Friday 4 September 2015

makalah filsafat islam Al Razi

MAKALAH

“FILSAFAT AL-RAZI”

BAB I
PENDAHULUAN

            Islam sebagai agama yang telah memproklamirkan diri sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, sudah barang tentu dilengkapi dengan perangkat pedoman kehidupan untuk mengantarkan manusia kepada kesejahteraan hidup manusia. Sebagai seorang muslim, kita diwajibkan untuk mendakwahkan Islam kepada segenap manusia. Mendakwahkan Islam di zaman sekarang ini menghadapi berbagai macam tantangan dan untuk menjawab tantangan tersebut, kiranya filsafat dapat dijadika salah satu jembatannya.
            Kita wajib berterima kasih kepada filosof muslim masa silam yang telah menghasilkan pemikiran-pemikiran cemerlang pada masanya. Kita wajib menghargai dan menempatkan pada tempat yang semestinya. Tetapi kita harus tetap ingat bahwa filsafat bukanlah hal yang mutlak. Kita wajib mengkaji warisan pemikiran filosof terdahulu dengan kritis. Seperti filsafat dari al-Razi yang akan dibahas dalam makalah ini. Beliau merupakan seorang rasionalis murni yang menilai kebenaran sesuatu lewat akal, bahkan berani menolak kenabian dan sebagainya dengan alasan yang rasional. Disini kita dituntut untuk memilah serta mengkaji filsafat al-Razi dengan detail. Sehingga pemahaman tentang filsafat al-Razi tidak menyimpang. Berikut pembahasannya.












