PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Apabila
seorang filosof mulai melakukan
pekerjaanya maka ia akan mulai dengan mengemukakan berbagai pertanyaan.
Pertanyaan-pertanyaan itulah sebagai bahan mentah dari seorang filosof.
Filsafat lebih banyak mengandung isi studi tentang pertanyaan, daripada tentang
jawaban. Dimensi umum dari pertanyaan-pertanyaan filsafat meliputi: pendidikan,
pribadi manusia, kemasyarakatan, masalah kosmos dan lain-lain. Tetapi yang
paling diutamakan oleh seorang ahli filsafat adalah bertanya yang benar tentang
kebenaran, yakni kebenaran yang sesuai dan dapat dimengerti.
Pada
umumnya orang akan menerima suatu pemecahan masalah jika cara yang dilakukan
merupakan suatu yang nyata, sesuatu itu dapat diterima akal yang selanjutnya
hasilnya dapat dianggap sebagai suatu kebenaran.
Filsafat
dalam mencari pemecahan masalah berhadapan dengan masalah utama ”Apa yang
nyata?” atau ontologi, yaitu mancari dan menemukan hakikat dari sesuatu yang
ada.
Oleh karena itu, dalam makalah
ini akan disajikan tentang hakikat ontologi , scope kajian ontologi, dan
implikasinya dalam dunia pendidikan sebagai dasar untuk memahami ontologi
filsafat pendidikan Islam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut perlu kiranya merumuskan masalah sebagai pijakan untuk
terfokusnya kajian makalah ini. Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut.
1. Apa yang dimaksud Ontologi?
2. Bagaimana hakikat Ontologi?
3. Apa saja yang menjadi Scope kajian
ontologi?
- Bagaimana Implikasi Ontologi dalam Dunia Pendidikan?
C. Metode
Pemecahan Masalah
Metode
pemecahan masalah yang dilakukan melalui studi literatur dari buku-buku yang
membahas tentang bahasan terkait.
D. Sitematika
Penulisan Makalah
Makalah
ini ditulis ke dalam 3 bagian meliputi:
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B.
Rumusan
Masalah
C.
Metode
Pemecahan Masalah
D.
Sistematika
Penulisan Makalah
BAB II PEMBAHASAN
A. Hakikat Ontologi
B.
Scope
Kajian Ontologi
C.
Implikasi Ontologi dalam Dunia Pendidikan
BAB III PENUTUP
A. Simpulan
BAB II
PEMBAHASAN
”ONTOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM”
A. Hakikat Ontologi
Secara etimologis ontologi berasal dari bahasa
Yunani ”ethos” dan ”logos”, ethos adalah kata kerja dari einai
artinya yang sedang berada, sedangkan logos
berarti ilmu. Dengan demikian secara bahasa ontologi dapat diartikan ilmu yang
membicarakan segala sesuatu yang ada. [1]
Ontologi merupakan salah satu cabang filsafat
yang ingin mencari dan menemukan hakikat dari sesuatu yang ada. Sesuatu yang
ada itu dicari oleh manusia agar ia dapat mencari dan menemukan hakikat
kenyataan yang bermacam-macam yang pada akhirnya nanti akan memberikan makna
pada kehidupan manusia itu sendiri.[2]
Dari deskripsi di atas dapat dipahami bahwa
ontologi merupakan cabang atau istilah filsafat dimana segala sesuatu itu
mempunyai prinsip mendasar yang tidak menimbulkan pertentangan. Sesuatu yang
nyata pasti dapat diterima oleh semua orang sehingga dapat menghasilkan
kebenaran. Hakikat realitas menurut sudut pandang filsafat Islam pada
hakikatnya ”spiritual”. Prinsip ini mengarah pada aspek fundamental dari
spiritual Islam, yaitu bahwa segala sesuatu yang mengitari kita, semua realitas
materi atau kejadian merupakan pelaksana. Selanjutnya hakikat esensi dalam
kajian filsafat akan terhenti pada penetapan adanya unsur pokok dari segala sesuatu,
yang sifatnya fundamental. Unsur pokok ini menunjuk pada suatu jawaban yang
abstrak, tidak kelihatan, tidak terukur, dan tidak bisa ditimbang. Hakikat
esensi terletak pada eksistensinya,
tidak pada kata bendanya, tetapi pada kata kerjanya yang aktualis.[3]
Dapat ditarik suatu alur bahwa ontologi itu
sebagai salah satu cabang dari filsafat yang ingin mencoba menemukan hakikat
dari sesuatu yang ada, realitas merupakan bagian dari yang ada itu sendiri.
