MAKALAH
“FILSAFAT AL-RAZI”
BAB
I
PENDAHULUAN
Islam sebagai agama yang telah
memproklamirkan diri sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, sudah barang
tentu dilengkapi dengan perangkat pedoman kehidupan untuk mengantarkan manusia
kepada kesejahteraan hidup manusia. Sebagai seorang muslim, kita diwajibkan
untuk mendakwahkan Islam kepada segenap manusia. Mendakwahkan Islam di zaman
sekarang ini menghadapi berbagai macam tantangan dan untuk menjawab tantangan tersebut,
kiranya filsafat dapat dijadika salah satu jembatannya.
Kita wajib berterima kasih kepada
filosof muslim masa silam yang telah menghasilkan pemikiran-pemikiran cemerlang
pada masanya. Kita wajib menghargai dan menempatkan pada tempat yang semestinya.
Tetapi kita harus tetap ingat bahwa filsafat bukanlah hal yang mutlak. Kita
wajib mengkaji warisan pemikiran filosof terdahulu dengan kritis. Seperti
filsafat dari al-Razi yang akan dibahas dalam makalah ini. Beliau merupakan
seorang rasionalis murni yang menilai kebenaran sesuatu lewat akal, bahkan
berani menolak kenabian dan sebagainya dengan alasan yang rasional. Disini kita
dituntut untuk memilah serta mengkaji filsafat al-Razi dengan detail. Sehingga
pemahaman tentang filsafat al-Razi tidak menyimpang. Berikut pembahasannya.
BAB
II
PEMBAHASAN
“AL-RAZI”
A. Biografi
Al-Razi
Nama lengkapnya adalah abu Bakar
Muhammad ibn Zakaria ibn Yahya al-Razi. Di barat dikenal Rhazes. Ia lahir di
Ray dekat Teheran pada 1 Sya’ban 251 H (865 M). Ia hidup pada pemerintahan
Dinasti Saman (204-395 H). Pada masa mudanya, ia menjadi tukang intan, penukar
uang, dan sebagai pemusik kecapi. Pendek kata, Al-Razi adalah seorang yang ulet
dalam bekerja dan belajar, karenanya tidak heran kalau ia tampak menonjol dibanding
rekan-rekan semasanya. Di kota
Ray ini dia belajar kedokteran kepada Ali ibn Rabban al-Thabari (192-240 H),
belajar filsafat kepada Al-Balkhi, seorang yang senang mengembara, menguasai
filsafat, dan ilmu-ilmu kuno.
Pada masa Mansyur ibn Ishaq ibn Ahmad ibn Asad sebagai
Gubernur Ray, Al-Razi diserahi kepercayaan memimpin rumah sakit selama enam
tahun (290-296 H). Pada masa ini juga Al-Razi menulis buku al-Tibb
al-Mansuri yang dipersembahkan kepada Mansyur ibn Ishaq ibn Ahmad. Dari Ray
kemudian Al-Razi pergi ke Baghdad , dan atas
permintaan Khalifah Al-Muktafi (290-296 H), ia memimpin rumah sakit di Baghdad . Dalam menjalankan
profesi kedokteran, ia dikenal pemurah, sayang kepada pasien-pasiennya,
dermawan kepada orang-orang miskin dengan memberikan pengobatan kepada mereka
secara cuma-cuma.
Al-Razi adalah seorang dokter yang
paling besar dan paling orisinal dari seluruh dokter Muslim, dan juga seorang
penulis yang produktif. Kemasyhuran Al-Razi sebagai dokter tidak hanya di Dunia
Timur, tapi juga di Barat. Setelah Khalifah Al-Muktafi wafat. Al-Razi kembali
ke Ray, dan meninggal dunia pada 5 Sya’ban 313 H setelah menderita sakit
katarak yang dia tolak untuk diobati dengan pertimbangan, sudah cukup banyak
dunia yang pernah dilihatnya, dan tidak ingin melihatnya lagi.
Diberitakan, Al-Razi banyak menghabiskan waktunya bersama murid dan
pasiennya., di samping belajar dan menulis.[1]
Disiplin ilmu al-Razi meliputi ilmu Falak, matematika, kimia, kedokteran dan
filsafat. Tetapi ia lebih terkenal sebagai ahli kimia dan kedokteran dibanding
sebagai filosof. Ia sangat rajin menulis dan membaca.[2] Konon
keseriusannya dalam belajarlah salah satu penyebab katarak yang dideritanya.
