Saturday, 17 October 2015

MAKALAH ONTOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Apabila seorang filosof  mulai melakukan pekerjaanya maka ia akan mulai dengan mengemukakan berbagai pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itulah sebagai bahan mentah dari seorang filosof. Filsafat lebih banyak mengandung isi studi tentang pertanyaan, daripada tentang jawaban. Dimensi umum dari pertanyaan-pertanyaan filsafat meliputi: pendidikan, pribadi manusia, kemasyarakatan, masalah kosmos dan lain-lain. Tetapi yang paling diutamakan oleh seorang ahli filsafat adalah bertanya yang benar tentang kebenaran, yakni kebenaran yang sesuai dan dapat dimengerti.
Pada umumnya orang akan menerima suatu pemecahan masalah jika cara yang dilakukan merupakan suatu yang nyata, sesuatu itu dapat diterima akal yang selanjutnya hasilnya dapat dianggap sebagai suatu kebenaran.
Filsafat dalam mencari pemecahan masalah berhadapan dengan masalah utama ”Apa yang nyata?” atau ontologi, yaitu mancari dan menemukan hakikat dari sesuatu yang ada.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan disajikan tentang hakikat ontologi , scope kajian ontologi, dan implikasinya dalam dunia pendidikan sebagai dasar untuk memahami ontologi filsafat pendidikan Islam.
B.       Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang tersebut perlu kiranya merumuskan masalah sebagai pijakan untuk terfokusnya kajian makalah ini. Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut.
1.      Apa yang dimaksud Ontologi?
2.      Bagaimana hakikat Ontologi?
3.      Apa saja yang menjadi Scope kajian ontologi?
  1. Bagaimana Implikasi Ontologi dalam Dunia Pendidikan?


C.  Metode Pemecahan Masalah
            Metode pemecahan masalah yang dilakukan melalui studi literatur dari buku-buku yang membahas tentang bahasan terkait.

D.  Sitematika Penulisan Makalah
            Makalah ini ditulis ke dalam 3 bagian meliputi:
BAB I                         PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
B.     Rumusan Masalah
C.     Metode Pemecahan Masalah
D.    Sistematika Penulisan Makalah
BAB II                        PEMBAHASAN
A.    Hakikat Ontologi
B.     Scope Kajian Ontologi
C.     Implikasi Ontologi dalam Dunia Pendidikan
BAB III          PENUTUP
            A. Simpulan