BAB II
PEMBAHASAN
“AL-RAZI”
A. Biografi Al-Razi
            Nama lengkapnya adalah abu Bakar Muhammad ibn Zakaria ibn Yahya al-Razi. Di barat dikenal Rhazes. Ia lahir di Ray dekat Teheran pada 1 Sya’ban 251 H (865 M). Ia hidup pada pemerintahan Dinasti Saman (204-395 H). Pada masa mudanya, ia menjadi tukang intan, penukar uang, dan sebagai pemusik kecapi. Pendek kata, Al-Razi adalah seorang yang ulet dalam bekerja dan belajar, karenanya tidak heran kalau ia tampak menonjol dibanding rekan-rekan semasanya. Di kota Ray ini dia belajar kedokteran kepada Ali ibn Rabban al-Thabari (192-240 H), belajar filsafat kepada Al-Balkhi, seorang yang senang mengembara, menguasai filsafat, dan ilmu-ilmu kuno.
            Pada masa  Mansyur ibn Ishaq ibn Ahmad ibn Asad sebagai Gubernur Ray, Al-Razi diserahi kepercayaan memimpin rumah sakit selama enam tahun (290-296 H). Pada masa ini juga Al-Razi menulis buku al-Tibb al-Mansuri yang dipersembahkan kepada Mansyur ibn Ishaq ibn Ahmad. Dari Ray kemudian Al-Razi pergi ke Baghdad, dan atas permintaan Khalifah Al-Muktafi (290-296 H), ia memimpin rumah sakit di Baghdad. Dalam menjalankan profesi kedokteran, ia dikenal pemurah, sayang kepada pasien-pasiennya, dermawan kepada orang-orang miskin dengan memberikan pengobatan kepada mereka secara cuma-cuma.
            Al-Razi adalah seorang dokter yang paling besar dan paling orisinal dari seluruh dokter Muslim, dan juga seorang penulis yang produktif. Kemasyhuran Al-Razi sebagai dokter tidak hanya di Dunia Timur, tapi juga di Barat. Setelah Khalifah Al-Muktafi wafat. Al-Razi kembali ke Ray, dan meninggal dunia pada 5 Sya’ban 313 H setelah menderita sakit katarak yang dia tolak untuk diobati dengan pertimbangan, sudah cukup banyak dunia yang pernah dilihatnya, dan tidak ingin melihatnya lagi.
Diberitakan, Al-Razi banyak menghabiskan waktunya bersama murid dan pasiennya., di samping belajar dan menulis.[1] Disiplin ilmu al-Razi meliputi ilmu Falak, matematika, kimia, kedokteran dan filsafat. Tetapi ia lebih terkenal sebagai ahli kimia dan kedokteran dibanding sebagai filosof. Ia sangat rajin menulis dan membaca.[2] Konon keseriusannya dalam belajarlah salah satu penyebab katarak yang dideritanya. Al-Razi dikenal seorang pemberani dalam menentang beberapa kepercayaan Islam yang fundamental, atas dasar sikap yang dipilihnya sebagai rasionalis dan pendukung pandangan kaum naturalis kuno, sehingga banyak mendapat kecaman dan caci maki.[3]
B. Karya-karyanya
            Al-Razi merupakan orang yang aktif dalam berkarya, yaitu mengarang banyak buku. Diperkirakan karya Al-Razi mencapai 200 judul dalam berbagai bidang keilmuan, antara lain:
  1. Kitab al-Asrar (bidang Kimia, diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Geard of cremon);
  2. Al- Hawi (merupakan ensiklopedia kedokteran sampai abad ke 16 di Eropa, setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin tahun 1279 M dengan judul Continens);
  3. Al-Mansuri Liber al-mansoris (bidang kedokteran, 10 jilid);
  4. Kitab al-Judar wa al-Hasbah (tentang penyakit cacar dan campak serta pencegahannya), sedangkan dalam bidang Filsafat
  5. Al-Thibb al-Ruhani
  6. Al-Sirah al-Falsafiyah;
  7. Amarah al-Iqbal al-Dawlah;
  8. Kitab al-Ladzdzah;
  9. Kitab al-‘Ilm al-Ilahi;
  10. Maqalah fi ma ba’d al-Thabi’iyyah; dan
  11. Al-Shukuk ‘ala Proclus.[4]
C. Filsafat Al-Razi
            Al-Razi adalah seorang rasionalis murni, hal itu tampak dalam halaman pendahuluan karyanya, al-Thibb al-Ruhani, ia menulis: “Tuhan, segala puji bagi-Nya, yang telah memberi kita akal agar dengannya kita dapat memperoleh sebanyak-banyaknya manfaat; inilah karunia terbaik Tuhan kita. Dengan akal kita melihat segala yang berguna bagi kita dan membuat hidup kita baik, dengan akal kita dapat mengetahui yang gelap, yang jauh, dan yang tersembunyi dari kita. Dengan akal pula, kita dapat memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, suatu pengetahuan tertinggi yang dapat kita peroleh”. Jika akal sedemikian mulia dan penting, maka  kita tidak boleh melecehkannya, kita tidak boleh menentukannya, sebab ia adalah penentu, atau mengendalikannya, sebab ia adalah pengendali, atau memerintahnya, sebab ia adalah pemerintah, tetapi kita harus merujuk kepadanya dalam segala hal dan menentukan segala masalah dengannya.
1. Metafisika
            Dalam hal Metafisika, filsafat al-Razi terkenal dengan doktrin Lima Yang Kekal, yakni:
  1. Allah Ta’ala (al-Bary Ta’ala)
  2. Jiwa Universal (al-Nafs al-Kulliyat)
  3. Materi Pertama (al-Hayula al-Ula)
  4. Ruang Absolut (al-Makan al-Muthlaq)
  5. Masa Absolut[5] (al-Zaman al-Muthlaq)