Al-Razi dikenal seorang pemberani dalam menentang beberapa kepercayaan Islam
yang fundamental, atas dasar sikap yang dipilihnya sebagai rasionalis dan
pendukung pandangan kaum naturalis kuno, sehingga banyak mendapat kecaman dan
caci maki.[3]
B.
Karya-karyanya
Al-Razi merupakan orang yang aktif
dalam berkarya, yaitu mengarang banyak buku. Diperkirakan karya Al-Razi
mencapai 200 judul dalam berbagai bidang keilmuan, antara lain:
- Kitab al-Asrar (bidang Kimia, diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Geard of cremon);
- Al- Hawi (merupakan ensiklopedia kedokteran sampai abad ke 16 di Eropa, setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin tahun 1279 M dengan judul Continens);
- Al-Mansuri Liber al-mansoris (bidang kedokteran, 10 jilid);
- Kitab al-Judar wa al-Hasbah (tentang penyakit cacar dan campak serta pencegahannya), sedangkan dalam bidang Filsafat
- Al-Thibb al-Ruhani
- Al-Sirah al-Falsafiyah;
- Amarah al-Iqbal al-Dawlah;
- Kitab al-Ladzdzah;
- Kitab al-‘Ilm al-Ilahi;
- Maqalah fi ma ba’d al-Thabi’iyyah; dan
- Al-Shukuk ‘ala Proclus.[4]
C. Filsafat
Al-Razi
Al-Razi adalah seorang rasionalis
murni, hal itu tampak dalam halaman pendahuluan karyanya, al-Thibb al-Ruhani,
ia menulis: “Tuhan, segala puji bagi-Nya, yang telah memberi kita akal agar
dengannya kita dapat memperoleh sebanyak-banyaknya manfaat; inilah karunia
terbaik Tuhan kita. Dengan akal kita melihat segala yang berguna bagi kita dan
membuat hidup kita baik, dengan akal kita dapat mengetahui yang gelap, yang
jauh, dan yang tersembunyi dari kita. Dengan akal pula, kita dapat memperoleh
pengetahuan tentang Tuhan, suatu pengetahuan tertinggi yang dapat kita peroleh”.
Jika akal sedemikian mulia dan penting, maka
kita tidak boleh melecehkannya, kita tidak boleh menentukannya, sebab ia
adalah penentu, atau mengendalikannya, sebab ia adalah pengendali, atau
memerintahnya, sebab ia adalah pemerintah, tetapi kita harus merujuk kepadanya
dalam segala hal dan menentukan segala masalah dengannya.
1. Metafisika
Dalam hal Metafisika, filsafat
al-Razi terkenal dengan doktrin Lima Yang Kekal, yakni:
- Allah Ta’ala (al-Bary Ta’ala)
- Jiwa Universal (al-Nafs al-Kulliyat)
- Materi Pertama (al-Hayula al-Ula)
- Ruang Absolut (al-Makan al-Muthlaq)
- Masa Absolut[5] (al-Zaman al-Muthlaq)
Menurut al-Razi, dua dari lima
yang kekal itu hidup aktif, yaitu Tuhan dan Jiwa/Roh Universal. Satu
daripadanya tidak hidup dan pasif, yaitu materi. Dua lainnya tidak hidup dan
tidak pula pasif, yakni ruang dan waktu.[6]
Allah adalah Maha pencipta dan pengatur seluruh alam ini. Alam diciptakan
Allah bukan dari tidak ada (creatio ex nihilo), tetapi dari bahan yang
sudah ada. Oleh karena itu, menurutnya alam semesta tidak kadim, baharu,
meskipun materi asalnya kadim, sebab penciptaan disini dalam arti disusun dari
bahan yang telah ada. Penciptaan dari tiada, bagi al-Razi, tidak dapat
dipertahankan secara logis. Pasalnya, dari satu sisi bahan alam yang tersusun
dari tanah, udara, air, api, dan benda-benda langit bersal dari materi pertama
yang telah ada sejak azali.