Hakikat dari realitas adalah segala sesuatu yang mengitari kita. Sisi dari
realitas merupakan esensi dan hakikat esensi adalah pada eksistensinya, yang
akan berhenti setelah adanya ketetapan atau jawaban yang benar. Dari sudut
pandang Islam semua realitas atau kejadian merupakan kekuasaan Allah. Dapat
dipahami bahwa hakikat ontologi adalah memecahkan permasalahan realitas secara
tepat, karena konsepsi kita tentang realitas mengontrol pertanyaan kita tentang
dunia ini. Dan tanpa adanya pertanyaan, kita jelas tidak akan memperoleh
jawaban darimana kita nantinya akan membina kumpulan ilmu pengetahuan yang kita
miliki dan menetapkan disiplin tentang masalah-masalah pokoknya.[4]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ontologi
merupakan cabang filsafat yang membahas masalah tentang kenyataan, tentang
realitas, tentang yang nyata dari sesuatu.[5] Ontologi mempertanyakan
hakikat realitas yang ada di dunia ini. Dalam interaksinya dengan alam semesta,
manusia mempertanyakan apakah realitas alam semesta ini merupakan realitas
materi. Ataukah ada realitas dibalik sesuatu yang ada itu. Apakah alam semesta
ini bersifat tetap, kekal tanpa perubahan. Ataukah alam semesta ini bersifat
tidak kekal. Apakah unsur alam semesta ini monisme
atau dualisme ataukah pluralisme.[6]
Untuk melakukan tugas dan spesifikasinya secara
sistematis ada bermacam-macam ontologi yaitu idealisme, realisme, Islam dan
yang lainnya. Dalam kajian ini tidak disebutkan semuanya, hanya yang perlu saja
untuk mengetahui hakikat ontologi. Tokoh pertama dari golongan idealis adalah
Plato. Di dalam aliran filsafat idealis dirasakan pentingnya untuk membagi
semua realitas ke dalam dua bagian besar, yaitu: yang nampak dan yang sejati.
Dalam lingkungan yang nampak ini termasuk segala yang mengalami perubahan.
Disini terdapat ketidaksempurnaan, ketidakteraturan, ketidaktenangan, dan
inilah alam kesulitan dan kesusahan, alam penderitaan dan kesengsaraan dan alam
kejahatan atau dosa. Sebaliknya keadaan alam realitas yang sejati tidaklah
demikian, dia merupakan alam ideal, alam pikiran sejati dan murni. Jadi di alam
inilah terdapat nilai-nilai yang langgeng, kualitas yang abadi dan disanalah
terdapat keteraturan, kebenaran sejati, kemakmuran, kedamaian, dan kelestarian
segala sesuatu.[7]
Filsafat lain yang masuk dalam aliran idealis
adalah Hegel. Ia mengemukakan bahwa segala realitas adalah perlombaan yang
bergerak dari dua macam pertentangan yang merupakan perwujudan dari dialetika
alam, yaitu semacam dialetika yang muncul berulang kali dalam sifat dan alam
manusia. Menurut Hegel, setiap idea Plato pasti ada antithesisnya. Hegel memakai tiga serangkai thesis-antithesis-sinthesis untuk menerangkan yang dimaksud.[8]
Selain aliran idealis dalam kajian ini
dikemukakan pendapat dari aliran realisme mengenai realitas atau ontologi.
Tokoh atau bapak dari aliran realisme adalah Aristoteles. Pandangan Aristoteles
tentang dunia nyata ini menurut cara ontologis adalah bahwa dunia ini terbuat
dari zat benda. Zat ini terus menerus mengalami perubahan bahkan lebih hebat
dari yang dikatakan Aristoteles, semua partikel bergerak tanpa henti. Demikian
ahli-ahli filsafat realis telah menetapkan untuk menamakan dunia ini sebagai
zat yang bergerak. Filosof realis menganggap bahwa dunia nyata dimana kita
hidup ini adalah dasar utama dari realitas dan unsur-unsur komponennya semua
bergerak dan bertindak tanduk sesuai dengan hukum alam yang pasti.
