahasa, pemikiran dan
rasionalitas berkaitan erat dan saling bergantung dalam memproyeksikan
pandangan dunia (worldview) atau visi hakikat kepada manusia. Pengaruh
islamisasi bahasa menghasilkan islamisasi pemikiran dan penalaran,” karena
dalam bahasa terdapat istilah dan dalam setiap istilah mengandung konsep yang
harus dipahami oleh akal pikiran. Di sinilah pentingnya pengaruh islamisasi
dalam bahasa, karena islamisasi bahasa akan menghasilkan islamisasi pemikiran
dan penalaran.[49]
Sedangkan dalam pandangan al-Faruqi berkenaan dengan
langkah-langkah dalam islamisasi ilmu pengetahuan, dia mengemukakan ide islamisasi
ilmunya berlandaskan pada esensi tauhid yang memiliki makna bahwa ilmu
pengetahuan harus mempunyai kebenarannya.[50] Al-Faruqi menggariskan beberapa prinsip
dalam pandangan Islam sebagai kerangka pemikiran metodologi dan cara hidup
Islam. Prinsip-prinsip tersebut ialah:
a. Keesaan Allah.
b. Kesatuan alam semesta.
c. Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan. [51]
Menurut al-Faruqi, kebenaran wahyu dan kebenaran akal
itu tidak bertentangan tetapi saling berhubungan dan keduanya saling
melengkapi. Karena bagaimanapun, kepercayaan terhadap agama yang di topang oleh
wahyu merupakan pemberian dari Allah dan akal juga merupakan pemberian dari
Allah yang diciptakan untuk mencari kebenaran. Syarat-syarat kesatuan kebenaran
menurut al-Faruqi yaitu: pertama, kesatuan kebenaran tidak boleh
bertentangan dengan realitas sebab wahyu merupakan firman dari Allah yang pasti
cocok dengan realitas. Kedua, kesatuan kebenaran yang dirumuskan, antara
wahyu dan kebenaran tidak boleh ada pertentangan, prinsip ini bersifat mutlak.
Dan ketiga, kesatuan kebenaran sifatnya tidak terbatas dan tidak ada
akhir. Karena pola dari Allah tidak terhingga, oleh karena itu diperlukan sifat
yang terbuka terhadap segala sesuatu yang baru.[52]
d. Kesatuan hidup[53]
e. Kesatuan umat manusia.
Islam menganjurkan kebebasan dalam hubungannya dengan
kemanusiaan tanpa batas-batas yang senantiasa menghampiri mereka. Dalam konteks
ilmu pengetahuan, nampak bahwa keinginan al-Faruqi, ilmuwan beserta
penemuannya, hendaknya memberi kesejahteraan kepada umat manusia tanpa memandang
etnis. Ketaqwaan yang dipergunakan oleh Islam yang membebaskan dari belenggu
himpitan dunia hendaknya menjadi landasan bagi para ilmuan.[54]
Al-Faruqi juga menawarkan suatu rancangan kerja
sistematis yang menyeluruh untuk program islamisasi ilmu pengrtahuannya yang
merupakan hasil dari usahanya selama bertahun-tahun melaksanakan
perdebatan-perdebatan dan diskusi-diskusi melalui sejumlah seminar
internasional yang diselenggarakan.[55] Rencana kerja al-Faruqi untuk program
islamisasi mempunyai lima sasaran yaitu: pertama, menguasai
disiplin-disiplin modern. Kedua, menguasai khazanah Islam. Ketiga,
menentukan relevansi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan
modern. Keempat. mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif
antara khazanah Islam dengan ilmu pengetahuan modern. Dan kelima,
mengarahkan pemikiran Islam ke lintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan
pola rancangan Allah.[56]
Menurut al-Faruqi, sasaran di atas bisa dicapai
melalui 12 langkah sistematis yang pada akhirnya mengarah pada Islamisasi ilmu
pengetahuan, yaitu: pertama, penguasaan terhadap disiplin-disiplin
modern. Kedua, peninjauan disiplin ilmu modern. Ketiga,
penguasaan ilmu warisan Islam yang berupa antologi.[57] Keempat, penguasaan ilmu warisan
Islam yang berupa analisis. Kelima, penentuan relevansi Islam yang
spesifik untuk setiap disiplin ilmu. Relevansi ini, kata al-Faruqi, dapat
ditetapkan dengan mengajukan tiga persoalan yaitu: a). Apa yang telah
disumbangkan oleh Islam, mulai dari al-Qur’an hingga pemikiran-pemikiran kaum