BAB II
PEMBAHASAN
”ONTOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM”
A.    Hakikat Ontologi
Secara etimologis ontologi berasal dari bahasa Yunani ”ethos” dan ”logos”, ethos adalah kata kerja dari einai artinya yang sedang berada, sedangkan logos berarti ilmu. Dengan demikian secara bahasa ontologi dapat diartikan ilmu yang membicarakan segala sesuatu yang ada. [1]
Ontologi merupakan salah satu cabang filsafat yang ingin mencari dan menemukan hakikat dari sesuatu yang ada. Sesuatu yang ada itu dicari oleh manusia agar ia dapat mencari dan menemukan hakikat kenyataan yang bermacam-macam yang pada akhirnya nanti akan memberikan makna pada kehidupan manusia itu sendiri.[2]
Dari deskripsi di atas dapat dipahami bahwa ontologi merupakan cabang atau istilah filsafat dimana segala sesuatu itu mempunyai prinsip mendasar yang tidak menimbulkan pertentangan. Sesuatu yang nyata pasti dapat diterima oleh semua orang sehingga dapat menghasilkan kebenaran. Hakikat realitas menurut sudut pandang filsafat Islam pada hakikatnya ”spiritual”. Prinsip ini mengarah pada aspek fundamental dari spiritual Islam, yaitu bahwa segala sesuatu yang mengitari kita, semua realitas materi atau kejadian merupakan pelaksana. Selanjutnya hakikat esensi dalam kajian filsafat akan terhenti pada penetapan adanya unsur pokok dari segala sesuatu, yang sifatnya fundamental. Unsur pokok ini menunjuk pada suatu jawaban yang abstrak, tidak kelihatan, tidak terukur, dan tidak bisa ditimbang. Hakikat esensi terletak  pada eksistensinya, tidak pada kata bendanya, tetapi pada kata kerjanya yang aktualis.[3]
Dapat ditarik suatu alur bahwa ontologi itu sebagai salah satu cabang dari filsafat yang ingin mencoba menemukan hakikat dari sesuatu yang ada, realitas merupakan bagian dari yang ada itu sendiri. Hakikat dari realitas adalah segala sesuatu yang mengitari kita. Sisi dari realitas merupakan esensi dan hakikat esensi adalah pada eksistensinya, yang akan berhenti setelah adanya ketetapan atau jawaban yang benar. Dari sudut pandang Islam semua realitas atau kejadian merupakan kekuasaan Allah. Dapat dipahami bahwa hakikat ontologi adalah memecahkan permasalahan realitas secara tepat, karena konsepsi kita tentang realitas mengontrol pertanyaan kita tentang dunia ini. Dan tanpa adanya pertanyaan, kita jelas tidak akan memperoleh jawaban darimana kita nantinya akan membina kumpulan ilmu pengetahuan yang kita miliki dan menetapkan disiplin tentang masalah-masalah pokoknya.[4]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ontologi merupakan cabang filsafat yang membahas masalah tentang kenyataan, tentang realitas, tentang yang nyata dari sesuatu.[5] Ontologi mempertanyakan hakikat realitas yang ada di dunia ini. Dalam interaksinya dengan alam semesta, manusia mempertanyakan apakah realitas alam semesta ini merupakan realitas materi. Ataukah ada realitas dibalik sesuatu yang ada itu. Apakah alam semesta ini bersifat tetap, kekal tanpa perubahan. Ataukah alam semesta ini bersifat tidak kekal. Apakah unsur alam semesta ini monisme atau dualisme ataukah pluralisme.[6]
Untuk melakukan tugas dan spesifikasinya secara sistematis ada bermacam-macam ontologi yaitu idealisme, realisme, Islam dan yang lainnya. Dalam kajian ini tidak disebutkan semuanya, hanya yang perlu saja untuk mengetahui hakikat ontologi. Tokoh pertama dari golongan idealis adalah Plato. Di dalam aliran filsafat idealis dirasakan pentingnya untuk membagi semua realitas ke dalam dua bagian besar, yaitu: yang nampak dan yang sejati. Dalam lingkungan yang nampak ini termasuk segala yang mengalami perubahan. Disini terdapat ketidaksempurnaan, ketidakteraturan, ketidaktenangan, dan inilah alam kesulitan dan kesusahan, alam penderitaan dan kesengsaraan dan alam kejahatan atau dosa. Sebaliknya keadaan alam realitas yang sejati tidaklah demikian, dia merupakan alam ideal, alam pikiran sejati dan murni. Jadi di alam inilah terdapat nilai-nilai yang langgeng, kualitas yang abadi dan disanalah terdapat keteraturan, kebenaran sejati, kemakmuran, kedamaian, dan kelestarian segala sesuatu.[7]
Filsafat lain yang masuk dalam aliran idealis adalah Hegel. Ia mengemukakan bahwa segala realitas adalah perlombaan yang bergerak dari dua macam pertentangan yang merupakan perwujudan dari dialetika alam, yaitu semacam dialetika yang muncul berulang kali dalam sifat dan alam manusia. Menurut Hegel, setiap idea Plato pasti ada antithesisnya. Hegel memakai tiga serangkai thesis-antithesis-sinthesis untuk menerangkan yang dimaksud.[8]
Selain aliran idealis dalam kajian ini dikemukakan pendapat dari aliran realisme mengenai realitas atau ontologi. Tokoh atau bapak dari aliran realisme adalah Aristoteles. Pandangan Aristoteles tentang dunia nyata ini menurut cara ontologis adalah bahwa dunia ini terbuat dari zat benda. Zat ini terus menerus mengalami perubahan bahkan lebih hebat dari yang dikatakan Aristoteles, semua partikel bergerak tanpa henti. Demikian ahli-ahli filsafat realis telah menetapkan untuk menamakan dunia ini sebagai zat yang bergerak. Filosof realis menganggap bahwa dunia nyata dimana kita hidup ini adalah dasar utama dari realitas dan unsur-unsur komponennya semua bergerak dan bertindak tanduk sesuai dengan hukum alam yang pasti.