Dapat dipahami bahwa hakikat ontologi menurut
kaum idealis adalah bahwa realitas tertinggi itu adalah alam pikiran (idea),
sedangkan menurut kaum realis hakikat ontologi adalah adanya sebuah dunia yang
penuh dengan benda-benda yang senantiasa bergerak semacam mekanisme yang
dikaruniai pola, keterangan dan gerakan yang harmonis.[9]
B. Scope Kajian Ontologi
Ontologi
merupakan studi tentang realitas tertinggi. Istilah yang berdekatan dengan ontologi adalah disiplin metafisika. Keduanya memiliki arti, maksud dan tujuan yang hampir
serupa. Perbedaan kecil memang ada, yaitu ontologi membahas masalah realitas,
sedangkan metafisika merupakan studi tentang sifat ada atau eksistensi.
Dapat
diambil kesimpulan bahwa ontologi dan metafisika menyangkut daerah yang sama,
jadi cakupan kajian ontologi meliputi yang ada (being) dan yang nyata (realitas) maupun esensi dan eksistensi.[10]
Berikut ini akan dijelaskan scope kajian ontologi antara lain:
a. Yang
ada (being)
Pada
prinsipnya ada itu ada dua, ada yang menciptakan dan ada yang diciptakan, ada
yang menyebabkan dan ada yang diakibatkan. Ada yang menciptakan tidak sepenuhnya tepat
untuk disebut sebagai sebab yang ada, karena hukum sebab akibat berlainan
dengan hukum yang menciptakan dan yang
diciptakan. Hukum sebab akibat bisa bersifat fisik,mekanis, berdimensi
material, sementara pencipta dan ciptaan didalamnya selalu terkandung dimensi ideal, yang bersifat spiritual.[11]
b. Yang
nyata (realitas)
Masalah realitas dapat dipahami dengan pernyataan bahwa
nyata dan ada mempunyai pengertian serupa. Kata ada dipandang sebagai keragaman
yang spesifik dan prosedur ontologi yang pertama digunakan untuk
membedakan apa yang sebenarnya nyata.[12]
c. Esensi
dan eksistensi
Dalam
setiap yang ada, baik yang nyata maupun tidak nyata selalu ada dua sisi
didalamnya, yaitu sisi esensi dan sisi eksistensi . Bagi yang ghaib, sisi yang
nampak adalah eksistensi, sedangkan bagi yang
ada yang konkret, sisi yang nampak bisa kedua-duanya, yaitu esensi dan
eksistensi. Eksistensi berada pada hubungan-hubungan yang bersifat konkret,
baik vertikal maupun horizontal dan bersifat aktual. Eksistensi juga berorientasi pada masa kini dan masa
depan, sedangkan esensi adalah kemasalaluan.[13]
C.
Implikasi Ontologi dalam Dunia Pendidikan
Ontologi bukanlah suatu hal yang
sia-sia melainkan dapat dimanfaatkan dalam dunia pendidikan. Pendidikan terutama yang berkaitan dengan
cita-cita dan tujuan pendidikan, muatan kurikulum, dan metode pengajaran sangat
menekankan pentingnya pandangan filsafat pendidikan yang sangat menyeluruh. Hal
ini menunjukkan bahwa filsafat pendidikan sangat bergantung pada kepercayaan,
keyakinan atau pandangan hidup individu atau masyarakat yang terlibat di
dalamnya. Hal ini juga didukung oleh fakta yang secara eksplisit maupun
implisit mengatakan bahwa setiap ide, keputusan atau tindakan-tindakan yang
berkaitan dengan pendidikan tidak dapat dipisahkan dari pandangan filsafat,
agama ataupun sains mengenai hakikat manusia baik jasmaniah maupun ruhaniah.[14]
Implikasi
ontologi secara nyata dapat dibuktikan di dunia pendidikan. Pada sebagian SMA,
mata pelajaran yang berpokok pangkal pada idea, seperti kesusastraan umpamanya,
masih dianggap oleh sebagian masyarakat mempunyai derajat lebih tinggi. Seluruh
kurikulum berisi macam-macam mata pelajaran yang telah diatur dan ditetapkan
secara hierarki. Di SMA terdapat pula mata pelajaran yang isinya mengandung
idea dan konsep-konsep. Pada tingkatan
universitas, pandangan kaum idealis ini lebih jelas lagi penerapannya.
Pengetahuan seni budaya adalah bidang studi yang mempersiapkan bahan pemikiran
dan kebebasan berpikir. Bidang studi yang dianggap penting adalah mata kuliah
yang bersifat teoritis, abstrak dan simbolis.[15]
Selain itu
pandangan ontologi ini secara praktis akan menjadi masalah utama pendidikan.