Timbulnya doktrin adanya yang kekal selain Allah, dalam filsafat al-Razi
ini, agaknya disebabkan filsafat adanya Allah merupakan sumber Yang Esa yang
tetap. Namun demikian, kekalnya yang lain tidak sama dengan kekalnya Allah.[7]
Jiwa Universal merupakan al-mabda’ al-qadim al-sany (sumber kekal
yang kedua) pada benda-benda alam terdapat daya hidup dan gerak. Sulit
diketahui karena ia tanpa bentuk yang berasal dari Jiwa Universal yang juga
bersifat kekal. Tetapi karena ia dikuasai naluri untuk bersatu dengan
al-Hayula al-Ula (materi pertama), maka terjadilah pada zatnya bentuk yang
dapat menerima fisik. Sedangkan materi pertama tanpa fisik, maka Tuhan datang
menolong roh dengan menciptakan alam semesta
termasuk badan manusia yang ditempati roh, agar jiwa itu dapat
melampiaskan nafsu kejinya dengan mengambil bagian-bagian kesenangan materil
untuk sementara waktu.
Namun begitu, Tuhan menciptakan akal, dan merupakan limpahan dari Tuhan.
Tujuan penciptaannya untuk menyadarkan jiwa yang telah terlena dalam fisik
manusia, bahwa tubuh bukanlah alam sebenarnya, bukan alam kebahagiaan dan
tempat abadi. Kesenangan dan kebahagiaan yang sebenarnya adalah melepaskan diri
dari materi.[8] Alam itu
dapat dicapai dengan cara berfilsafat. Roh akan tetap tinggal di alam materi
ini, selama ia tidak dapat menyucikan diri dengan filsafat. Tetapi kalau
seluruh roh sudah bersih, seluruhnya
akan kembali ke alam asalnya. Pada ketika itu alam materi ini akan hancur, roh dan materi kembali ke asalnya semula.[9]
Menurut al-Razi materi pertama adalah substansi yang kekal yang terdiri
dari atom-atom. Setiap atom-atom itu memiliki volume. Tanpa volume pengumpulan
atom-atom itu tidak bisa menjadi sesuatu yang berbentuk. Bila dunia
dihancurkan, maka ia juga terpisah-pisah dalam bentuk atom-atom. Materi itu
kekal karena tidak mungkin menyatakan bahwa sesuatu berasal dari ketiadaan.
Al-Razi mengemukakan argumen penciptaan untuk bukti kekalnya materi,
yaitu bahwa tindakan materi yang sedang dalam pembentukan, mensyaratkan adanya
seorang pencipta yang mendahuluinya dan adanya materi dimana tindakan itu
berlangsung. Jadi jika materi itu kekal, maka materi yang dikenai oleh kekuatan
pencipta itu juga kekal sebelum ia dikenai kekuatan tersebut. Lebih lanjut
Al-Razi menyatakan bahwa kekalnya materi tidak bertentangan dengan baharunya
alam, karena penciptaan itu adalah penyusunan materi.[10]
Menurut al-Razi ruang adalah tempat keberadaan materi dan materi adalah
kekal. Karena materi itu mempunyai ruang maka ada suatu ruang yang kekal. Ruang
terbagi menjadi dua, yaitu: Ruang Universal (muthlaq) adalah ruang yang tidak
terbatas dan tidak tergantung kepada dunia dan segala yang ada di dalamnya,
sedangkan ruang tertentu (relatif)
adalah sebaliknya.[11]
Argumen yang dipergunakan al-Razi untuk membuktikan ketidakterbatasan
atau kekekalan ruang ialah sebagai berikut: Wujud yang memerlukan ruang (al-mutamakkin)
tidak dapat berwujud tanpa adanya ruang. Ruang dapat terwujud tanpa adanya mutamakkin.
Ruang tak lain adalah tempat bagi mutamakkin. Setiap mutamakkin terbatas
dengan sendirinya dan berada dalam ruang. Kalau begitu ruang mestilah tidak
terbatas. Yang tidak terbatas itu kekal. Jadi ruang mestilah kekal.
Adapun waktu, menurut al-Razi adalah substansi yang mengalir (jauhar
yajri) dan bersifat kekal. Al-Razi membagai waktu kepada dua bagian, yaitu
waktu muthlaq (al-dahr) dan waktu relatif (al-manshur atau al-waqt).
Al-Dahr adalah zaman yang tidak memiliki awal dan akhir serta bersifat
universal, terlepas sama sekali dari ikatan alam semesta, dan gerakan falak.