modernis, dalam keseluruhan masalah yang telah dicakup oleh disiplin-disiplin
modern; b). Seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasil-hasil
yang telah diperoleh oleh disiplin-disiplin tersebut; c) Apabila ada
bidang-bidang masalah yang sedikit diperhatikan atau bahkan sama sekali tidak
diabaikan oleh ilmu warisan Islam, kearah mana kaum muslim harus mengusahakan
untuk mengisi kekurangan itu, juga memformulasikan masalah-masalah, dan
memperluas visi disiplin tersebut. Kemudian yang keenam, penilaian
kritis terhadap disiplin modern. Ketujuh, penilaian krisis terhadap
khazanah Islam. Kedelapan, survei mengenai problem-problem terbesar umat
Islam. Kesembilan, survei mengenai problem-problem umat manusia. Kesepuluh,
analisa dan sintesis kreatif. Kesebelas, merumuskan kembali
disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka kerja (framework) Islam. Dan kedua
belas, penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diislamkan. Selain
langkah tersebut, alat-alat bantu lain untuk mempercepat islamisasi pengetahuan
adalah dengan mengadakan konferensi-konferensi dan seminar untuk melibatkan
berbagai ahli di bidang-bidang illmu yang sesuai dalam merancang pemecahan
masalah-masalah yang menguasai antar disiplin. Para ahli yang terlibat harus
diberi kesempatan bertemu dengan para staf pengajar. Selanjutnya pertemuan
pertemuan tersebut harus menjajaki persoalan metode yang diperlukan.[58]
Demikian langkah sistematis yang ditawarkan oleh
al-Attas dan al-Faruqi dalam rangka islamisasi ilmu pengetahuan. Walaupun
keduanya memiliki sedikit perbedaan di dalamnya, namun pada intinya, keduanya
memiliki visi yang sama. Dari kesemua langkah yang diajukan oleh kedua tokoh ini,
tentunya dalam aplikasinya, membutuhkan energi ekstra dan kerja sama berbagai
belah pihak. Karena, islamisasi merupakan proyek besar jangka panjang yang
membutuhkan analisa tajam dan akurat, maka dibutuhkan usaha besar pula dalam
mengintegrasikan setiap disiplin keilmuan yang digeluti oleh seluruh
cendekiawan muslim.
Kesimpulan
Berdasarkan pada uraian yang telah dipaparkan di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara Syed Naquib al- Attas
dan Ismail Raji al-Faruqi dalam kaitannya dengan gagasan islamisasi ilmu
pengetahuan. Yaitu, pertama, jika al-Attas lebih mengutamakan subyek
islamisasi ilmu maka al- Faruqi lebih mengutamakan obyeknya. Kedua, jika
al-Attas hanya membatasi pada ilmu kontemporer untuk program islamisasi
ilmu-nya maka al-Faruqi meyakini bahwa semua ilmu harus diislamisasikan. Dan ketiga,
jika al-Attas mengawali dengan melihat dan menganalisa permasalahan yang muncul
di dunia Islam sekarang ini adalah pengaruh eksternal (luar Islam) yang datang
dari Barat sedangkan al-Faruqi mengawalinya dari masalah internal (tubuh umat
Islam) itu sendiri.
Terlepas dari perbedaan di atas, sejatinya ada
beberapa kesamaan antara pemikiran al-Attas dan al-Faruqi mengenai ide
islamisasi ini. Di antara persamaan pemikiran kedua tokoh tersebut yaitu
kesamaan pemikiran tentang ilmu. Menurut mereka ilmu itu tidak bebas nilai (value-free)
akan tetapi syarat nilai (value laden). Keduanya juga meyakini bahwa
peradaban yang dibawa oleh Barat adalah peradaban yang menjunjung tinggi nilai
dikotomisme. Dan nilai ini tentunya bertentangan dengan nilai yang ada dalam
ajaran Islam yaitu tauhid. Konsep ilmu menurut mereka harus berlandaskan pada
metode ketauhidan yang diajarkan oleh al-Qur’an. Mereka juga meyakini bahwa
sumber dari semua masalah umat adalah sistem pendidikan terutama dalam
problematika ilmu yang berkembang saat ini. Dan mereka yakin bahwa islamisasi
ilmu pengetahuan merupakan satu solusi untuk mengatasi problematika umat
tersebut.