Menurut al-Razi, dua dari lima yang kekal itu hidup aktif, yaitu Tuhan dan Jiwa/Roh Universal. Satu daripadanya tidak hidup dan pasif, yaitu materi. Dua lainnya tidak hidup dan tidak pula pasif, yakni ruang dan waktu.[6]
Allah adalah Maha pencipta dan pengatur seluruh alam ini. Alam diciptakan Allah bukan dari tidak ada (creatio ex nihilo), tetapi dari bahan yang sudah ada. Oleh karena itu, menurutnya alam semesta tidak kadim, baharu, meskipun materi asalnya kadim, sebab penciptaan disini dalam arti disusun dari bahan yang telah ada. Penciptaan dari tiada, bagi al-Razi, tidak dapat dipertahankan secara logis. Pasalnya, dari satu sisi bahan alam yang tersusun dari tanah, udara, air, api, dan benda-benda langit bersal dari materi pertama yang telah ada sejak azali.
Timbulnya doktrin adanya yang kekal selain Allah, dalam filsafat al-Razi ini, agaknya disebabkan filsafat adanya Allah merupakan sumber Yang Esa yang tetap. Namun demikian, kekalnya yang lain tidak sama dengan kekalnya Allah.[7]
Jiwa Universal merupakan al-mabda’ al-qadim al-sany (sumber kekal yang kedua) pada benda-benda alam terdapat daya hidup dan gerak. Sulit diketahui karena ia tanpa bentuk yang berasal dari Jiwa Universal yang juga bersifat kekal. Tetapi karena ia dikuasai naluri untuk bersatu dengan al-Hayula al-Ula (materi pertama), maka terjadilah pada zatnya bentuk yang dapat menerima fisik. Sedangkan materi pertama tanpa fisik, maka Tuhan datang menolong roh dengan menciptakan alam semesta  termasuk badan manusia yang ditempati roh, agar jiwa itu dapat melampiaskan nafsu kejinya dengan mengambil bagian-bagian kesenangan materil untuk sementara waktu.
Namun begitu, Tuhan menciptakan akal, dan merupakan limpahan dari Tuhan. Tujuan penciptaannya untuk menyadarkan jiwa yang telah terlena dalam fisik manusia, bahwa tubuh bukanlah alam sebenarnya, bukan alam kebahagiaan dan tempat abadi. Kesenangan dan kebahagiaan yang sebenarnya adalah melepaskan diri dari materi.[8] Alam itu dapat dicapai dengan cara berfilsafat. Roh akan tetap tinggal di alam materi ini, selama ia tidak dapat menyucikan diri dengan filsafat. Tetapi kalau seluruh  roh sudah bersih, seluruhnya akan kembali ke alam asalnya. Pada ketika itu alam materi ini akan hancur, roh  dan materi kembali ke asalnya semula.[9]
Menurut al-Razi materi pertama adalah substansi yang kekal yang terdiri dari atom-atom. Setiap atom-atom itu memiliki volume. Tanpa volume pengumpulan atom-atom itu tidak bisa menjadi sesuatu yang berbentuk. Bila dunia dihancurkan, maka ia juga terpisah-pisah dalam bentuk atom-atom. Materi itu kekal karena tidak mungkin menyatakan bahwa sesuatu berasal dari ketiadaan.
Al-Razi mengemukakan argumen penciptaan untuk bukti kekalnya materi, yaitu bahwa tindakan materi yang sedang dalam pembentukan, mensyaratkan adanya seorang pencipta yang mendahuluinya dan adanya materi dimana tindakan itu berlangsung. Jadi jika materi itu kekal, maka materi yang dikenai oleh kekuatan pencipta itu juga kekal sebelum ia dikenai kekuatan tersebut. Lebih lanjut Al-Razi menyatakan bahwa kekalnya materi tidak bertentangan dengan baharunya alam, karena penciptaan itu adalah penyusunan materi.[10]
Menurut al-Razi ruang adalah tempat keberadaan materi dan materi adalah kekal. Karena materi itu mempunyai ruang maka ada suatu ruang yang kekal. Ruang terbagi menjadi dua, yaitu: Ruang Universal (muthlaq) adalah ruang yang tidak terbatas dan tidak tergantung kepada dunia dan segala yang ada di dalamnya, sedangkan  ruang tertentu (relatif) adalah sebaliknya.[11]
Argumen yang dipergunakan al-Razi untuk membuktikan ketidakterbatasan atau kekekalan ruang ialah sebagai berikut: Wujud yang memerlukan ruang (al-mutamakkin) tidak dapat berwujud tanpa adanya ruang. Ruang dapat terwujud tanpa adanya mutamakkin. Ruang tak lain adalah tempat bagi mutamakkin. Setiap mutamakkin terbatas dengan sendirinya dan berada dalam ruang. Kalau begitu ruang mestilah tidak terbatas. Yang tidak terbatas itu kekal. Jadi ruang mestilah kekal.
Adapun waktu, menurut al-Razi adalah substansi yang mengalir (jauhar yajri) dan bersifat kekal. Al-Razi membagai waktu kepada dua bagian, yaitu waktu muthlaq (al-dahr) dan waktu relatif (al-manshur atau al-waqt). Al-Dahr adalah zaman yang tidak memiliki awal dan akhir serta bersifat universal, terlepas sama sekali dari ikatan alam semesta, dan gerakan falak. Kekekalan zaman ini merupakan konsekuensi dari kekekalan materi. Karena materi mengalami perubahan, dan perubahan menandakan zaman, maka kalau materi kekal, zaman mesti kekal pula. Al-Waqt bersifat partikular dan tidak kekal, serta terbatas karena ia terikat dengan gerakan falak, terbit dan tenggelamnya matahari. Oleh sebab, jenis waktu ini dapat disifati oleh angka, atau tegasnya bisa diukur, seperti satu hari, satu bulan, satu tahun, dan seterusnya.[12]