Kekekalan zaman ini merupakan konsekuensi dari kekekalan materi. Karena materi
mengalami perubahan, dan perubahan menandakan zaman, maka kalau materi kekal,
zaman mesti kekal pula. Al-Waqt bersifat partikular dan tidak kekal,
serta terbatas karena ia terikat dengan gerakan falak, terbit dan tenggelamnya
matahari. Oleh sebab, jenis waktu ini dapat disifati oleh angka, atau tegasnya
bisa diukur, seperti satu hari, satu bulan, satu tahun, dan seterusnya.[12]
2. Moral
Adapun pemikiran al-Razi tentang
moral, sebagai tertuang dalam bukunya Al-Thib al-Ruhani dan al-Sirah
al-Falsafiyyah, bahwa tingkah laku pun mestilah berdasarkan agama. Ia
memperingatkan bahaya minuman khamar yang dapat merusak akal dan melanggar
ajaran agama, bahkan dapat mengakibatkan menderita penyakit jiwa dan raga yang
pada gilirannya menghancurkan manusia.
Berkaitan dengan jiwa, al-Razi
mengharuskan seorang dokter untuk mengetahui kedokteran jiwa (al-Thibb
al-Ruhani) dan kedokteran tubuh (al-Thibb al-Jasmani) secara
bersama-sama, karena manusia memerlukan keduanya secara bersama-sama pula.
Kebahagiaan, menurut al-Razi adalah
kembalinya apa yang telah tersingkir karena sesuatu yang berbahaya. Al-Razi
mengutuk cinta sebagai suatu keberlebihan dan ketundukan kepada hawa nafsu. Ia
juga mengutuk kepongahan dan kelengahan, karena hal ini menghalangi orang dari
belajar lebih banyak dan bekerja lebih baik. Keirihatian merupakan perpaduan
dari kekikiran dan ketamakan. Orang yang iri hati adalah orang yang merasa sedih
bila orang lain memperoleh sesuatu kebaikan, meskipun ia sendiri tidak
mengalami keburukan. Bila keburukan menimpa dirinya, maka yang muncul bukan
hanya keirian hati tetapi juga permusuhan.
Dusta adalah kebiasaan buruk. Dusta
dibedakan kepada dua: untuk kebaikan yang sifatnya terpuji dan untuk kejahatan
yang sifatnya tercela. Jadi nilai dusta terletak pada niat. Demikian pula
tentang kekikiran, nilainya terletak pada alasan melakukannya. Bila kekikiran
tersebut disebabkan rasa takut menjadi miskin dan rasa takut akan masa depan,
maka ini tidaklah buruk. Tetapi bila hanya sekedar untuk memperoleh kesenangan, maka yang
demikian itu buruk.
Persetubuhan, bila berlebihan tidak
baik bagi tubuh karena akan mempercepat proses ketuaan, menjadikan lemah dan
menimbulkan berbagai macam penyakit lainnya. Kecemasan yang berlebihan dapat
membawa seseorang kepada hallusinasi, melankolik, dan bersikap loyo. Sifat
tamak dapat membawa kepada bencana. Demikian pula sembrono dan rakus, bisa
mendatangkan kecelakaan. Karena itu, memburu kekayaan secara berlebihan adalah
keliru. Ambisi terhadap sesuatu juga merupakan keanehan yang pada gilirannya
mendatangkan bencana.[13]
3. Kenabian
Al-Razi menyanggah anggapan bahwa
untuk keteraturan kehidupan, manusia memerlukan nabi. Pendapat yang
kontroversional ini harus dipahami bahwa dia adalah seorang rasionalis murni.
Akal menurutnya adalah karunia Allah yang terbesar untuk manusia. Dengan akal
manusia dapat memperoleh manfaat sebanyak-banyaknya, bahkan dapat memperoleh
pengetahuan tentang Tuhan.
Pandangan al-Razi yang mengkhususkan
kekuatan akal tersebut menjadikan ia tidak percaya kepada wahyu dan adanya Nabi
sebagai diutarakannya dalam bukunya Naqd al-Adyan au fi al-Nubuwwah
(Kritik terhadap Agama-agama atau terhadap Kenabian). Menurutnya, para Nabi
tidak berhak mengklaim dirinya sebagai orang yang memiliki keistimewaan khusus,
baik pikiran maupun rohani, karena semua orang itu adalah sama dan keadilan
Tuhan serta hikmah-Nya mengharuskan tidak membedakannya antara seseorang dengan
yang lainnya. Perbedaan antara manusia timbul karena berlainan pendidikan dan
berbedanya suasana perkembangannya. Lebih lanjut dikatakannya, tidaklah masuk
akal bahwa Tuhan mengutus para nabi padahal mereka tidak luput dari banyak
kekeliruan. Setiap bangsa hanya percaya kepada Nabinya dan tidak mengakui Nabi
bangsa lain. Akibatnya terjadi banyak peperangan keagamaan dan kebencian antara
bangsa karena kefanatikan kepada agama bangsa yang dipeluknya. Kelangsungan
agama hanya berasal dari tradisi, dari kepentingan para ulama yang diperalat
oleh negara, dan dari upacara-upacara bodoh yang menyilaukan mata rakyat bodoh.