Daftar Pustaka
Acikgenc,
Alparslan, Islamic Science an Introduction (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996)
al-Attas, Syed
M. Naquib, A Commentary on the Hujat al-Siddiq of Nur al-Din al-Raniri, (Kuala
Lumpur: Ministry of Education and Culture, 1986)
_____________________,
Syed Muhammad Naquib, Aims and Objectives of Islamic Education (London:
Hodder & Stouhton, 1979)
_____________________,
Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993)
_____________________,
Islam dan Sekularisme, terj. Karsidjo Djojosuwarno (Bandung: Pustaka,
1981)
______________________, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An
Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995)
_____________________,
The Concept of Education in Islam a Framework for an Islamic
Philosophy of Education (Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia,
1980)
______________________,
Konsep Pendidikan Dalam Islam (Bandung: Mizan, 1996, cet. ke-7)
al-Faruqi, Ismail
Raji, Islamization of Knowledge (Virginia: International Institute of
Islamic Thought, 1989)
__________________, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984)
__________________,
Tuhid; Its Implication For Thought and Life (Temple University: The
International Institute Of Islamci Thought, 1982)
Ambary Hasan
Mu’arif, et.al,
Suplemen Ensiklopedi Islam ( Jakarta: P.T. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1995)
Armas, Adnin, Krisis
Epistemologi dan Islamisasi Ilmu (ISID Gontor: Center for Islamic &
Occidental Studis, 2007)
____________, Westernisasi
dan Islamisasi Ilmu, Islamia, THN II NO.6 (Juli-September, 2005)
Badarudin,
Kemas, Filsafat Pendidikan Islam: Analisis Pemikiran Prof. M. Naquib
al-Attas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, cet. ke-2)
Daud, Wan Mohd
Nor Wan, The Educational Philosophy and Practice of Syed M. Naquib Al-Attas (Malaysia:
ISTAC, 1998)
Esposito, John
L., John O Voll, Tokoh-tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002)
Hasim, Rosnani,
Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer: Sejarah, Perkembangan, dan Arah
Tujuan”, Islamia, THN II NO.6, Juli-September, 2005
Mohammad,
Herry, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema
Insani,2006)
Muhaimin, Arah
Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan, Pengembangan kurikulum,
hingga Redifinisi Islamisasi Pengetahuan, (Bandung : Nuansa, 2003)
Muslih,
Muhammad Filsafat Ilmu; Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka
Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2008, cet ke-5)
Na’im, Abdullah
Ahmad, dkk., Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta: Jendela,
2003)
Neufeld,
Victoria (Ed.), Websters New World Dictionary (Cleveland & New York:
Websters New World, 1988)
Ramayulis dan
Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan
Islam di Dunia Islam dan di Indonesia, (Ciputat: Quantum Teaching, 2005)
Saefuddin,
A.M., et al, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi (Bandung:
Mizan, 1991, cet. ke-3)
Sani, Abdul, Lintasan
Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 1998)
Sardar, Ziaudin,
Jihad Intelektual, (Surabaya: Risalah Gusti, 1998)
SM, Ismail, Paradigma
pendidikan Islam Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999)
Suhartono,
Suparlan, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jogjakarta: Ar-Ruz, 2005)
Zarkasyi, Hamid
Fahmy, Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam dalam majalah pemikiran
dan peradaban Islam Islamia Thn II No 5, April-Juni 2005
[1] Mahasiswa Semester Akhir Fakultas Ushuluddin
prodi Aqidah Filsafat ISID Gontor & Anggota Center for Islamic and
Occidental Studies (CIOS)
[2] Definisi lengkap tentang pandangan hidup
Islam (Islamic worldview) dapat dilihat dalam tulisan Hamid Fahmy
Zarkasyi, Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam dalam Islamia,
majalah pemikiran dan peradaban Islam Thn II No 5, April-Juni 2005, p. 11-12
[3] Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational
Philosophy and Practice of Syed M. Naquib Al-Attas (Malaysia: ISTAC, 1998),
p. 298
[4] Muhaimin, Arah Baru Pengembangan
Pendidikan Islam, Pemberdayaan, Pengembangan kurikulum, hingga Redifinisi Islamisasi
Pengetahuan, (Bandung : Nuansa, 2003), p. 330
[5] Seyyed Hossein Nasr menolak sains Barat
modern dan mengusulkan scientia sacra sebagai alternatif dalam
karyanya Knowledge and the Sacred (Pakistan: Suhail Academy Lahore,
1988). Sedangkan Ziauddin Sardar dan teman-temannya membentuk Gagasan Idjamali
(Idjmali Idea). Lihat dalam bukunya Adnin Armas, Krisis
Epistemologi dan Islamisasi Ilmu (ISID Gontor: Center for Islamic &
Occidental Studis, 2007), p. 10
[6] Dikutip dari Adnin Armas, Krisis
Epistemologi dan Islamisasi Ilmu…, p. 18
[7] Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational
Philosophy…, p. 2
[8] Wan Daud, The Educational Philosophy…, p.