Dapat dipahami bahwa hakikat ontologi menurut kaum idealis adalah bahwa realitas tertinggi itu adalah alam pikiran (idea), sedangkan menurut kaum realis hakikat ontologi adalah adanya sebuah dunia yang penuh dengan benda-benda yang senantiasa bergerak semacam mekanisme yang dikaruniai pola, keterangan dan gerakan yang harmonis.[9]
B.     Scope Kajian Ontologi
Ontologi merupakan studi tentang realitas tertinggi. Istilah yang berdekatan  dengan ontologi adalah disiplin metafisika. Keduanya  memiliki arti, maksud dan tujuan yang hampir serupa. Perbedaan kecil memang ada, yaitu ontologi membahas masalah realitas, sedangkan metafisika merupakan studi tentang sifat ada atau eksistensi.
Dapat diambil kesimpulan bahwa ontologi dan metafisika menyangkut daerah yang sama, jadi cakupan kajian ontologi meliputi yang ada (being) dan yang nyata (realitas) maupun esensi dan eksistensi.[10] Berikut ini akan dijelaskan scope kajian ontologi antara lain:
a.       Yang ada (being)
Pada prinsipnya ada itu ada dua, ada yang menciptakan dan ada yang diciptakan, ada yang menyebabkan dan ada yang diakibatkan. Ada yang menciptakan tidak sepenuhnya tepat untuk disebut sebagai sebab yang ada, karena hukum sebab akibat berlainan dengan hukum yang menciptakan  dan yang diciptakan. Hukum sebab akibat bisa bersifat fisik,mekanis, berdimensi material, sementara pencipta dan ciptaan didalamnya selalu terkandung  dimensi ideal, yang bersifat spiritual.[11]
b.      Yang nyata (realitas)
Masalah realitas dapat dipahami dengan pernyataan bahwa nyata dan ada mempunyai pengertian serupa. Kata ada dipandang sebagai keragaman yang spesifik dan prosedur ontologi yang pertama digunakan untuk membedakan  apa yang sebenarnya nyata.[12]
c.       Esensi dan eksistensi
Dalam setiap yang ada, baik yang nyata maupun tidak nyata selalu ada dua sisi didalamnya, yaitu sisi esensi dan sisi eksistensi . Bagi yang ghaib, sisi yang nampak adalah eksistensi, sedangkan bagi yang  ada yang konkret, sisi yang nampak bisa kedua-duanya, yaitu esensi dan eksistensi. Eksistensi berada pada hubungan-hubungan yang bersifat konkret, baik vertikal maupun horizontal dan bersifat aktual. Eksistensi juga berorientasi pada masa kini dan masa depan, sedangkan esensi adalah kemasalaluan.[13]
C.    Implikasi Ontologi dalam Dunia Pendidikan
Ontologi bukanlah suatu hal yang sia-sia melainkan dapat dimanfaatkan dalam dunia pendidikan. Pendidikan terutama yang berkaitan dengan cita-cita dan tujuan pendidikan, muatan kurikulum, dan metode pengajaran sangat menekankan pentingnya pandangan filsafat pendidikan yang sangat menyeluruh. Hal ini menunjukkan bahwa filsafat pendidikan sangat bergantung pada kepercayaan, keyakinan atau pandangan hidup individu atau masyarakat yang terlibat di dalamnya. Hal ini juga didukung oleh fakta yang secara eksplisit maupun implisit mengatakan bahwa setiap ide, keputusan atau tindakan-tindakan yang berkaitan dengan pendidikan tidak dapat dipisahkan dari pandangan filsafat, agama ataupun sains mengenai hakikat manusia baik jasmaniah maupun ruhaniah.[14]
Implikasi ontologi secara nyata dapat dibuktikan di dunia pendidikan. Pada sebagian SMA, mata pelajaran yang berpokok pangkal pada idea, seperti kesusastraan umpamanya, masih dianggap oleh sebagian masyarakat mempunyai derajat lebih tinggi. Seluruh kurikulum berisi macam-macam mata pelajaran yang telah diatur dan ditetapkan secara hierarki. Di SMA terdapat pula mata pelajaran yang isinya mengandung idea dan konsep-konsep.  Pada tingkatan universitas, pandangan kaum idealis ini lebih jelas lagi penerapannya. Pengetahuan seni budaya adalah bidang studi yang mempersiapkan bahan pemikiran dan kebebasan berpikir. Bidang studi yang dianggap penting adalah mata kuliah yang bersifat teoritis, abstrak dan simbolis.[15]
Selain itu pandangan ontologi ini secara praktis akan menjadi masalah utama pendidikan. Sebab anak bergaul dengan lingkungannya dan mempunyai dorongan yang kuat untuk mengetahui sesuatu. Anak-anak di sekolah atau masyarakat akan menghadapi realita, obyek pengalaman, benda mati, sub human dan human.
Anak-anak harus dibimbing untuk memahami realitas dunia yang nyata ini dan untuk membimbing pengertian anak-anak dalam memahami suatu realita bukanlah semata-mata kewajiban sekolah atau pendidikan. Kewajiban sekolah juga untuk membina kesabaran tentang kebenaran yang berpangkal atas realita. Ini berarti realita itu sebagai tahap pertama, sebagai stimulus untuk menyelami kebenaran. Anak-anak secara sistematis wajib dibina potensi berpikir kritis untuk mengerti kebenaran.[16]
Dengan pembinaan dan bimbingan tersebut, diharapkan anak-anak mampu mengerti perubahan-perubahan di dalam lingkungan hidupnya baik tentang adat istiadat, tata sosial dan pola-pola masyarakat, maupun tentang nilai-nilai moral dan hukum. Daya pikir yang kritis akan sangat membantu pengertian tersebut. Kewajiban pendidik kaitannya dengan ontologis ini ialah membina daya pikir yang tinggi dan kritis pada anak.
Implikasi pandangan ontologi terhadap pendidikan adalah bahwa dunia pengalaman manusia yang harus memperkaya kepribadian bukanlah hanya alam raya dan isinya dalam arti sebagai pengalaman sehari-hari. Melainkan sebagai sesuatu yang tak terbatas realitas fisis, spiritual, yang tetap dan berubah-ubah.[17]






BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Ontologi adalah ilmu tentang yang ada dan relitas. Meninjau persoalan secara ontologis adalah mengadakan penyelidikan terhadap sifat dan realitas dengan refleksi rasional serta analisis serta sintesis logis.
Cakupan kajian ontologi meliputi realitas yang ada (being) dan yang nyata (realitas) maupun esensi dan eksistensi. Hal ini karena realitas (yang ada) merupakan bagian yang ada.
Kurikulum merupakan inti dari pendidikan. Dalam muatan kurikulum sangat menekankan pentingnya pandangan filsafat pendidikan yang menyeluruh. Jangkauan maupun isi kurikulum diambilkan dari hal yang telah diketahui manusia dari nilai-nilai yang diperoleh dari alam semesta.





DAFTAR PUSTAKA

Asy'ari, Musa .1999. Filsafat Islam: Sunah Nabi dalam Berfikir. Yogyakarta: Lesfi.

Khobir, Abdul. 2009. Filsafat Pendidikan Islam : Landasan Teoritis dan Praktis. Pekalongan: Stain Pekalongan Press.

Prasetya. 2000. Filsafat Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.

Syam, Mohammad Noor .1988. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional.





[1] Abdul Khobir, Filsafat Pendidikan Islam : Landasan Teoritis dan Praktis, (Pekalongan: Stain Pekalongan Press, 2009), hlm.17-18
[2] Musa Asy'ari, Filsafat Islam: Sunah Nabi dalam Berfikir, (Yogyakarta: Lesfi, 1999), hlm. 36
[3] Ibid, hlm.44-46
[4] Abdul Khobir, Op.Cit., hlm.18-19
[5] Prasetya, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 87
[6] Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), hlm. 28
[7] Prasetya, Op.Cit., hlm. 99
[8] Ibid, hlm.101
[9] Ibid, hlm.107-109
[10] Abdul Khobir, Op.Cit., hlm. 20-21
[11] Musa Asy'ari, Op.Cit., hlm. 36-37
[12] Prasetya, Op.Cit., hlm. 91
[13] Musa Asy'ari, Op.Cit., hlm. 45-46
[14] Abdul Khobir, Op.Cit., hlm. 22
[15] Prasetya, Op.Cit., hlm. 100
[16] Abdul Khobir, Op.Cit., hlm.23-24
[17] Mohammad Noor Syam, Op.Cit., hlm. 32