Berkaitan dengan sanggahan terhadap
wahyu dan nabi sebagai pembawa berita alam keakhiratan, seperti kematian. Bagi
al-Razi, kematian bukanlah suatu hal yang perlu ditakuti, karena bila tubuh
hancur, maka ruh juga hancur. Setelah mati, tak sesuatupun terjadi pada
manusia, karena ia tidak dapat merasakan apa-apa lagi.
Al-Razi juga mengkritik kitab-kitab
suci, baik Injil maupun al-Quran. Ia mengkritik yang satu dengan menggunakan
yang lain. Ia menolak mukjizat al-Quran, baik segi isi maupun gaya bahasanya. Boleh jadi pendapatnya yang
ekstrim inilah menyebabkan buku-bukunya dimusnahkan. Kendatipun demikian, al-Razi
tidak berarti seorang atheis, karena ia masih tetap meyakini adanya Tuhan Yang
Maha Kuasa dan Maha Pencipta, sebab itu ia lebih tepat disebut seorang
rasionalis murni.
Adapun tentang pemikiran al-Razi
tentang Lima Kekal, tidak otomatis ia menjadi zindik, apalagi bila dinilai
dengan al-Quran, tidak satu ayat pun yang secara qath’I bertentangan dengan
pemikiran tersebut. Karena itu, tidak tertutup kemungkinan benar pemikiran
Al-Razi tersebut.[14]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Al-Razi adalah seorang dokter yang
paling besar dan paling orisinal dari seluruh dokter Muslim. Al-Razi merupakan
orang yang aktif dalam berkarya, yaitu mengarang banyak buku. Buku-bukunya
antara lain, Kitab al-Asrar, Al- Hawi, Al-Mansuri Liber al-mansoris,
Kitab al-Judar wa al-Hasbah, Al-Thibb al-Ruhani, Al-Sirah al-Falsafiyah,
Amarah al-Iqbal al-Dawlah, Kitab al-Ladzdzah, Kitab al-‘Ilm
al-Ilahi, Maqalah fi ma ba;d al-Thabi’iyyah, dan Al-Shukuk ‘ala Proclus.
Dalam hal Metafisika, filsafat
al-Razi terkenal dengan doktrin Lima Yang Kekal. Yakni, Allah Ta’ala (al-Bary
Ta’ala), Jiwa Universal (al-Nafs al-Kulliyat), Materi Pertama (al-Hayula
al-Ula), Ruang Absolut (al-Makan al-Muthlaq), Masa Absolut (al-Zaman
al-Muthlaq). Adapun pemikiran al-Razi tentang moral bahwa tingkah laku pun mestilah berdasarkan
agama.
Al-Razi bukan seorang atheis, karena
ia masih tetap meyakini adanya Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta, sebab
itu ia lebih tepat disebut seorang rasionalis murni.
DAFTAR
PUSTAKA
Mustofa, H.A. 1997. Filsafat
Islam. Bandung
: Pustaka Setia
Nasution, Harun.1999. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta : Bulan Bintang.
Nasution, Hasyimsyah. 1999. Filsafat Islam. Jakarta : Gaya
Media Pratama.
Zar, Sirajuddin.2004. Filsafat Islam. Jakarta : Raja Grafindo
Persada.
[1]
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama,
1999), hlm.24-25
[2]
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, (Jakarta
: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.115
[3]
Hasyimsyah Nasution, Loc.Cit
[4] Ibid,
hlm.25-26
[5] Ibid,
hlm. 26
[6] Harun Nasution,
Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1999), hlm.
16
[7]
Sirajuddin Zar, Op.Cit, hlm. 117-118
[8]
Hasyimsyah Nasution, Op.Cit. hlm. 26-27
[9] Harun
Nasution, Op.Cit, hlm. 17-18
[10]
Hasyimsyah Nasution, Op.Cit. hlm. 27-28
[11] H.A. Mustofa,
Filsafat Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 1997), hlm.122-123
[12]
Hasyimsyah Nasution, Op.Cit. hlm. 28-29
[13] Ibid,
hlm.29-30
[14] Ibid,
hlm. 30-32