49
[9] Hasan Mu’arif Ambary et.al, Suplemen
Ensiklopedi Islam ( Jakarta: P.T. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1995), p. 78
[10] Ismail SM, Paradigma pendidikan Islam
Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999), p. 271-272
[11] Tentang biografi al-Attas juga dapat dilihat
dalam bukunya Kemas Badarudin, Filsafat Pendidikan Islam: Analisis Pemikiran
Prof. M. Naquib al-Attas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, cet. ke-2).
Sedangkan untuk karya al-Attas lihat dalam Wan Daud, The Educational
Philosophy…, p. 10-13.
[12] Ramayulis dan Syamsul Nizar, Ensiklopedi
Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan di
Indonesia, (Ciputat: Quantum Teaching, 2005), p. 107
[13] Herry Mohammad, Tokoh-tokoh Islam yang
Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani,2006), p. 209
[14] John L.Esposito-John O Voll, Tokoh-tokoh
Kunci Gerakan Islam Kontemporer, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), p.
2. Al-Faruqi meninggal secara tragis bersama keluarganya karena di bunuh. Saat
itu, meletus serangan teroris di Eropa Barat, yang lalu merembet pada kerusuhan
di AS pada 1986. Al-Faruqi beserta keluarganya tewas diserang oleh kelompok
orang tak dikenal, lihat dalam bukunya Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi
Tokoh Pendidikan Islam…, p. 107-108
[15] Dikutip dari Abdul Sani, Lintasan Sejarah
Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam, (Jakarta : Raja Grafindo
Persada. 1998), p. 264-265
[16] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and
Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), p. 134. Lihat juga Syed Muhammad
Naquib al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education (London:
Hodder & Stouhton, 1979) 19-20. Terkait dengan ilmu adalah syarat nilai (value
laden) dapat dilihat dalam bukunya Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu
Pengetahuan (Jogjakarta: Ar-Ruz, 2005), p. 7, 178-179. Dan menurut Thomas
Samuel Kuhn, karena ilmu itu merupakan human and social construction
maka ilmu itu tidak bebas nilai, lihat dalam Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu;
Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan,
(Yogyakarta: Belukar, 2008, cet ke-5), p. 129
[17] Abdullah Ahmad Na’im, dkk., Pemikiran
Islam Kontemporer (Yogyakarta: Jendela, 2003), p. 338
[18] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan
Sekularisme, Terj. Karsidjo Djojosuwarno (Bandung: Pustaka, 1981), p.
195-196. Tentang pengaruh Barat ini dapat dilihat juga dalam bukunya A.M.
Saefuddin et al, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi (Bandung:
Mizan, 1991, cet. ke-3), p. 107
[19] al-Attas, Islam dan Sekularisme…, p. 197-198
[20] al-Attas, Islam dan Sekularisme…, p.
20
[21] Adnin Armas, Westernisasi dan Islamisasi
Ilmu, Islamia, THN II NO.6 (Juli-September, 2005), p.14. Tulisan ini telah
dibukukan dan diterbitkan oleh Center for Islamic & Occidental Studis
(CIOS) pada tahun 2007 dengan judul “Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu”.
[22] Dikotomis dalam berbagai disiplin ilmu yang
terjadi saat ini tidak lain adalah pengaruh dari adanya sekularisme. Lihat
dalam A.M. Saefuddin et al, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi…,
p. 78
[23] al-Attas membedakan konsep sekularisasi dan
sekularisme. Sekularisasi adalah suatu proses yang berkelanjutan dan terbuka di
mana pandangan dunia (worldview) secara terus menerus di perbaharui
sesuai dengan revolusi sejarah, sedangkan sekularisme memproyeksikan suatu
pandangan dunia (worldview) yang tertutup dan seperangkat nilai
yang mutlak, sejalan dengan tujuan akhir sejarah yang bermakna final bagi
manusia. al-Attas, Islam dan Sekularisme…, p. 21-22
[24] Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of
Knowledge (Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1989), p.
40
[25] Lihat dalam Ismail Raji al-Faruqi,
Islamization of Knowledge…, p. 1-3
[26] Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of
Knowledge…, p. 4-5
[27] Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of
Knowledge…, p. 6-7
[28] Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of
Knowledge…, p. 8-9
[29] Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of
Knowledge…, p. 40
[30] Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of
Knowledge…, p. 22. Untuk pembahasan tauhid sebagai sumber kebenaran (source
of truth) dan keterkaitan dengan pengetahuan (knowledge), silahkan
lihat dalam Ismail Raji Al-Faruqi, Tuhid; Its Implication For Thought and
Life (Temple University: The International Institute Of Islamci Thought,
1982), p. 46-57
[31] Victoria Neufeld (Ed.), Websters New
World Dictionary (Cleveland & New York: Websters New World, 1988), p.