2. Moral
            Adapun pemikiran al-Razi tentang moral, sebagai tertuang dalam bukunya Al-Thib al-Ruhani dan al-Sirah al-Falsafiyyah, bahwa tingkah laku pun mestilah berdasarkan agama. Ia memperingatkan bahaya minuman khamar yang dapat merusak akal dan melanggar ajaran agama, bahkan dapat mengakibatkan menderita penyakit jiwa dan raga yang pada gilirannya menghancurkan manusia.
            Berkaitan dengan jiwa, al-Razi mengharuskan seorang dokter untuk mengetahui kedokteran jiwa (al-Thibb al-Ruhani) dan kedokteran tubuh (al-Thibb al-Jasmani) secara bersama-sama, karena manusia memerlukan keduanya secara bersama-sama pula.
            Kebahagiaan, menurut al-Razi adalah kembalinya apa yang telah tersingkir karena sesuatu yang berbahaya. Al-Razi mengutuk cinta sebagai suatu keberlebihan dan ketundukan kepada hawa nafsu. Ia juga mengutuk kepongahan dan kelengahan, karena hal ini menghalangi orang dari belajar lebih banyak dan bekerja lebih baik. Keirihatian merupakan perpaduan dari kekikiran dan ketamakan. Orang yang iri hati adalah orang yang merasa sedih bila orang lain memperoleh sesuatu kebaikan, meskipun ia sendiri tidak mengalami keburukan. Bila keburukan menimpa dirinya, maka yang muncul bukan hanya keirian hati tetapi juga permusuhan.
            Dusta adalah kebiasaan buruk. Dusta dibedakan kepada dua: untuk kebaikan yang sifatnya terpuji dan untuk kejahatan yang sifatnya tercela. Jadi nilai dusta terletak pada niat. Demikian pula tentang kekikiran, nilainya terletak pada alasan melakukannya. Bila kekikiran tersebut disebabkan rasa takut menjadi miskin dan rasa takut akan masa depan, maka ini tidaklah buruk. Tetapi bila hanya sekedar  untuk memperoleh kesenangan, maka yang demikian itu buruk.
            Persetubuhan, bila berlebihan tidak baik bagi tubuh karena akan mempercepat proses ketuaan, menjadikan lemah dan menimbulkan berbagai macam penyakit lainnya. Kecemasan yang berlebihan dapat membawa seseorang kepada hallusinasi, melankolik, dan bersikap loyo. Sifat tamak dapat membawa kepada bencana. Demikian pula sembrono dan rakus, bisa mendatangkan kecelakaan. Karena itu, memburu kekayaan secara berlebihan adalah keliru. Ambisi terhadap sesuatu juga merupakan keanehan yang pada gilirannya mendatangkan bencana.[13]
3. Kenabian
            Al-Razi menyanggah anggapan bahwa untuk keteraturan kehidupan, manusia memerlukan nabi. Pendapat yang kontroversional ini harus dipahami bahwa dia adalah seorang rasionalis murni. Akal menurutnya adalah karunia Allah yang terbesar untuk manusia. Dengan akal manusia dapat memperoleh manfaat sebanyak-banyaknya, bahkan dapat memperoleh pengetahuan tentang Tuhan.
            Pandangan al-Razi yang mengkhususkan kekuatan akal tersebut menjadikan ia tidak percaya kepada wahyu dan adanya Nabi sebagai diutarakannya dalam bukunya Naqd al-Adyan au fi al-Nubuwwah (Kritik terhadap Agama-agama atau terhadap Kenabian). Menurutnya, para Nabi tidak berhak mengklaim dirinya sebagai orang yang memiliki keistimewaan khusus, baik pikiran maupun rohani, karena semua orang itu adalah sama dan keadilan Tuhan serta hikmah-Nya mengharuskan tidak membedakannya antara seseorang dengan yang lainnya. Perbedaan antara manusia timbul karena berlainan pendidikan dan berbedanya suasana perkembangannya. Lebih lanjut dikatakannya, tidaklah masuk akal bahwa Tuhan mengutus para nabi padahal mereka tidak luput dari banyak kekeliruan. Setiap bangsa hanya percaya kepada Nabinya dan tidak mengakui Nabi bangsa lain. Akibatnya terjadi banyak peperangan keagamaan dan kebencian antara bangsa karena kefanatikan kepada agama bangsa yang dipeluknya. Kelangsungan agama hanya berasal dari tradisi, dari kepentingan para ulama yang diperalat oleh negara, dan dari upacara-upacara bodoh yang menyilaukan mata rakyat bodoh.
            Berkaitan dengan sanggahan terhadap wahyu dan nabi sebagai pembawa berita alam keakhiratan, seperti kematian. Bagi al-Razi, kematian bukanlah suatu hal yang perlu ditakuti, karena bila tubuh hancur, maka ruh juga hancur. Setelah mati, tak sesuatupun terjadi pada manusia, karena ia tidak dapat merasakan apa-apa lagi.
            Al-Razi juga mengkritik kitab-kitab suci, baik Injil maupun al-Quran. Ia mengkritik yang satu dengan menggunakan yang lain. Ia menolak mukjizat al-Quran, baik segi isi maupun gaya bahasanya. Boleh jadi pendapatnya yang ekstrim inilah menyebabkan buku-bukunya dimusnahkan. Kendatipun demikian, al-Razi tidak berarti seorang atheis, karena ia masih tetap meyakini adanya Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta, sebab itu ia lebih tepat disebut seorang rasionalis murni.
            Adapun tentang pemikiran al-Razi tentang Lima Kekal, tidak otomatis ia menjadi zindik, apalagi bila dinilai dengan al-Quran, tidak satu ayat pun yang secara qath’I bertentangan dengan pemikiran tersebut. Karena itu, tidak tertutup kemungkinan benar pemikiran Al-Razi tersebut.[14]
