Sebab anak bergaul dengan lingkungannya dan mempunyai dorongan yang kuat untuk
mengetahui sesuatu. Anak-anak di sekolah atau masyarakat akan menghadapi
realita, obyek pengalaman, benda mati, sub
human dan human.
Anak-anak
harus dibimbing untuk memahami realitas dunia yang nyata ini dan untuk
membimbing pengertian anak-anak dalam memahami suatu realita bukanlah
semata-mata kewajiban sekolah atau pendidikan. Kewajiban sekolah juga untuk
membina kesabaran tentang kebenaran yang berpangkal atas realita. Ini berarti
realita itu sebagai tahap pertama, sebagai stimulus untuk menyelami kebenaran.
Anak-anak secara sistematis wajib dibina potensi berpikir kritis untuk mengerti
kebenaran.[16]
Dengan
pembinaan dan bimbingan tersebut, diharapkan anak-anak mampu mengerti
perubahan-perubahan di dalam lingkungan hidupnya baik tentang adat istiadat,
tata sosial dan pola-pola masyarakat, maupun tentang nilai-nilai moral dan
hukum. Daya pikir yang kritis akan sangat membantu pengertian tersebut.
Kewajiban pendidik kaitannya dengan ontologis ini ialah membina daya pikir yang
tinggi dan kritis pada anak.
Implikasi
pandangan ontologi terhadap pendidikan adalah bahwa dunia pengalaman manusia
yang harus memperkaya kepribadian bukanlah hanya alam raya dan isinya dalam
arti sebagai pengalaman sehari-hari. Melainkan sebagai sesuatu yang tak
terbatas realitas fisis, spiritual, yang tetap dan berubah-ubah.[17]
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Ontologi adalah ilmu tentang yang ada dan
relitas. Meninjau persoalan secara ontologis adalah mengadakan penyelidikan
terhadap sifat dan realitas dengan refleksi rasional serta analisis serta
sintesis logis.
Cakupan kajian ontologi meliputi realitas yang
ada (being) dan yang nyata (realitas) maupun esensi dan eksistensi. Hal ini
karena realitas (yang ada) merupakan bagian yang ada.
Kurikulum merupakan inti dari pendidikan. Dalam
muatan kurikulum sangat menekankan pentingnya pandangan filsafat pendidikan
yang menyeluruh. Jangkauan maupun isi kurikulum diambilkan dari hal yang telah
diketahui manusia dari nilai-nilai yang diperoleh dari alam semesta.
DAFTAR PUSTAKA
Asy'ari, Musa .1999. Filsafat Islam: Sunah Nabi dalam Berfikir. Yogyakarta: Lesfi.
Khobir, Abdul.
2009. Filsafat Pendidikan Islam :
Landasan Teoritis dan Praktis. Pekalongan: Stain Pekalongan Press.
Prasetya. 2000. Filsafat Pendidikan. Bandung:
Pustaka Setia.
Syam, Mohammad Noor .1988. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya:
Usaha Nasional.
[1] Abdul
Khobir, Filsafat Pendidikan Islam :
Landasan Teoritis dan Praktis, (Pekalongan: Stain Pekalongan Press, 2009),
hlm.17-18
[2] Musa Asy'ari, Filsafat Islam: Sunah Nabi dalam Berfikir,
(Yogyakarta: Lesfi, 1999), hlm. 36
[3] Ibid, hlm.44-46
[4] Abdul Khobir, Op.Cit., hlm.18-19
[5]
Prasetya, Filsafat Pendidikan,
(Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 87
[6]
Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan
dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988),
hlm. 28
[7] Prasetya, Op.Cit., hlm. 99
[8] Ibid, hlm.101
[9] Ibid, hlm.107-109
[10] Abdul Khobir, Op.Cit., hlm. 20-21
[11]
Musa Asy'ari, Op.Cit., hlm. 36-37
[12]
Prasetya, Op.Cit., hlm. 91
[13]
Musa Asy'ari, Op.Cit., hlm. 45-46
[14] Abdul Khobir, Op.Cit., hlm. 22
[15] Prasetya, Op.Cit., hlm. 100
[16] Abdul Khobir, Op.Cit., hlm.23-24
[17] Mohammad Noor Syam, Op.Cit., hlm. 32