715
[32] "The Islamization is liberation of man
first from magical, mythological, animistic, national-cultural tradition
(opposed to Islam), and then from secular control over his reason and his
language.” al-Attas, Islam and Secularism,.., p. 42-44, 182.
Alparslan Acikgenc, Islamic Science an Introduction (Kuala Lumpur:
ISTAC, 1996), p. 2, 7
[33] al-Attas, Islam dan Sekularisme…, p.
61-62
[34] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep
Pendidikan Dalam Islam (Bandung: Mizan, 1996, Cet. Ke-7), p. 90
[35]. Alparslan Acikgenc, Islamic
Science an Introduction..., p. 1-2
[36] Rosnani Hasim, Gagasan Islamisasi Ilmu
Pengetahuan Kontemporer: Sejarah, Perkembangan, dan Arah Tujuan”, Islamia,
THN II NO.6 (Juli-September, 2005), p. 35-36
[37] Tauhid merupakan sumber kebenaran dalam
islam (the source of Islam). lihat dalam Ismail Raji Al-Faruqi, Tuhid;
Its Implication..., p. 53-54
[38] al-Attas, Islam and Secularism…, p.
45. Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed
M. Naquib Al-Attas…, p. 313. Abdullah Ahmad Na’im, et al., Pemikiran
Islam Kontemporer…, p. 340
[39] al-Attas, Islam dan Sekularisme…, p.
63-64
[40] Abdullah ahmad na’im, et al., Pemikiran
Islam Kontempore.r…, p. 341
[41] Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational
Philosophy …, p. 313
[42] Untuk lebih jelasnya silahkan lihat dalam
al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978), p. 38
dan juga al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of
the Fundamental Elements of the Worldview of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC,
1995), p. 88
[43] Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational
Philosophy…, p. 313
[44] al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam…,
p. 233
[45] Rosnani Hashim, Gagasan Islamisasi…, p.
35
[46] Syed Muhammad Naquib al-Attas, A
Commentary on the Hujat al-Siddiq of Nur al-Din al-Raniri, (Kuala Lumpur:
Ministry of Education and Culture, 1986), p. 464-465
[47] Syed Muhammad Naquib al-Attas, The
Concept of Education in Islam a Framework for an Islamic Philosophy of
Education (Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia, 1980), p. 43
[48] Menurut al-Attas, sesungguhnya telah ada
bahasa Islam, yaitu yang terdiri dari kosakata dasar “kunci” yang tersusun atas
istilah-istilah dan konsep-konsep yang terIslamkan. Oleh karena itu, al-Attas
gigih memperkenalkan konsep “bahasa Islami”. al-Attas, Konsep Pendidikan
dalam Islam…, p. 26-30
[49] Al-Attas, Islam and Secularism…,
p. 42-43. Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy…, p. 313.
Kebingungan dalam bahasa (semantic) disebabkan oleh kesalahan penerapan
konsep konsep kunci dalam kosakata Islam dan hal ini dapat mempengaruhi
persepsi sekarang tentang pandangan dunia Islam. al-Attas, The Concept of
Education in Islam…, p. 12
[50] Rosnani Hasim, Gagasan Islamisasi…,
p. 36
[51] Lihat dalam Ismail Raji al-Faruqi,
Islamization of Knowledge…, p. 34-36
[52] Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of
Knowledge…, p. 40-41
[53] Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of
Knowledge…, p. 45
[54] Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of
Knowledge…, p. 48
[55] Ziaudin Sardar, Jihad Intelektual,
(Surabaya: Risalah Gusti, 1998), p. 44
[56] Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of
Knowledge…, p. 28
[57] Ilmu warisan Islam harus dikuasai dengan
cara yang sama. Tetapi disini, apa yang diperlukan adalah antologi-antologi
mengenai warisan pemikir muslim yang berkaitan dengan disiplin ilmu.
[58] Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of
Knowledge…, p. 39-46. Tentang buku islamisasi ini juga dapat dilihat dalam
edisi bahasa Indonesia, khusus tentang Rencana Kerja Proses Islamisasi Ilmu
Pengetahuan dapat dilihat pada bab IV, Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi
Ilmu Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984),
p. 98-121