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Al-Razi adalah seorang dokter yang paling besar dan paling orisinal dari seluruh dokter Muslim. Al-Razi merupakan orang yang aktif dalam berkarya, yaitu mengarang banyak buku. Buku-bukunya antara lain, Kitab al-Asrar, Al- Hawi, Al-Mansuri Liber al-mansoris, Kitab al-Judar wa al-Hasbah, Al-Thibb al-Ruhani, Al-Sirah al-Falsafiyah, Amarah al-Iqbal al-Dawlah, Kitab al-Ladzdzah, Kitab al-‘Ilm al-Ilahi, Maqalah fi ma ba;d al-Thabi’iyyah, dan Al-Shukuk ‘ala Proclus.
            Dalam hal Metafisika, filsafat al-Razi terkenal dengan doktrin Lima Yang Kekal. Yakni, Allah Ta’ala (al-Bary Ta’ala), Jiwa Universal (al-Nafs al-Kulliyat), Materi Pertama (al-Hayula al-Ula), Ruang Absolut (al-Makan al-Muthlaq), Masa Absolut (al-Zaman al-Muthlaq). Adapun pemikiran al-Razi tentang moral  bahwa tingkah laku pun mestilah berdasarkan agama.
            Al-Razi bukan seorang atheis, karena ia masih tetap meyakini adanya Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta, sebab itu ia lebih tepat disebut seorang rasionalis murni.













DAFTAR PUSTAKA

Mustofa, H.A. 1997. Filsafat Islam. Bandung : Pustaka Setia
Nasution, Harun.1999. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta : Bulan Bintang.

Nasution, Hasyimsyah. 1999. Filsafat Islam. Jakarta : Gaya Media Pratama.
Zar, Sirajuddin.2004. Filsafat Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada.




[1] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999), hlm.24-25
[2] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.115
[3] Hasyimsyah Nasution, Loc.Cit
[4] Ibid, hlm.25-26
[5] Ibid, hlm. 26
[6] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1999), hlm. 16
[7] Sirajuddin Zar, Op.Cit, hlm. 117-118
[8] Hasyimsyah Nasution, Op.Cit. hlm. 26-27
[9] Harun Nasution, Op.Cit, hlm. 17-18
[10] Hasyimsyah Nasution, Op.Cit. hlm. 27-28
[11] H.A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 1997), hlm.122-123
[12] Hasyimsyah Nasution, Op.Cit. hlm. 28-29
[13] Ibid, hlm.29-30
[14] Ibid, hlm. 30-32